• Saturday, 2 June 2018
  • Victor A Liem
  • 0

Dalam salah satu rangkaian kegiatan Pilgrimage with H.E. Dagri Rinpoche pada (5/5) adalah berkunjung di kompleks Candi Sewu. Pesona Candi Sewu selalu menarik dan menampilkan hal baru seiringan dengan proses restorasi yang masih berlanjut hingga sekarang ini.

Candi Sewu dibangun pada abad ke-8 yang berjarak tidak jauh dari sebelah utara Candi Prambanan. Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar ke-2 setelah Candi Borobudur. Candi Sewu ini juga berusia lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan “Sewu” yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.

Dalam satu bis rombongan pilgrimage, saya bersama Goenawan A. Sambodo, seorang arkeolog yang sudah banyak mempelajari keberadaan candi-candi di Jawa Tengah.

Sepanjang perjalanan, saya ngrobrol banyak hal dengan Mbah Goen, panggilan arkeolog lulusan jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada itu. Menurutnya, Candi Sewu ini bisa dikatakan sebagai “Taj Mahal” Indonesia. Pembangunan Candi Sewu diprakarsai oleh Raja Rakai Pikatan untuk permaisuri tercinta Pramodawardhani, yang berbeda agama dengannya.

Dari perbincangan itu, saya penasaran dan menelusuri sejarah Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, dan menemukan pelajaran berharga.

Rakai Pikatan nama lengkapnya Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku, yang adalah raja ke-6 Kerajaan Medang wangsa Sanjaya periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno) yang memerintah sekitar tahun 840– 856. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan.

Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan. Prasasti Wantil juga menyinggung perkawinan Rakai Pikatan Mpu Manuku dengan seorang putri beragama lain.

Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Syailendra yang beragama Buddha, sementara Mpu Manuku sendiri memeluk agama Hindu Siwa.

Pramodawardhani, yang juga dikenal sebagai Sri Kahulunnan atau Sri Sanjiwana, adalah putri mahkota Wangsa Syailendra. Menurut prasasti Kayumwungan, Pramodawardhani meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Bangunan ini umumnya ditafsirkan sebagai Candi Borobudur.

Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjushrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana Manjushrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementara Vajrajasana bermakna tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjushri-grha bermakna Rumah Manjushri.

Manjushri adalah salah satu Boddhisattwa dalam ajaran Buddha Mahayana. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja yang termasyhur dari kerajaan Mataram Kuno.

Kompleks candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Syailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya.

Adanya Candi Sewu yang bercorak Buddha berdampingan dengan Candi Prambanan yang bercorak Hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama.

Ketika berada pada kompleks Candi Sewu, terbayang kebesaran dan keagungan perkembangan agama Buddha di masa lalu, namun tidak lupa adanya penghargaaan akan keberagaman terutama hidup dengan saling menghargai dan penuh toleransi dengan agama Hindu yang lebih dahulu ada di Jawa Tengah.


Ayu Diah Pasha. Ist

Belum hilang rasa kagum akan keindahan candi, pada perjalanan pulang dalam bis, salah satu peserta, yaitu Ayu Diah Pasha, yang publik mengenalnya sebagai aktris sinetron, memberikan pesan dan kesan. Diah Pasha mengungkapkan bahwa kita besar dan maju karena perbedaaan.

Leluhur di masa lalu sudah menyadari hal itu, namun sayang belakangan ini sebagian kelompok oleh karena kepentingan kekuatan politik sesaat, mengorbankan pentingnya toleransi ditengah masyarakat yang penuh kemajemukan seperti ini. Mendengar kesan dan pesan Diah Pasha, saya pribadi tidak menyangka dengan berziarah di Candi Sewu akan mendapatkan hikmah seperti itu.

Terlepas obrolan dengan Mbah Goen tentang “Taj Mahal” dan apa yang disampaikan Diah Pasha tentang perbedaaan, menelusuri Candi Sewu, ibarat seperti nama asli Candi tersebut, yaitu Manjushrigrha, yang berarti menelusuri untuk kembali pada rumah atau kediaman dari Manjushri.


Manjushri. Ist

Nama Manjushri berarti “Gently Voice One”. Sering dipahami arti kata ini mewakili pandangan bahwa kebijaksanaan sejati tidak perlu diutarakan atau dibuat menarik perhatian agar orang lain menyetujuinya sebagai kebenaran. Secara tradisi, Manjushri merupakan simbol kebijaksanaan, yang dalam penjabarannya juga meliputi pengetahuan intelektual.

Melakukan puja dan membaca mantra Manjushri diyakini dapat membantu mengembangkan kebijaksanaan, daya ingat, dan pemahaman dalam mempelajari kitab suci. Namun semua itu berakhir pada rumah sejati yang sunyi, yang merupakan sumber dari pengetahuan dan kebijaksanaan sejati. Segala perbedaan tidak menjadi permasalahan apabila memahami pada akhirnya kembali pada Sang Rumah Sejati.

Om A Ra Pa Ca Na Dhih.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *