Meski tak satu pun arca Buddha ditemukan, namun gaya bangunan serta sisa profil alas stupa yang terdapat di sisi Tenggara atap candi menguatkan dugaan bahwa Candi Brahu adalah candi Buddha.
Candi Brahu, diperkirakan didirikan pada abad ke-X pada masa kerajaan Medang Kamulan dengan dasar prasasti ‘Tembaga Alasantan’, dalam prasasti tersebut terdapat tulisan warahu atau waharu. “Jadi nama Brahu sendiri kemungkinan diambil dari kata itu, yang artinya bangunan suci pemujaan bagi agama Buddha,” tutur Said, salah satu pemandu wisata Situs Trowulan saat menjelaskan kepada Pemuda Buddhis Temanggung, Semarang & Kendal dalam Napak Tilas Kejayaan Majapahit.
Candi Brahu merupakan candi utama yang dikelilingi oleh 4 candi kecil. Namun karena berbagai faktor tiga candi lain sudah tidak terlihat. Tinggal Candi Gentong saat ini yang masih bisa dikunjungi.
“Jadi Candi Brahu ini termasuk candi inti yang dikelilingi oleh 4 candi yaitu, Candi Muteran, Candi Gedong, Candi Tengah dan Candi Gentong. Namun sayang, saat ini yang masih ada tinggal Candi Gentong yang tiga lainnya sudah hilang karena faktor alam dan manusia.”
“Kalau kita lihat nanti di Utara ada stupa yang menunjukkan bahwa ini adalah candi Buddha, tetapi yang satu masih utuh, yang lainnya sudah rusak. Tapi masih kelihatan,” jelas Said.
Di sisi barat candi ini terdapat lubang besar yang pada zaman dulu diperkirakan muat 30 orang. Lubang tersebut kemungkinan besar digunakan sebagai tempat sembahyang agama Buddha. “Lubang itu kemungkinan dulu digunakan untuk menaruh altar sesajian dan lain-lain. Dulu pernah ditemukan arca, kemungkinan itu adalah arca altar lubang tersebut. Dulu kemungkinan ada tangga untuk naik ke lubang tersebut, tapi sekarang sudah tidak ada”.
Pemugaran
Sejak ditemukan Candi Brahu sudah mengalami dua kali pemugaran. “Pertama pada tahun 1920. Dilakukan oleh seorang insinyur dari Belanda yang bernama Marklenton, dia merenovasi candi ini dengan memasang batu bata dari candi yang sudah runtuh. Terutama bagian tubuh candi yang sebelah Selatan. Itu kan terlihat ada spasinya dikasih semen dan pasir untuk menempelkan batu bata,” terangnya.
Namun menurutnya, karena proses pemugaran yang pertama kurang bagus, akhirnya pernah runtuh dan dipugar lagi oleh dinas Peninggalan Purbakala Jawa Timur pada tahun 1990 selesai tahun 1995. Selesai pemugaran Candi Brahu kemudian diresmikan pada tanggal 9 September 1995 oleh Wardiman Joyonegoro yang saat itu menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan.
“Proses pemugaran dulu, ada semacam cor-coran itu untuk menata dari atas, karena dulu pernah runtuh sampai atas. Proses pengecoran itu tidak disamarkan, sebenarnya perlu disamarkan supaya supaya terlihat aslinya. Namun menurut saya ada tujuan tersendiri mengapa tidak disamarkan yaitu, untuk memperlihatkan bahwa candi ini pernah mengalami runtuh. Di Dalam candi yang ada lubangnya itu dikasih beton sebagai penyangga untuk menyangga supaya tidak runtuh kembali.”
Candi Brahu berukuran tinggi 25 meter dan panjang lembar 18 x 22,5 meter. Candi ini sekaligus merupakan candi terbesar, tertinggi dan tertua di Jawa Timur yang terbuat dari bata merah. Bata yang kelihatan putih itu, bata asli dari bangunan Candi Brahu, tetapi bata yang merah itu bata baru. Karena proses penggaraman bata merah itu sebenarnya juga berpengaruh pada kerusakan bata yang asli.
Hingga saat ini, Candi Brahu masih digunakan sebagai tempat sembahyang agama Buddha. “Fungsinya masih seperti dulu sebagai tempat keagamaan. Seperti pada beberapa tahun lalu hari Asadha pernah dipusatkan di sini. Asadha tahun 2011 skala nasional dipusatkan di sini, prosesi dari Maha Vihara Majapahit. Ada lebih dari 5000 umat Buddha,” jelas Saryono pengurus Maha Vihara Majapahit.
Selain sebagai tempat sembahyang agama Buddha, terdapat mitos yang berkembang di masyarakat bahwa Candi Brahu pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat kremasi jenazah. Namun menurut Said, mitos tersebut tidak pernah bisa dibuktikan kebenarannya.
“Memang ada mitos seperti itu, kata Brahu dicocokkan dengan kata bau (bau jenazah) tapi ini tidak pernah ditemukan bukti arkeologisnya hingga saat ini. Kalau untuk menyimpan abu masih memungkinkan, tapi kalau pembakaran jenazah, mitos sebagai tempat pembakaran jenazah, tapi tidak pernah ditemukan bukti arkeologis,” pungkasnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara