• Saturday, 6 May 2017
  • Ngasiran
  • 0

Sendang tirtho pagesangan, kinclong, kimplah-kimplah kumrincik ilineng toyo, pating sliri tawes, pari balasan anggang-anggang, sedoyo memuji mring Hyang Suci Nirmala tanpo sih Paduko Gusti dados punapa awak mawi. Widodari kahyangan sami rerumban tumuring masyaning sendang, jamas reresik tan emot ing wanci kamanungsan sitarup segering tirtho sendang badyo panjang ing yeswo, saibo bombong kulo nyurupi sesami titahe Gusti anjagi lestari. Rahayu rahayu rahayu.” ~ Viknyo Raharjo

(Sumber air hidup, jernih, kilauan kemricik aliran air. Hatur sembah pada Hyang Suci Murni tanpa welas asihMu tiadalah artinya hamba. Bidadari kayangan turut bersuka cita dengan hadir di sumber air, membersihkan dan merayakan segarnya sumber air yang membawa berkah usia panjang. Kami menjalankan bakti pada Gusti dalam menjaga alam agar selalu lestari. Damai, damai, damai.)

Syair di atas merupakan tembang Jawa yang digubah oleh Viknyo Raharjo yang berisikan tentang pitutur atau sebuah pesan dari para leluhur untuk anak cucunya agar senantiasa menghaturkan bakti dan merawat alam.

HL-2

Upacara sarat makna

Umat Buddha Kulon Progo, DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), selama sebulan penuh membuat pelbagai rangkaian kegiatan dalam menyambut Waisak 2561 BE/2017. Namun dari seluruh rangkaian kegiatan, Upacara Tribuana Manggala Bhakti adalah yang paling menarik, unik dan sarat makna. Kegiatan ini digali dari ajaran Buddha yang berpadu dengan budaya Jawa dan sangat relevan dengan agama Buddha.

Upacara Tribuana Manggala Bhakti dilaksanakan pada hari Senin, (1/5) di Ekowisata Taman Sungai Mundal. Mereka mengenakan pakaian Jawa, sarana puja, menanam berbagai bibit pohon, dan satwa burung. Surahman, inisiator Tribuana Manggala Bhakti menjelaskan bahwa berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam upacara ini merupakan wujud nyata penerapan agama Buddha.

“Tribuana tumbuh dari budi laku jadi tumbuh dari budi umat Buddha, dari hati sanubari yang diracik dengan budaya, agama dan adat-istiadat Jawa. Untuk ini kadang umat juga ada yang paham dan ada yang tidak. Menanyakan dasarnya apa kok menanam pohon, ‘Seko kitab tenan opo gawe-gawe? (apakah dari sumber kitab suci atau hanya karangan saja?) Wong tumindak apek rawat alam kok jeh takok dalil (Orang berbuat baik, merawat alam kok masih tanya sumbernya dari mana?).’ Tapi ya tidak apa-apa harus kita jelaskan supaya benar-benar bisa dimengerti,” ujar Rahman.

Dalam Vinaya Pitaka, Buddha bersabda kepada para bhikkhu, “Wahai para bhikkhu kalau mengembangkan dan mendalami Dhamma, gunakanlah adat setempat.” “Jadi kenapa dalam upacara kali ini menggunakan adat Jawa bukan berarti rasis atau mengunggul-unggulkan Bangsa Jawa itu bukan. Tapi untuk menjadi manusia yang tau akar budayanya. Karena umat Buddha Kulon Progo ini rata-rata adalah orang Jawa, ya upacaranya menggunakan adat Jawa, jadi tidak meninggalkan kepribadiannya selaku manusia Jawa.”

Sedangkan kenapa umat Buddha juga harus merawat alam. Buddha Gotama juga pernah menjelaskan dalam Sutta Mahagovinda. “Disebutkan pada saat para bhikkhu berkumpul di hutan Mahagovinda, India. Mereka berdiskusi dengan Buddha Gotama tentang alam yang baik. Alam yang lestari adalah tempat yang paling cocok untuk digunakan sebagai tempat (belajar) berbuat baik, untuk menata hati, melakukan kegiatan spiritual, meditasi.

“Selain itu, dalam Sutta Vanaropa, kalau di tradisi Hindu itu ada Vanakerti, merawat alam semesta. Perintah Buddha dalam Sutta Vanaropa dijelaskan pelestarian (aramaropa) maupun hutan (vanaropa), pembangunan jembatan, dan sumur sumber mata air dianggap sebagai tindakan bajik yang penuh karma baik sebagai penanda moralitas”.

HL-3

Penelitian

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh World Water Assessment Program, lembaga khusus yang meneliti air sedunia. Meramalkan bahwa pada tahun 2025 air sedunia mulai menyusut, sebabnya hutan-hutan ditebangi, alam tak lagi dirawat, sumber mata air tidak dijaga. Jadi ke depan tidak hanya rebutan sumber daya alam seperti minyak bumi, tetapi juga rebutan air

Karena itulah menurut Surahman, Upacara Tribuana Manggala Bhakti yang dilakukan oleh umat Buddha Kulon Progo menjadi relevan. “Menjaga supaya alam Gunung Kelir, agar alam Jatimulya ini tidak kekurangan air. Ini ada bibit-bibit pohon nanti, pohon bodhi, pohon jati, mahoni, jambu, orak-arik yang ditanam sebanyak 550 pohon. Kalau melepaskan burung ada peraturan desanya, ramah burung. Ada ikan yang akan dilepas itu juga wijud bakti terhadap alam semesta. Jadi bukan hanya ngawur upacara yang kita laksanakan pada siang ini,” jelas Surahman.

Sementara itu, Kepala Desa Jatimulyo memberikan pujian kepada umat Buddha Kulon Progo yang telah mendukung pemerintah dalam menjaga dan melestarikan alam. “Tribuana Manggala Bhakti adalah sebuah bentuk dukungan nyata umat Buddha terhadap peraturan desa nomor 4 tahun 2014 Desa Jatimulyo, tentang pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan Desa Jatimulyo, desa ramah burung. Kalau tadi Pak Surahman menyebutkan wanamarta perlu diketahui bahwa desa kita, adalah desa wanalestari yang sudah mendapat penghargaan langsung dari Presiden Jokowi.

Lihat foto lebih lengkap: Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *