• Friday, 30 June 2017
  • Ngasiran
  • 0

“Sabab Eyang Mpu wis ninggali Karangan Sloka Waskita Adiluhung Pustaka Sabda Badra-santi minangka gegaran kanggo ulah kautaman tumuju ning kabegjan lan Karahayon” (Sejarah Carita Lasem).

“Eyang mpu telah mewariskan sloka ajaran yang mulia yakni Pustaka Sabda Badra Santi, ada pun tujuannya tak lain sebagai pedoman keutamaan hidup untuk meraih kebahagiaan dan penuh dengan berkah.”

LASEM, adalah nama salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang. Meski hanya sebuah wilayah kecamatan saja, Lasem mempunyai sejarah panjang dan berperan penting di masa lalu. Berdasarkan data artefaktual yang ditemukan, Lasem adalah kota pelabuhan dagang dan pangkalan angkatan laut sejak era Majapahit. Bahkan dapat dikatakan sudah ramai sejak era Borobudur. Ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan kapal kayu kuno di Desa Punjulharjo, yang diidentifikasi berasal dari sekitar abad ke-7 dan 8 M.

Selanjutnya pada era Hayam Wuruk (1350-1389 M), Lasem menjadi wilayah khusus (perdikan) Majapahit yang dipimpin adik sepupu perempuan raja. Ia  bernama Dewi Indu Purnama Wulan yang diangkat menjadi adipati oleh Prabu Hayam Wuruk pada tahun 1351. Dewi Indu mempunyai peran penting sebagai seorang anggota Dewan Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu. Kejayaan negeri Lasem, dapat kita jumpai dalam pustaka Nāgarakṛtâgama Pupuh V dan VI.

Tempat peribadatan, Foto Tropenmuseum.

Selain mempimpin kerajaan yang berwilayah “belah semangka”, meliputi lereng Gunung Muria berbatasan Sungai Silugangga (Juwana) hingga Bojonegara. Lasem sebagai pusat kerajaan juga menjadi pusat pendidikan bagi para punggawa (sekarang semacam tempat pendidikan dan pelatihan bagi aparatur sipil-militer negara). Hal ini dapat ditemukan dari jejak artefak yang melimpah di Desa Kajar.

Pada abad ke-15, seiring surutnya imperium Majapahit, Lasem turut pudar menyesuaikan corak duniawi atau Tilakkhana (Anicca, Dukkha dan Anatta). Sebagaimana berita tradisi, Majapahit “dianggap” runtuh pada tahun 1478 M. Bersamaan dengan runtuhnya Majapahit, Agama Siwa dan Buddha sebagai keyakinan para penduduknya, turut pudar mematuhi hukum alam, gilir gumanti. Saat itulah, seorang penerus Dewi Indu Purnama Wulan, menyaksikan detik-detik perubahan yang terjadi di Majapahit.

Adalah Pangeran Santi Badra, yang harus merelakan diri berpisah dengan putra-putrinya selama sepuluh tahun. Mematuhi pesan nasihat ayahnya sebelum wafat, agar Santi Badra pergi mengabdi ke Wilwatikta Majapahit. Ia diutus ayahnya yang adipati Lasem, untuk menuntaskan mempelajari agama Buddha dan seni budaya Jawa di istana Majapahit. Berkat ketulusan dan pengabdian Santi Badra, sang raja saat itu, Bhre Kerthabumi, menganugrahinya gelar sebagai Tumenggung Wilwatikta. Sementara itu, kakaknya menggantikan sang ayah sebagai adipati Lasem.

“Santi Badra adalah pemuka agama Buddha Majapahit. Pada saat itu Majapahit terserang wabah penyakit Gondok. Masyarakat dan keluarga majapahit tidak mendapatkan obat selain dari tokoh lasem yang bernama Mpu Santi Badra. Karena itu Santi Badra kemudian diangkat menjadi Tumenggung Kerajaan Majapahit (wilwatikta),” ujar Mbah Karsit, sesepuh kanung Lasem, dalam sebuah video dokumentasi penelusuran sejarah lasem yang dibuat oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Foto: Lukas Suryono

Pada berita yang termuat dalam Carita Lasem dan Badra Santi, saat terjadi kudeta terhadap pemerintahan Bhre Kerthabumi, Mpu Santi Badra sempat ditahan pemberontak di sebuah bangunan kompleks istana Majapahit. Namun justru berkat bantuan seorang kerabat pemberontak, Mpu Santi Badra beserta para abdi kinasihnya, berhasil meloloskan diri dan pulang ke Lasem.

Tiba di Lasem, keadaan telah berubah, kakaknya yang menjabat sebagai adipati telah wafat. Sebagai putra adipati yang berhak memimpin Lasem, Santi Badra harus merelakan kenyataan yang terjadi. Lasem telah menjadi negeri Islam yang dipimpin bukan darah adipati Lasem-Majapahit. Melainkan Putri Malokhah yang merupakan menantu keponakannya atau janda dari putra kakaknya.

Mpu Santi Badra yang merupakan siswa Bhikkhu Na Wang I dari Campa atau dikenal sebagai Dhang Hyang Asthapaka, mudah menyesuaikan perubahan yang telah terjadi. Ia mengalah dan menjadi seorang sramana Buddha (semacam pandita Buddha yang melakukan praktik brahmacari di usia tua). Mpu Santi Badra menghabiskan sisa hidupnya hampir 18 tahun lamanya di Puntuk Punggur, Gunung Ngargapura, Lasem. Ia mengajarkan Buddhadhamma bercorak kegeniusan lokal yang dikenal sebagai Endriya Pra Astha. Khususnya kepada para pandita-pandita kanung Ngargapura Lasem. Pada masa pertapaan itulah Mpu Santi Badra meneruskan menulis Sabda Badra Santi hingga wafatnya pada tahun 1527 M.

Setelah wafat, Mpu Santi Badra dikremasi dan abunya dikubur di Punden Tapaan yang ditandai dengan panca wiyasa (lima buah batu disusun rapi). Berdasarkan cerita rakyat, di punden tapaan tersebut juga disemayamkan sesepuh Agung Ngargapura Lasem lainnya. Seperti; Dhanyang Kie Seng Dhang, Hang Sambadra (Badrawarman?), Eyang Dewi Si Ba Ha (kakak Dewi Simah-Ratu Sima), dan Rangga Widyabadra yang merupakan leluhur Mpu Santi Badra.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *