Pyrrho mungkin sebuah nama yang teramat asing bagi kita. Menyebut namanya saja bisa membuat lidah kita keseleo. Tapi tahukah Anda bahwa Pyrrho termasuk salah satu filsuf Yunani terkenal yang melahirkan paham Pyrrhonisme (skeptisme universal)?
Ya! Pyrrho dikenal sebagai filsuf Yunani pertama yang memperkenalkan paham skeptik pada filsafat Barat. Skeptisisme sendiri adalah sebuah paham yang memandang suatu opini atau hal dengan keragu-raguan atau ketidakpercayaan. Paham ini memiliki banyak dimensi seperti skeptik terhadap agama, supernatural, moralitas, hingga pengetahuan. Tapi kali ini kita tidak akan membahas perihal skeptisisme. Yang menarik bagi saya justru adalah bapak skeptisisme itu sendiri, Pyrrho. Karena ternyata ada keterkaitan antara filsuf terkenal ini dengan paham-paham yang berkembang di India pada saat itu, utamanya Buddhadharma.
Seperti yang kita tahu, tanah India adalah ibu dari budaya yang mana banyak sekali agama dan pandangan hidup lahir di tanah ini. Pyrrho (360-270 SM) berasal dari Elis di Yunani. Sebelum menjadi seorang filsuf besar, dia adalah seorang pelukis yang memajang karya-karyanya di sebuah gymnasium di Elis.
Perkenalannya dengan dunia filsafat dimulai ketika ia mempelajari karya-karya Democritus (460-370 SM). Dia sendiri menjadi murid Anaxarchus dari Abdera. Diogenes mencatat bahwa Pyrrho dan gurunya pergi mengikuti Alexander Agung (356-323 SM) dalam eksplorasinya ke dunia Timur. Di India dia mengenal paham-paham Timur dan membawanya pulang ke Yunani. Meskipun kemudian dia hidup miskin, dia cukup disegani oleh masyarakat Elis dan juga Athena yang memberikannya kewarganegaraan.
Sayangnya Pyrrho tidak meninggalkan catatan tertulis. Ajaran-ajarannya dicatat oleh muridnya Timon dari Phlius. Kebanyakan dari catatan ini telah hilang dan ajaran Pyrrho saat ini bersumber dari buku Kerangka Pyrrhonisme yang ditulis oleh Sextus Empiricus.
Filsafat Pyrrho dan ajaran Buddha
Tujuan utama dari filsafat Pyrrho adalah mencapai keadaan ataraxia atau kebebasan dari kecemasan. Dia percaya bahwa ataraxia dapat dicapai dengan menghindari kepercayaan-kepercayaan tentang pemikiran dan persepsi. Sebuah ringkasan filsafat Pyrrho telah disampaikan oleh Eusebius mengutip Aristocles dalam sebuah bagian yang disebut Bagian Aristocles:
“Siapa pun yang ingin hidup dengan baik (eudaimonia) harus mempertimbangkan tiga pertanyaan ini: Pertama, bagaimana pragmata (masalah etika, urusan, topik) secara alami? Kedua, sikap apa yang harus kita lakukan terhadap mereka? Ketiga, apa yang akan terjadi bagi mereka yang memiliki sikap ini?”
Jawaban Pyrrho adalah bahwa “Adapun pragmata mereka semua adiaphora (tidak dibedakan oleh suatu perbedaan logika), astathmēta (tidak stabil, tidak seimbang, tidak terukur), dan anepikrita (tanpa menilai, tidak tetap, tidak dapat diputuskan).
Oleh karena itu, baik persepsi indrawi maupun doxai kita (pandangan, teori, keyakinan) memberi tahu kita kebenaran atau kebohongan; jadi kita tentu tidak harus bergantung pada mereka. Sebaliknya, kita harus menjadi adoxastoi (tanpa pandangan), aklineis (tidak tertarik ke arah sisi ini atau itu), dan akradantoi (tidak goyah dalam penolakan kita untuk memilih)….”
Biografi Pyrrho yang ditulis oleh Diogenes melaporkan bahwa ketika Pyrrho pergi mengembara mengikuti Alexander Agung ke India, dia telah mengambil banyak paham dan ajaran yang berkembang di India saat itu:
… dia bahkan pergi sejauh para Gymnosofis, di India, dan para Magi. Karena itulah tampaknya dia telah mengambil jalan mulia dalam dunia filsafat, memperkenalkan doktrin ketidakmampuan untuk memahami, dan perlunya menangguhkan penilaian seseorang….
Menurut Christopher Beckwith dalam bukunya yang berjudul Greek Buddha: Pyrrho’s Encounter with Early Buddhism in Central Asia, ada kemungkinan besar bahwa Pyrrho telah belajar dan terinspirasi oleh umat Buddha di Gandhara kuno.
Terdapat beberapa filosofi yang serupa antara Pyrrhonisme dengan ajaran Buddha. Pertama adalah konsep ataraxia sebagai tujuan utama dari Pyrrhonisme, yaitu kebebasan dari kecemasan yang mirip dengan nibbana/nirwana dalam ajaran Buddha.
Cendekia modern seperti Thomas McEvilley dan Adrian Kuzminski juga menemukan keselarasan antara skeptisisme Pyrrhonian dengan pemikiran Madhyamaka Buddhis. Kebanyakan sumber ini dapat dilihat pada Bab Atthakavagga bagian dari Sutta-nipata dari Khuddaka-nikaya. Salah satunya tercermin dalam Suddhatthaka Sutta syair 794:
Mereka tidak berspekulasi, mereka tidak menjunjung tinggi pandangan yang mana pun dan mengatakan ‘Inilah kemurnian tertinggi.’ Mereka melepaskan simpul kemelekatan dogma dan tidak merindukan apa pun di dunia ini.
Masih menurut Beckwith, tiga karakteristik Pyrrho tentang pragmata mirip dengan tiga corak umum Tilakkhana:
Adiaphora yang berarti tidak dibedakan oleh suatu perbedaan logika, atau dalam hal ini ‘tanpa adanya sebuah identitas diri’ selaras dengan anatta/anatman (tanpa inti).
Astathmēta yang berarti tidak stabil, tidak seimbang, tidak terukur, atau dalam hal ini ‘ketidakseimbangan, ketidaknyamanan’ selaras dengan dukkha/duhkha (ketidakpuasan, ketidaknyamanan, rasa sakit).
Anepikrita yang berarti tanpa menilai, tidak tetap, tidak dapat diputuskan, atau dalam hal ini bahwa pragmata tidaklah dapat secara permanen diputuskan/ditetapkan selaras dengan anicca/anitya (ketidakkekalan).
Sampai di sini timbul pertanyaan, apakah ajaran Buddha itu bersifat skeptik? Untuk menjawabnya tergantung pada pemahaman kita tentang pengertian skeptisisme itu sendiri. Di sini, ajaran Buddha menekankan pada pentingnya investigasi untuk memutuskan suatu kebenaran.
Dalam sebuah khotbah di dalam Anguttara-nikaya, perumahtangga Anathapindika berbicara kepada beberapa pengelana dari berbagai aliran yang ingin mengetahui pandangan Buddha. Anathapindika tidak memberikan petunjuk kepada mereka tentang pandangan Buddha, tetapi justru mengorek pandangan mereka.
Baca juga: Anicca, Filosofi Buddhisme yang Dapat Mengubah Cara Anda Melihat Kehidupan
Mereka memegang berbagai jenis pandangan yang berbeda: bahwa dunia itu abadi, tidak abadi, terbatas, tidak terbatas, bahwa jiwa dan jasmani adalah sama, atau berbeda, bahwa Tathagata tetap ada setelah meninggal atau tidak ada, atau keduanya, atau tidak keduanya.
Anathapindika kemudian mengatakan kepada mereka apa yang dia percayai, bahwa semua pandangan-pandangan ini telah muncul dari perhatian yang ceroboh atau berdasarkan ucapan orang lain, bahwa pandangan-pandangan ini adalah berkondisi (sankhata), sebuah produk dari kehendak yang terbentuk di dalam pikiran (cetana), muncul saling bergantungan (paticcasamuppanna), yang oleh karena itu adalah tidak tetap, tidak memuaskan, dan dengan demikian pandangan-pandangan itu adalah keliru.
Dalam khotbah lainnya di dalam Anguttara-nikaya, seorang petapa kelana yang sedang berdiskusi dengan perumahtangga Vajjiyamahita menuduh Buddha Gotama sebagai seorang nihilis (venayika) dan dia adalah orang yang tidak memberikan pernyataan yang pasti. Vajjiyamahita menjawab:
“Tentang hal itu pula, tuan-tuan yang mulia, saya akan berbicara tentang Dhamma pada sahabat-sahabat yang terhormat. Yang Terberkahi, tuan yang mulia, menyatakan bahwa sesuatu itu bajik dan yang lain tak-bajik. Yang Terberkahi, yang telah menyatakan apa yang bajik dan apa yang tak-bajik, adalah orang yang memberikan pernyataan yang pasti. Beliau bukan seorang nihilis. Beliau bukan pula orang yang tidak memberikan pernyataan yang pasti.”
Terkait keselarasan lainnya antara filsafat Pyrrho dengan ajaran Buddha, mungkin diperlukan pemahaman lebih mendalam terkait keduanya. Meskipun saya agak ragu karena Pyrrho berkelana di India hanya selama 18 bulan dan oleh karena itu mungkin tidak menyerap seluruh inti sari dari ajaran Buddha pada saat itu.
Upasaka Sasanasena Seng Hansen
Sedang menempuh studi di Australia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara