• Saturday, 9 June 2018
  • Victor A Liem
  • 0

Dalam aksara Jawa, pangkon adalah tanda baca yang menyerupai “kursi”, ditulis di belakang aksara carakan. Penggunaan pangkon adalah untuk mematikan huruf hidup di akhir kata. Seperti pada contoh kata, “bapak”, “macul”, “angon”, dan “dolan” di bawah ini;

Dalam film “Habis Gelap Terbitlah Terang” besutan Hanung Bramantyo, ada adegan menarik. Ibu dari Kartini, Ngasirah, menyampaikan falsafah pangkon kepada Kartini.

“Setinggi apa pun pengetahuan barat itu membawamu tetapi jangan lupa mereka tidak pernah mengajarkan bisa memangku untuk menjaga kestabilan dan keseimbangan.”

Keteladanan sebagai pangkon juga nampak dalam perbuatan Ngasirah yang merelakan suaminya Aria Sosroningrat untuk menikah lagi dengan perempuan bangsawan bernama R.A. Moeriam agar bisa maju sebagai bupati. Ngasirah melakukan itu demi anak-anaknya. Walaupun menjadi istri ke-sekian dan disingkirkan yang penting keturunan mereka bisa memperoleh derajat kedudukan yang lebih baik.

Di lain adegan, ketika ayah dari Aria Sosroningrat meminta anaknya maju sebagai bupati juga dilatarbelakangi karena jika Aria Sosroningrat tidak maju maka akan ada orang lain yang bersifat bengis yang akan menjadi bupati. Ayah Sosroningrat tidak ingin hal itu terjadi, karena bisa menyengsarakan rakyat Jepara.

Ada keteladanan dalam pribadi Ayah Sosroningrat dan Ngasirah, keduanya memangku keluarganya, juga memangku seluruh rakyat Jepara.

Falsafah pangkon juga diemban seorang raja. Gelar raja Jawa juga memakai filosofi pangkon ini. Seperti sebut saja gelar: Paku Buwana, Hamengku Buwana, Paku Alam, Mangkunegara, memiliki konotasi raja mesti rela dan menempatkan diri demi menjaga tatanan sosial. Raja bukan sekadar strata sosial dan politik tertinggi, tapi memberi arti bahwa semakin tinggi semakin mengemban tanggungjawab yang besar.

Dalam praktik keseharian, pangkon itu tentang bagaimana kita kembali pada fungsi atau bagaimana kita menempatkan diri. Tugas dan fungsi sebagaimana mestinya, dijalani tanpa lagi memikirkan kepentingan diri.

Sebagai pangkon, jelas sekali, membutuhkan kebesaran hati. Orang yang tidak memiliki kebesaran hati akan selalu merasa sulit bahkan menolak menjadikan diri bermanfaat bagi orang lain. Mengapa aku lagi, mengapa harus aku, bagaimana dengan urusan pribadiku, dan lain sebagainya, menjadi berbagai alasan untuk menghindar memikul suatu tanggungjawab.

Falsafah pangkon juga bukan tentang sekadar berani bertindak, tapi merupakan proses yang diawali berdamai dengan diri sendiri. Membutuhkan fase untuk menjinakkan diri sendiri, hingga diri ini menjadi lebih fleksibel dan siap untuk berbagi dan memberikan jerih payah terbaik demi manfaat dan kebahagiaan orang lain.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *