• Sunday, 21 February 2021
  • Andre Sam
  • 0

Keberadaan Wong Kalang pada masa kini sukar diketahui, karena mereka sudah berbaur dengan masyarakat Jawa. Hal tersebut disebabkan karena wong Kalang memiliki sifat mudah menyesuaikan diri dan bersifat terbuka.

Kedudukan mereka tidak sejelas orang Tengger di Jawa Timur yang hidup mengelompok dengan memisahkan diri dari masyarakat yang beragama Islam, setidaknya di awal-awal penyebaran Islam di Jawa.

Kelompok maasyarakat Tengger masih merupakan kesatuan komunitas tersendiri yang masih teteap mempertahankan adat istiadat nenek moyang pra-Islam. Wong Kalang pada mulanya memiliki adat istiadat sendiri yang khas, namun lama kelamaan luntur dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat Jawa di sekitar tempat mereka tinggal.

Mereka menyesuaikan diri di bidang agama, mata pencaharian, bahasa, cara berpakaian, pemanfaatan teknologi, dan lain sebagainya. Hal itu menjadikan wong Kalang sudah berasimilasi dengan masyarakat Jawa dan mengadopsi pola hidupnya.

Dengan berasimilasinya wong Kalang, mereka telah sepenuhnya meninggalkan praktik keagamaan ataupun keseharian yang bersifat pra-Islam.

Tradisi obong

Terdapat satu hal yang masih dipertahankan hingga akhir tahun 1970-an, yaitu tradisi upacara obong yang membedakan masyarakat Jawa dengan tradisi wong Kalang. Upacara tersebut merupakan peristiwa peringatan kematian, 1.000 hari. Upacara bertujuan menghormati keluarga atau leluhur dengan cara membakar boneka sebagai simbol jenazah orang yang telah meninggal (puspa sarira/puspa gambar) dan perlengkapan sesajian lainnya.

Kemudian abu tersebut akan dilarung ke sungai atau ke laut. Upacara tersebut memiliki kesamaan dengan upacara Sraddha yang dilakukan pada era kerajaan Majapahit. Terdapat tiga hal pokok yang menunjukkan kemiripan antara kedua upacara tersebut.

Pertama adalah adanya puspa sarira atau puspa gambar, yaitu boneka sebagai wujud dari jenazah. Dalam upacara obong, puspa dibuat dari kayu jati yang tidak cacat, dengan tinggi sekitar 35 cm dan lebar 15 cm dilengkapi dengan pakaian serta perhiasan sebagaimana layaknya manusia hidup; sedangkan dalam upacara Sraddha (masa Majapahit), puspa atau simbol dari jenazah dibuat dari rangkaian bunga.

Kedua adalah adanya pancaka atau bangunan rumah-rumahan yang dibuat dari rangka bambu berdinding dan beratap daun ilalang berukuran tinggi 1 meter dengan luas 2 x 2 meter. Bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyemayamkan puspa sebelum akhirnya dibakar dan abunya dilarung.

Ketiga, meliputi proses jalannya upacara obong yang dilakukan dengan cara berjalan melawan arus putaran jam (praswyu). Hal tersebut lazim dilakukan dalam era Hindu-Buddha.

Upacara obong terdokumentasikan oleh wong Kalang, terakhir kali dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1978 di Desa Ngotho, Bangunjiwo, Sewon, Bantul, DIY Yogyakarta.

Pencaharian

Pada umumnya wong Kalang berprofesi sebagai wiraswasta. Mereka ahli dalam bidang usaha batik, tenun, dan barang-barang dari perak. Mereka jarang sekali yang tertarik menjadi pegawai negeri atau tentara.

Ciri lain dari wong Kalang adalah mereka menganut endogami, yaitu pihak laki-laki wong Kalang harus mengawini perempuan dari kelompok mereka sendiri. Meski demikian aturan endogami tersebut agak longgar bagi perempuan Kalang. Perempuan Kalang dapat mengawini pria di luar kelompok Kalang.

Praktik endogami tersebut ditujukan agar keaslian wong Kalang tidak luntur. Kelompok wong Kalang mensyaratkan seorang Kalang harus mengawini saudara sepupunya atau setidanya sesama orang Kalang.

Akan tetapi dengan perubahan zaman, syarat tersebut mulai diabaikan, sehingga membahayakan kelangsungan hidup wong Kalang.

Syarat lain adalah wong Kalang harus mempunyai jiwa wiraswasta dan menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan tradisi, mengutamakan solidaritas kelompok, bergaya hidup hemat, dan terutama bersifat rajin, jujur serta displin.

Wong Kalang yang mengabaikan syarat-syarat di atas akan dikucilkan dari komunitas Kalang bahkan tidak lagi dianggap sebagai wong Kalang. Seorang mendapatkan identitasnya sebagai wong Kalang adalah dari kelahirannya dan mempertahankan identitasnya sebagai wong Kalang atas kemauannya sendiri.

Sikap wong Kalang yang memilih terjun dalam dunia wirausaha dapat dipahami sebagai salah satu ciri khas sekaligus merupakan jati diri. Mereka selalu berusaha agar keberadaan mereka diakui melalui keberhasilan mendapatkan materi dengan usaha sendiri, sehingga wong Kalang berkewajiban mendapat hasil yang lebih besar dan lebih baik dari orang Jawa pada umumnya.

*Disarikan dari buku Tuha Kalang, Orang-orang Kalang dalam Kebudayaan Jawa. Karya Agus Aris Munandar, Aditya Revianur, Deny Yudo Wahyudi. Penerbit Weda Widya Sastra. 2018

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *