Buku karya Bhiksu Haemin yang berjudul What You See When You Take a Break (Korea: 멈추면, 비로소 보이는 것들 – Meomchumyeon, Biloso Boineun Geosdeul) atau Yang Anda Lihat Saat Anda Istirahat diterbitkan tahun lalu pada 1 Januari 2012 dan tetap pada posisi teratas buku terlaris selama 13 minggu antara bulan Mei hingga Juli 2012. Kini, buku karya bhiksu berusia 38 tahun tersebut menjadi buku terlaris di Korea dengan terjual lebih dari 2 juta eksemplar.
Menurut Kyobo Bookstore, toko buku terbesar di Korea, 5 buku peringkat teratas dari 100 buku terlaris pada tahun 2012 adalah karya para bhiksu dan bhiksuni. Hal ini membuktikan bahwa agama Buddha kembali menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari warga Korea.
Padahal, sejak industri penerbitan mengalami kelesuan selama bertahun-tahun di negara tersebut, sebuah buku dikatakan laris jika mampu menyentuh angka penjualan 10 ribu eksemplar. Tapi apa yang dicapai What You See When Yout Take a Break sungguh fenomenal karena sangat jauh melampaui ambang batas.
Buku What You See When Yout Take a Break berisi mengenai bagaimana kita dapat mengatasi konflik-konflik yang kita hadapi di dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih baik, baik di rumah maupun di tempat bekerja. Walaupun buku tersebut ditulis oleh seorang bhiksu, namun isinya sangat sedikit dengan istilah-istilah Buddhis. Isinya tak ubahnya seperti sebuah buku panduan diri dengan lukisan-lukisan yang ditempatkan di antara tulisan-tulisannya tersebut.
Bhiksu Haemin, sang penulis, memiliki latar belakang yang unik yang menarik perhatian media juga Ordo Jogye –tradisi Buddhis terbesar di Korea. Ia menjabat sebagai seorang penerjemah bagi Bhiksu Jaseung, ketua ordo tersebut, saat perjalanannya ke Perancis tahun lalu. Ia juga aktif sebagai penceramah untuk memotivasi kaum muda.
Ia meraih gelar master dan doktor masing-masing di Harvard Divinity School dan Universitas Princeton. Ia merupakan biarawan Korea pertama yang mengajar di Amerika Serikat sebagai seorang profesor di Hampshire College di Amherst, Massachusetts, sebuah perguruan tinggi seni liberal. Ia dikenal karena menggabungkan studi agama dengan meditasi.
Selain What You See When You Take a Break, buku Buddhis lain yang laris adalah sebuah esai berjudul A Snail Isn’t Slow Even If It Is Slow karya Bhiksuni Jungmok. Buku ini berisi tentang bagaimana mengatasi masalah-masalah dalam hidup sehari-hari, mulai dari percintaan, kesehatan, hingga kebahagiaan. Bhiksuni Jungmok juga memandu sebuah acara radio di the Buddhism Broadcasting System selama 8 tahun ini.
Tapi penulis Buddhis paling produktif di Korea disandang oleh Bhiksu Pomnyun, yang menerbitkan 4 buku dalam rentang tahun ini dan tahun lalu. Salah satu yang menjadi buku terlaris adalah A Buddhist Monk’s Words to Newlyweds.
Bhiksu Pomnyun sering mengadakan puja di seluruh Korea, dan selama pelayanannya tersebut ia sering mendapat pertanyaan dari umat. Nasehat-nasehat yang ia berikan tersebut menjadi inti dari buku-bukunya.
Kenapa Korea Tertarik dengan Buku-buku Buddhis?
Buddhisme adalah agama tertua di Korea yang mulai masuk sekitar abad empat, namun kini penganut Kristiani lebih dominan. Penganut agama Buddha mencapai 22,8%, sedangkan Kristiani mencapai 29,2% (Protestan 18,3% dan Katolik 10,9%).
Karenanya, fenomena larisnya buku-buku karya bhiksu-bhiksuni merupakan kejadian fenomenal dalam industri penerbitan dan merupakan sebuah tren sosial. Bahkan bukan hanya bhiksu-bhiksuni Korea yang berjaya, buku How to Empty Your Mind karya Bhiksu Ryunosuke Koike dari Jepang juga masuk daftar buku terlaris tahun lalu.
Kenapa orang Korea tertarik dengan buku-buku Buddhis?
Para ahli mengaitkannya dengan sebuah isu paling panas saat ini di masyarakat Korea: penyembuhan.
Istilah “penyembuhan” saat ini begitu populer di Korea dan sangat gampang dijumpai di mana pun, mulai dari spa, paket wisata, menu restoran, hingga acara dialog di televisi.
Terkait munculnya fenomena penyembuhan dan larisnya buku Buddhis, “Ada kecenderungan bagi orang-orang untuk memilih mendekati para pemimpin agama ketika mereka mengalami kesulitan keuangan,” kata Lee Na-mi, seorang psikiater yang memiliki dan menjalankan sebuah klinik di Seocho-dong, selatan Seoul.
“Selain itu, budaya materialisme sangat menonjol selama beberapa tahun terakhir. Sekarang orang lebih cenderung ke arah spiritualisme sebagai cara untuk menjaga keseimbangan dengan materialisme,” kata Lee.
“Orang-orang muda, khususnya, melepas agama tradisional mereka. Tapi begitu mereka memutuskan untuk mengejar spiritualitas, mudah bagi mereka. Mereka mencoba untuk menemukan spiritualitas dalam agama Kristen pada awal abad 20, tapi sekarang mereka ingin menemukannya dari Buddhisme, seperti orang Barat lakukan di awal abad 20.”
Bhiksu Haemin sendiri memiliki cerita menarik bagaimana ia melihat warga Korea memang benar-benar sedang butuh kata-kata penyembuhan.
“Suatu hari, saya ngetwit ketika sedang makan ramyeon, saya bilang kepada follower saya bahwa kita harus mencintai diri kita sendiri bahkan ketika kita hanya bisa makan mi instan seadanya,” tutur Bhiksu Haemin pada JoongAng Ilbo.
“Ternyata yang mention memberi respon sangat membludak. Sungguh sangat mengejutkan! Dan saya sadar, orang-orang benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa memberi tepukan di bahu mereka.”
Kim Ji-ho, seorang profesor psikologi dari Kyungpook National University memiliki pandangan yang berbeda.
“Orang peduli dengan apa yang mereka makan dan apa yang mereka konsumsi. Itu adalah tren di kalangan orang-orang yang sejahtera. Tapi mereka cukup dewasa untuk berpikir juga tentang kesehatan mental mereka,” kata Kim.
Lalu kenapa orang Korea memilih bhiksu-bhiksuni?
Han Gi-ho, kepala Korea Publishing Marketing Research Institute punya jawabannya. Sebenarnya banyak buku bagus yang ditulis oleh pastor Katolik, tapi saat ini sangat sulit ditemukan. Celah ini yang berhasil diambil oleh para penulis Buddhis.
“Mereka memiliki sedikit sentuhan Buddhisme. Selain itu, buku-buku ini tidak berbicara tentang pencerahan yang berat, mereka berbicara kepada pembaca seolah-olah mereka adalah teman bagi pembaca,” jelas Han.
Banyak komentar di internet membuktikan hal ini. Misalnya seorang netizen bernama Sweetmanyo menulis, “Saya Kristiani, tapi kata-kata Bhiksu Haemin membuat saya sangat nyaman.”
Netizen lain bernama Heather menulis, “Saya seorang ateis, jadi saya tidak pernah membaca buku yang ditulis oleh pemimpin agama, tapi buku (Haemin) ini sangat berbeda. Saya merasa seperti disembuhkan oleh kata-katanya.”
Nah, bagaimana dengan Indonesia? Kapan ya ada buku bagus dan laris yang ditulis oleh bhikkhu/bhikkhuni/bhiksu/bhiksuni kita? (bhagavant/korea jong ang daily)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara