Saat iring-iringan mulai bergerak dini hari dari Dusun Krecek menuju makam leluhur, kesannya relief-relief Candi Borobudur kembali hidup setelah seribu tahun diam membatu. Pohon-pohon di kebun, balai-balai bambu, ikan-ikan koi di kolam mungil berair jernih, puri-puri kecil yang dihuni patung-patung Buddha di depan setiap rumah, keranjang-keranjang yang dipikul masyarakat Krecek, nasi tumpeng yang dibungkus selendang dan digendong seperti bayi oleh para laki-laki…
Semua tumbuh-tumbuhan, wajah-wajah penduduk, peralatan-peralatan mereka seolah-olah lepas dari batu andesit purbakala dan mengikuti iring-iringan itu penuh sukacita sampai ke puncak bukit. Gunung kembar Sindoro-Sumbing cerah, menjadi saksi bahwa agama Buddha Jawa kuno betul-betul telah bersemi kembali secara alami dari akar-akarnya di tanah yang disuburkan abu-abunya sejak ribuan tahun.
Baca juga: Nyadran, Cahaya Perdamaian dari Desa
27 – 30 Maret 2019. Kesan ini menjadi keyakinan pada hari-hari berikutnya, Saat Salim Lee mengungkap makna utama Candi Borobudur. Dari subuh hingga malam, di pendopo PAUD Dusun Krecek, tanpa rasa lelah dan penuh kebaikan dan senyum, Om Salim membagi ilmu dan hasil penelitihannya mengenai Borobudur sebagai Kamulan Bhumi Sambhara, atau kumpulan daya kebajikan (punyasambhara) dan kumpulan daya pengetahuan (jnanasambhara) yang saling memperkuat satu sama lain.
Pelahan-lahan dan bertahap, Om Salim membuka peta jalan pencapaian potensi tertinggi kehidupan manusia yang terukir dalam 1460 relief itu dan mengajak semua orang Dusun Krecek yang duduk bersamanya di pendopo PAUD menempuh jalan itu sampai ke ujung, yaitu Sunyata, semuanya sama dan semuanya beda.
Sunyata, semuanya sama dan semuanya beda.
Bahasa yang dipakai Om Salim bukan bahasa Sanskerta, bukan Pali, bukan pula Tibet atau Mandarin ataupun Jawa, tetapi bahasa ukiran Borobudur yang terwujud di Dusun Krecek dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya sebagai cermin kesusastraan Buddha Mahayana yang telah dipelajari dan dipahami begitu dalam oleh nenek moyang Jawa.
Saya sendiri selama bertahun-tahun mencari akar-akar alami agama Buddha Jawa kuno dan selalu menemukan jalan buntu karena telah diasingkan oleh tradisi Pali atau dicampuraduki kejawen. Sehingga saya mulai merasakan bahwa benang merah agama Buddha Jawa Kuno adalah Islam Tasawuf Jawa dengan tradisi selamatan dan zikir.
Makanya saya bersyukur pada masyarakat Krecek yang telah membuka pintu rumah mereka kepada tamu-tamu dan para peserta acara Nyadran Perdamaian 2019. Sebab rumah-rumah mereka adalah tafsir masa kini Bumi Buddha Jawa kuno.
Elizabeth D. Inandiak.
Seorang wartawati, penerjemah, dan sastrawan berasal dari Perancis yang banyak mempelajari kesusastraan Jawa, terutama dari era Sastra Jawa Baru.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara