“Wajah Gajah Mada dalam buku, “Gajah Mada: Biografi Politik” karya Agus Aris Munandar.”
Mahapatih Gajah Mada dan Majapahit menjadi perbincangan hangat di media sosial belakangan berkat tulisan Arif Barata di situs portal-islam.id.
Bagaimana tak ramai dibicarakan, tulisan yang mengutip buku “Kasultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi” karya Herman Janutama itu menyatakan,Gajah Mada beragama Islam dan Majapahit pun merupakan kasultanan.
Reaksi atas tulisan itu beragam terapi umumnya mencibir dan menertawakan. Meski demikian, banyak pihak yang mencibir sebenarnya juga tak bisa menunjukkan dasar argumennya.
Dalam diskusi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Kamis (22/6/2017), arkeolog menuturkan bahwa jika tak memahami sejarah dan arkeologi, sangat mungkin masyarakat memiliki kesimpulan yang salah tentang Majapahit. Arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar, mengatakan, artefak berbau Islam dari masa Majapahit memang banyak ditemukan.
Di Makam Troloyo, ada 100-an nisan dengan hiasan tulisan Arab. Nisan itu berasal dari masa 1203 – 1533 Masehi. Artinya, ada sejumlah nisan yang berasal dari masa sebelum berdirinya Majapahit pada 1292. Ini berbeda dengan pandangan umum yang menyatakan bahwa Islam baru muncul pada akhir kerajaan itu.
Eksistensi Islam sebelum Majapahit didukung oleh sejumlah catatan. “Ada yang menyebutkan, tahun 1082, sudah ada masyarakat Islam di Gresik,” kata Hasan. Meski ada artefak berbau Islam, arkeolog tetap berkeyakinan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, bukan Majapahit. Koin dengan tulisan Arab, nisan dengan kalimat syahadat tidak cukup menjadi bukti keislaman kerajaan yang berpusat di Trowulan itu.
Surya Majapahit terdiri dari gambar sembilan dewa dan delapan berkas cahaya Matahari. Lingkaran di tengah menampilkan sembilan dewa Hindu yang disebut Dewata Nawa Sanga.
“Majapahit tetap bercorak Siwa-Buddha, tecermin dalam peraturan perundang-undangan dan sistem teologinya. Saya tidak melihat benih-benih Islam sedikit pun,” tegas Djafar.
Arkeolog dan penulis buku “Catuspatha: Arkeologi Majapahit”, Agus Aris Munandar, mengungkapkan, keyakinan bahwa Majapahit merupakan kerajaan Siwa-Buddha didasarkan pada sumber-sumber arkeologi yang sebenarnya punya peringkat tersendiri.
“Sumber peringkat pertama atau yang paling bisa dipercaya adalah prasasti yang sezaman. Lalu prasasti yang terkait dengan prasasti sezaman itu,” katanya.
Sumber pada peringkat berikutnya adalah data arkeologis berupa monumen, fitur, dan artefak bergerak. Karya sastra yang sezaman dan yang lebih muda berada pada peringkat yang lebih rendah. Hal lain yang bisa jadi sumber arkeologi adalah berita asing, legenda, mitos, dongeng, dan pendapat para ahli.
“Kalau ada artefak koin dengan tulisan Arab, itu tidak bisa langsung menghapus kekuatan sumber prasasti lalu dijadikan dasar mengatakan Majapahit kerajaan Islam,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Agus menerangkan, identitas agama Gajah Mada dan Majapahit bisa dilihat dari prasasti dan hingga sistem pemerintahan. Gelar raja, misalnya, sudah bisa menjadi bukti bahwa Majapahit merupakan kerajaan bercorak Siwa-Buddha.
“Raden Wijaya bergelar Krtarajasa Djayawarddhana Anantawikramotunggadewa. Djayawardhana itu sudah jelas Hindu karena artinya keturunan Dewa Wisnu yang bertahta,” jelas Agus.
Identitas agama Majapahit juga bisa dilihat dari konsep dewaraja. Setiap raja di Majapahit memiliki dewa pujaan pribadi. Saat raja itu meninggal, dia diyakini akan bersatu dengan dewanya. Candi yang dibuat pasca meninggalnya raja itu akan dihiasi oleh figur sang raja yang digambarkan sebagai dewa pujaannya.
“Contoh, Tribhuanottunggadewi itu memuja Dewi Parwati, maka setelah meninggal diwujudkan sebagai dewa itu,” kata Agus. “Nama pejabat tinggi dalam Majapahit juga menunjukkan corak Siwa dan Buddha. Misalnya, ada Dharmmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmmadyaksa ring Kasogatan. Kasogataan artinya Kebuddhaan. Tidak ada Dharmmadyaksa ring Muslimah atau lainnya,” imbuh Agus.
Bukti lain ialah penataan kota Majapahit yang memperhatikan letak gunung yang dipercaya sebagai tempat suci dan corak prasasti. Soal surya Majapahit yang diklaim menjadi bukti keislaman kerajaan itu, Agus menuturkan bahwa delapan sinar yang ada pada lambang itu sebenarnya adalah tanda arah mata angin. Dalam kepercayaan Hindu, tiap arah mata angin berstana dewa penguasa.
Agama Mahapatih Gajah Mada
Sinar Majapahit menjadi ciri khas candi-candi peninggalan Majapahit di mana corak itu dijumpai pada batu sungkupnya. Agama Gajah Mada sendiri dipercaya adalah Buddha. Bukti penguatnya adalah catatan kitab Negarakertagama yang menyebut bahwa setelah pensiun, dia dianugerahi tanah Kebuddhaan yang bernama Madakaripura. Lokasi tanah itu berada di selatan Pasuruan.
Menurut Agus, untuk menafsirkan identitas agama suatu kerajaan, peringkat sumber-sumber arkeologis perlu diperhatikan. “Penulis (Kasultanan Majapahit) kemungkinan tidak mengerti pemeringkatan itu,” katanya. (Kompas.com)
Air terjun Madakaripura adalah sebuah air terjun yang terletak di Dusun Branggah, Desa Negororejo, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara