Selain di Pulau Jawa yang berserakan candi-candi Hindu dan Buddha, Pulau Sumatera pun tak kurang menyimpan banyak candi Buddha. Meski berlapis-lapis tanah telah menutupinya seturut dengan datangnya generasi demi generasi menggantikannya, namun di dalam lapisan yang terdalam, candi Buddha itu tetap bersemayam dalam damainya.
Beberapa waktu lalu BuddhaZine melihat dan mencoba membuktikannya. Perjalanan menyusuri jejak Buddha di Sumatera dimulai dari Jakarta menuju Pekanbaru, Riau. Pertama kami mengunjungi Candi Muara Takus di Propinsi Riau dan keesokannya dilanjutkan menuju beberapa candi lainnya di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Setelah bermalam di Pekanbaru, keesokan harinya, kami mengunjungi Candi Muara Takus. Kompleks Muara Takus terletak 135 km dari Pekanbaru dengan melewati kota kabupaten Bangkinang. Situs Muara Takus terletak 25 km dari Desa Muara Takus. Situs ini terletak di pinggir sungai Kampar dan masuk wilayah Kec. XIII Koto Kampar, Kab. Kampar, Riau. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.
Candi Tertua di Sumatera
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter. Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu, dan Mahligai Stupa serta Palangka. Di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Kompleks Candi Muara Takus adalah satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini. Namun, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan, dan sebagainya. Yang jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam.
Candi Muara Takus adalah candi tertua di Sumatera yang terbuat dari tanah liat, tanah pasir, dan batu bata, sedangkan candi yang ada di Jawa terbuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat candi ini, khususnya tanah liat, diambil dari Desa Pongkai yang terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir kompleks Candi Muara Takus. Nama Pongkai berasal dari bahasa Mandarin “Pong” (lubang) dan “Kai” (tanah), maksudnya adalah lubang tanah yang diakibatkan oleh penggalian untuk pembuatan Candi Muara Takus tersebut.
Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong-royong dan dilakukan oleh orang ramai. Bekas lubang galian tersebut sekarang tidak dapat kita temukan lagi karena sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa besar dengan sebuah bentukan menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Halaman candi ini berbentuk bujur sangkar (persegi) yang dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok sekitar 80 cm. Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir Sungai Kampar Kanan.
Sejarah mencatat candi ini ditemukan oleh Yzerman tahun 1893 berupa gundukan tembok yang berlapis-lapis. Sebuah peristiwa yang menakjubkan terjadi di Candi Muara Takus ini. Pada tahun 1935, arkeolog Belanda, Dr. FM Schnitger menyaksikan segerombolan gajah di bulan purnama seperti hendak berziarah.
Setelah merasa cukup berada di Muara Takus, kami kembali ke Pekanbaru. Keesokkan harinya menuju kota Rantau Prapat, Sumatera Utara yang berjarak sekitar 350 km dari kota Pekanbaru. Tiba di kota Rantau Prapat pada malam hari, nyatanya kota kecil yang terletak 450 km dari Medan tetap terasa hidup. Ada sebuah mal kecil lengkap dengan hotelnya tempat kami menginap dan keramaian orang berjualan di sepanjang jalan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara