Agama Buddha tidaklah asing bagi masyarakat Bali, karena di pulau ini pernah tercatat berkembang agama Siwa-Buddha. Catatan ini membuktikan agama Buddha pernah menjadi salah satu agama masyarakat Bali dan membuktikan pula bahwa agama Buddha memiliki landasan filosofi moral cinta kasih yang universal sehingga mampu hidup berdampingan dan menyatu dengan agama-agama (sekte-sekte) lain secara harmonis.
Catatan sejarah menunjukkan agama Buddha diperkirakan masuk ke Pulau Dewata pada abad VII-VIII. Banyak bukti sejarah yang kini menjadi saksi keberadaannya, seperti stupika (stupa), candi, patung-patung Buddha yang ditemukan di wilayah Kabupaten Gianyar, Klungkung, Karangasem, dan Buleleng. Terakhir diketemukan stupa-stupa di Desa Kalibukbuk.
Banyak tokoh Buddhis di Bali yang tercatat memiliki peran amat penting dalam menata sosial kemasyarakatan, misalnya Mpu Kuturan, Mpu Nirarta (Dang Hyang Nirarta kemudian menyebarkan Siwa, yang dalam praktik hidupnya masih kental dipengaruhi oleh filosofi Buddha), Mpu Astapaka, dan lain-lainnya. Bahkan keturunan Mpu Astapaka (merupakan keponakan Dang Hyang Nirarta) hingga kini masih jelas identitas Buddhisnya.
Seperti yang kita lihat saat ini, paham-paham Buddhis telah demikian luas dan menyatu secara harmonis dengan faham-faham lainnya seperti Siwa, Bojangga, Waisnawa, Sora dan lain-lainnya menjadi satu, yaitu yang kita kenal sebagai agama Hindu Bali yang kemudian menjadi agama Hindu.
Seiring dengan perkembangan sosial kehidupan masyarakat Indonesia secara umum, agama Hindu dan Buddha mengalami kemunduran yang sangat berarti setelah tokoh-tokoh di atas tiada. Guru-guru spiritual yang berkualitas amat langka, kitab-kitab suci pun amat terbatas (kalau toh ada cenderung dikeramatkan oleh pemiliknya), lontar-lontar mulai ditinggalkan dan dilupakan karena desakan teknologi dan arus materialisme. Makna ritual keagamaan mulai bergeser menjadi dogma. Keadaan seperti ini berlangsung hingga bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda dan Jepang.
Setelah zaman kemerdekaan, mulailah muncul keinginan-keinginan mempelajari agama-agama leluhur dan lahirlah kelompok-kelompok atau paguyuban-paguyuban yang khusus menggali dan mempelajari agama dan sastra yang pada zaman itu sangat populer dengan sebutan kelompok-kelompok kebatinan. Kitab-kitab suci agama Hindu dan Buddha mulai bisa didapatkan dari luar dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dhammaduta asing mulai datang ke Indonesia. Kaum intelektual mulai tertarik memperdalam belajar agama yang otentik/murni.
Tercatat pelajar-pelajar Bali di Yogyakarta antara lain I Ketut Tangkas (Alm. Bhante Tithaketuko), IGN Oka Diputhera dan lain-lainnya ikut tergabung dalam kelompok-kelompok yang menggali dan mempelajari filsafat-filsafat agama yang murni. Di Bali tercatat nama Ida Ketut Jelantik dari Desa Banjar Tegehe merupakan figur sastrawan yang getol mempelajari agama Buddha. Ida Ketut Jelantik yang terkenal dengan karya sastranya yang berjudul Sucita Subudi adalah paman Ida Bagus Giri (kemudian dikenal dengan nama Alm. Bhante Girirakkhito).
Ida Ketut Jelantik membangkitkan kembali ajaran Buddha yang otentik melalui kelompok-kelompok sastrawan di Bali Utara/Buleleng khususnya di desa Banjar dan sekitarnya. (www.brahmavihara.com)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara