• Saturday, 8 June 2019
  • Victor A Liem
  • 0

Pernah suatu ketika Didi Nini Thowok, budayawan sekaligus maestro seni tari, menceritakan wejangan dari kakeknya. Sebuah konsep “mbodo” ajaran Jawa yang diterapkan dalam hidupnya, yang membawanya hingga sejauh ini.

Secara praktis, ketika bertemu dan bercakap-cakap baik dengan senior maupun junior, Didi selalu menerimanya dengan baik, itu semua selalu dihargainya sebagai guru dalam artian yang luas serta selalu bersilaturahmi adalah hal yang dilakukannya kepada siapa pun.

Falsafah mbodo ini begitu menarik, bukan karena figur Didi Nini Thowok. Tapi lebih merupakan rahasia orang Jawa dalam menjalani hidup yang selalu damai dan tenteram.

Hal yang mirip adalah dalam Zen, seperti diungkapkan oleh Shunryu Suzuki, “Dalam pemikiran pemula, ada banyak kemungkinan, tetapi dalam pemikiran pakar hanya sedikit.”

Mbodo, itu laku hidup yang rendah hati dan terbuka dalam belajar tentang apa saja, bukan hanya kebijaksanaan tapi juga tentang keterampilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bagaimana mbodo bisa memberi kemajuan? Itu karena mbodo tidak terbebani oleh status merasa pakar, merasa sudah pandai, menjadi yang merasa paling dan itu hanya menjadikan alasan dibalik perilaku egois.

Status quo tidak menjadi hal penting, karena itu tidak pernah mempertaruhkan egonya dalam berbuat pada orang lain. Selalu baik, ringan tangan, bersahabat dan memperlakukan orang lain dengan hormat. Setiap orang menjadi guru yang membuatnya semakin mengerti akan hakikat ilmu.

Baca juga: Falsafah Pangkon

Mbodo tidak terjebak pada batasan, tapi pada kemungkinan baru yang tak terbatas. Untuk menjadi terbuka, tidak mudah terjebak dengan menghakimi orang lain dan memandang segala sesuatu secara mutlak sebagai “baik dan buruk”.

Lelaku mbodo ini mungkin sudah sulit kita jumpai pada zaman sekarang. Namun di masa lalu orang Jawa melakukan lelaku ini. Peradaban dan kebudayaan Jawa di masa lalu selalu terbuka, dinamis, dan menyerap tradisi dan budaya bangsa lain. Diracik dan diramu menjadi ciri khas tersendiri seperti yang nampak pada sastra dan arsitektur candi.

Singkat kata, mbodo itu menegaskan diri sebagai pembelajar tanpa embel-embel harga diri. Karena tidak ada harga diri, maka tidak ada beban dan jarak dengan orang lain, dan tentu saja akan selalu ada harmoni.

Victor Alexander Liem 

Desainer batik tulis. Tinggal di Kudus, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *