Pernahkah Anda saat menikmati konser tiba-tiba mendapatkan pencerahan?
Konser “Sound of Wisdom Imee Ooi: World Tour Dharma Concert 2016” di plenary hall Jakarta Convention Center (JCC) yang berlangsung pada Minggu (12/6) ibarat satu grafik berbentuk gunung. Dimulai dengan sejumlah sambutan, choir pembuka yang menyanyikan lagu Malam Suci Waisak karya almarhum Bhikkhu Girirakkhito menjadi tonggak yang mengingatkan kita kembali akan keagungan momen di Bulan Suci Waisak saat Pertapa Gautama berjuang mencapai pencerahan.
Perjuangan mencapai pencerahan memang satu hal yang layak menjadi sorotan, dan itu pula yang layaknya ingin ditampilkan dalam konser spektakuler ini. Saya sebut spektakuler, karena permainan lampu, tata panggung, suara, kostum dan segala hal lainnya lengkap diolah dengan ciamik dalam pertunjukan ini.
Dikelompokkan menjadi 8 bagian, menyaksikan konser ini ibarat melongok kembali perjalanan Buddhisme di seantero jagad raya. Perhelatan ini dengan apiknya membungkus resume perjalanan itu dalam tampilan bola dunia yang memperlihatkan sebagian demi sebagian peta penyebaran agama Buddha di seluruh dunia, antara lain Tiongkok, Jepang, Korea, Thailand, Tibet, dll.
Bertemakan Universe, Mantra of Vairocana Buddha dan Sakyamuni Buddha Mantra membuka pertunjukan dengan konsep Tribute to Enlightened One. Dalam bagian ini ditampilkan para penari dengan kelenturan luar biasa yang bersujud pada satu keagungan yang digambarkan dengan satu sosok yang berdiri di tengah, Yang Tercerahkan. Hebatnya, Sang Tercerahkan sebagai center point dibawakan dengan begitu seksama dan cocok sekali dari segi postur yang tinggi menjulang ditambah kehebatan penataan panggung dan permainan sorot lampu.
Apa yang menarik dari pertunjukan ini adalah susunannya yang sistematis. Dan melanjutkan Tribute, Sound of the Heart yang menjadi judul bagian kedua seakan mengantarkan kita pada proses keberlangsungan penyebaran tersebut yang dibesut oleh penata panggung dengan demikian lihainya sehingga penonton seakan diantar masuk ke dalam perjalanan yang demikian menyegarkan dan mencerahkan lewat komposisi lagu Heart Sutra in Seven Language.
Dalam lagu ini sang komposer, Imee Ooi ingin menyatakan kesatuan dunia dalam satu hati. Potongan-potongan tulisan kanji Mandarin begitu hidup seakan membisiki kita untuk selalu ingat pada keluhuran ajaran Buddha. Dan tanpa jeda dilanjutkan dengan kidung Prajna Paramita Hrdaya Sutram yang menyatakan tekad kita untuk sampai ke pantai seberang (The Shore Beyond). Tercetus kata-kata “jati” (kelahiran) dan “jaramarana” (kematian) yang memang menjadi lingkaran dukkha bagi kita hingga kita mencapai pencerahan yang disimbolkan dengan lagu Heart Sutra yang sekaligus mengakhiri sesi kedua yang menjadi penanda kebebasan ketika kita sudah mencapai Pantai Seberang.
Ketika akhirnya bagian ketiga dibuka, peniti bertuliskan kata “akbar” rasanya sangat pantas disematkan untuk pertunjukan yang dihadiri sekitar 3700 penonton ini. Dengan kuntum-kuntum bunga teratai di dalam air dengan bagian akar yang menyembul dari lumpur kecoklatan, dengan lantangnya menyuarakan perumpamaan para mahluk yang berjuang untuk keluar dari kubangan samsara untuk mencapai pencerahan. Imee Ooi yang berbalut jubah hitam dengan anggunnya memainkan piano sekaligus menyanyikan Puja Bunga (Puppha Puja).
Suara Imee yang demikian halus, jernih dan teduh mengantar kita akan keindahan bunga teratai. Yang paling menakjubkan adalah ketika para penari membentuk gerakan yang menyerupai kelopak bunga teratai yang tertiup angin. Sungguh indah apalagi dilihat dari atas. Hal yang menjadi keuntungan dan menghibur buat mereka yang duduk di podium tingkat paling atas. Imee mengatakan bahwa bila hati kita mekar bagai bunga, maka segala sesuatu akan dapat diterima dan dengan mudah dapat dihadapi dengan ketenangan.
Gelembung-gelembung air sebagai kesatuan dari keindahan visual terpampang di layar yang maha lebar sehingga seakan-akan kita semua berada dalam air sebagai simbol kesucian, kemurnian diiringi kidung Pureland Merits. Imee Ooi dengan suaranya yang lembut kembali mengingatkan kita bahwa dunia ini akan menjadi Tanah Suci (Pureland) bila kita hidup dalam kedamaian dan harmoni. Sungguh perenungan luar biasa yang dituangkan dalam lagu. Dengan gesekan biola yang tajam, alunan lagu ini seakan menyayat hati kita untuk mengambil segala kekotoran batin untuk menggantikannya dengan jiwa yang murni. Demikian juga dengan permainan tuts-tuts piano yang naik turun dalam lagu Green Tara Mantra membuat kita berpikir akan kehidupan yang begitu melelahkan, naik dan turunnya kondisi batin bila tanpa brahma vihara (kondisi batin yang luhur), di mana dua komponen pendahuluannya adalah cinta kasih dan welas asih, yang disuarakan dalam lagu selanjutnya The Great Compassion Mantra (Ta Pei Cou).
Sekali lagi, Imee Ooi membuktikan keluarbiasaan suaranya, suara yang mampu menembus relung hati karena memang disampaikan oleh orang yang berlatih. Ketika Imee berjalan ke sisi kanan dan kiri panggung, ia seperti ingin membagikan kasih sayang dan keteduhan bagi semua penonton, dan saya merasakan kedamaian dan welas asihnya yang disampaikan lewat mobilitasnya menyusuri sisi satu hingga sisi lain panggung. Sampai sini, saya benar-benar beruntung bisa ikut serta dalam konser ini, karena bukan saja memanjakan panca indera, pertunjukan ini sekaligus menjadi saat meditatif bagi saya. Tak heran sepanjang konser saya duduk diam mematung menyaksikan perhelatan ini, tenang dan hening!
Perjalanan yang ibarat naik dan turun dalam bagian sebelumnya ibarat proses perjuangan kita dalam lembah kehidupan lengkap dengan segala kesukaran dan kebahagiaan di dalamnya. Sound of Healing sesungguhnya adalah manfaat lagu yang paling pantas untuk diperhatikan. Sebagai penyembuh, kidung-kidung Imee Ooi banyak membantu saya saat melewati berbagai kesukaran hidup hingga rasanya lagu Light of Platinum yang menyuarakan Peacock Yamashina Mantra menjadi bagian yang paling saya sukai dalam konser ini. Dengan ketegasan dan semangat yang luar biasa, lagu ini sangat menyatu dengan keseluruhan tampilan gerak penari yang benar-benar tidak bisa digambarkan dengan kata. Keindahan sekaligus keuletan burung merak menjadi pengingat bahwa keindahan hidup hanya bisa didapat lewat perjuangan dan persistensi, yang sangat luwes digaungkan lewat alunan suara grup vokal Penjaga Dharma (Guardian of the Dharma) yang beranggotakan delapan pria bersuara platinum (sengaja saya memakai kata “platinum” karena tiket “platinum” dalam konser ini lebih mahal daripada “emas” yang menandakan kelebihan logam satu ini). OM MAYURA GRANDE SVAHA!
Dan ketika puncak gunung sudah terlewati, kita kembali menuruni tanjakan dengan kelembutan sinar permata kebiruan diiringi suara Imee berceritakan tentang Lotus dan Kelahiran Kembali. Dikatakan bahwa jika Anda ingin mengetahui perbuatan kita di masa lalu, lihatlah kehidupan sekarang. Sedangkan bila ingin mengetahui kehidupan kita di masa akan datang, lihatlah perbuatan kita saat ini. Pepatah yang sangat bijak, bagian dari Mantra Guru Rinpoche Padmasambhava. Saat itu para penari berbaju hijau keluar menghantarkan keelokan perpaduan antara suara Imee Ooi yang berduet dengan salah satu anggota Guardian of the Dharma. Harmonisasi suara sangatlah indah hingga seakan-akan menyentuh dasar batin. Sungguh sangat tepat mengantarkan lagu Pureland Dharani yang berkisah tentang Kelahiran Kembali (Rebirth). Dan bagian ini pun ditutup dengan Maitreya Mantra sebagai berkah Dharma (Dharma Bliss). OM MUNI MUNI MAHA MUNI.
Membicarakan kelahiran kembali, rasanya tidak lengkap tanpa melibatkan Bodhisattva Ksitigarbha. Beliau bertekad bahwa sebelum neraka kosong, Beliau tidak akan menjadi Buddha. Demikian besar welas asihnya pada semua makhluk ditampilkan dengan sangat sempurna lewat gerakan pantomim sepasang makhluk peta (hantu di alam rendah) yang terperangkap dalam kegelapan batin (digambarkan dengan jeratan jala) hingga akhirnya dibimbing oleh Bodhisattva hingga keluar dari neraka. Inilah saatnya, kita seyogyanya sadar akan betapa beruntungnya lahir sebagai manusia dan mengenal Dhamma. Guardian of the Dharma bersama Imee mengiringi tayangan teatrikal apik ini dengan lantunan Will to Move On, disambung dengan Ksitigarbha Dharmakaya Mudra Mantra dan The Great Will. Standing ovation rasanya patut diberikan!
Apa yang patut diacungi jempol dari pertunjukan ini adalah adanya harmonisasi yang ciamik. Imee yang bersuara lembut sangatlah kontras, dan justru itu yang membuat keindahan. Dan pelaksana konser ini sangat tahu hal ini ketika setelah semua kehalusan mantra-mantra yang dikumandangkan, lalu menyelipkan Guardian of the Dharma dalam bagian ketujuh plus mengobati kerinduan buat mereka yang menunggu lagu Buddhis dalam bahasa Inggris. Hal yang patut disyukuri mengingat belum banyaknya lagu dalam bahasa tersebut padahal perkembangan Buddhisme cukup pesat di belahan dunia Barat. Ketika pada akhirnya Guardian of the Dharma menyanyikan lagu Wisdom, Nibbana Day, Vajrasattva Mantra, Jing Shi Yuan, apa yang ada dalam Dharma, rasanya disuarakan sempurna oleh delapan penyanyi pria yang masing-masing bergelar Precept-holding, Fearless, Integrated, Joyfyul, Vigorous, Courageous, Patient, Humane Vajra ini. Bravo!!!
Menjelang akhir acara, Imee Ooi dengan luwesnya mengikat tali cinta kasih dalam bungkusan terakhir dengan nyanyian Semoga Semua Hidup Berbahagia yang merupakan karya anak bangsa, Irvyn Wongso. Lagu yang sangat indah hadir dari hati yang tulus mendoakan semoga semua mahluk berbahagia, dinyanyikan penuh kehangatan cinta kasih oleh Imee dan diakhiri dengan kidung paling populernya: THE CHANT OF METTA. Berangkat dari lagu ini, saya maju dan belajar banyak dalam Dhamma. Musik ini yang mengantarkan saya mengenal kata semangat, kesungguhan, keuletan, kesabaran, ketekunan, dan yang paling penting tentunya cinta kasih. Terima kasih khusus yang mendalam saya ucapkan pada Imee Ooi atas lagu ini, juga lagu Om Mani Padme Hum yang saya ingat pertama kali saya dengar saat mengikuti retret meditasi, dan itu adalah awal kehamilan anak kedua saya. Thank you so much…
Secara keseluruhan, dengan kostum yang kelihatannya sederhana, Imee Ooi pada saat bersamaan sekaligus menampilkan keglamoran yang sesungguhnya. Baju hitam menjadi sangat kontras ketika dipadukan suara hati yang suci putih ibarat yin dan yang dalam harmonisasi Tionghoa, serta sekaligus membuatnya sangat pantas pantas disebut diva segala dunia, karena saya yakin musik Imee bukan saja dinikmati oleh manusia saja, tapi juga oleh semua makhluk. Semoga mereka yang mendengarkan bisa merenungi keindahan Dharma, ikut berbahagia mengkontemplasinya sehingga membantu kelahiran di alam yang lebih baik. Terutama senandungan tentang Ksitigarbha Bodhisattva dengan latar para makhluk di alam peta, yang akhirnya terbantu berkat tekad Bodhisattva yang jujur membuat saya merinding mendengarnya, membayangkan keluarbiasaan Bodhisattva tersebut yang berhasil digambarkan secara empat dimensi lewat tampilan audio, visual, dan tampil dengan angin yang dihembuskan dari atas panggung. Lengkap dengan kekuatan dimensi satunya lagi yang saya sebut dimensi Imee, karena hanya ia yang bisa mengantarkan sensasi itu mengalir lewat dimensi perasaan.
Ketika akhirnya lagu Tisarana dinyanyikan bersama Imee dan timnya sebagai penutup, hal yang membuat saya bahagia bukan saja karena saya bisa berada satu panggung dengan seorang Imee Ooi, tapi juga karena dari kebersamaan dalam paduan suara tersebut, saya belajar banyak hal: tentang kebersamaan, tolong menolong, kekompakan dan yang terutama membangkitkan kebijaksanaan. Karena dengan begitu banyaknya individu, adalah hal yang biasa ketika kita menemui banyak perbedaan. Namun dengan satu tekad untuk bisa bersama-sama dalam jalan Dhamma, kami semua yakin perbedaan itu bisa diatasi dan hasilnya adalah suara yang bulat di atas panggung. Dan menjawab pertanyaan di atas, saya dengan tegas menyerukan: “Ya, Saya Mendapat Pencerahan Ketika Menikmati Konser Imee Ooi!” Satu hal penting yang saya petik dari konser ini adalah bahwa segala sesuatu pasti ada akhirnya. Kita sebagai manusia suatu saat dan pasti akan turun dari panggung kehidupan yang satu untuk bermain lakon baru di panggung yang lain karena itulah ketidakkekalan hidup (anicca).
Penyadaran lainnya adalah bahwa segala hal sesungguhnya tidak ada inti atau diri. Seperti halnya pertunjukan yang disebut konser ini, terdiri dari banyak komponen sehingga membuatnya layak disebut konser. Namun bila suara, tarian, tampilan layar, lampu, penonton, panggung, mic dan lain-lan masing-masing berdiri sendiri, maka tidak akan disebut konser. Begitu juga kita sebagai manusia terdiri dari banyak unsur sehingga tidak ada inti yang kekal (anatta).
Terakhir saat saya ingin berfoto di depan tulisan Imee Ooi Concert dan tiba-tiba lampu dimatikan dan tulisan itu hilang, saya menyadari bahwa kita harus berpisah dengan hal mengasikkan yang sekaligus membuktikan ketidakmampuan kita untuk selalu bersama dengan segala sesuatu yang kita sukai (dukkha). Dan, momen kesadaran akan tiga corak hidup (tilakkhana) itu semua terekam dalam Konser Imee Ooi, sehingga rasanya sangat sesuai dengan temanya Sound of Wisdom. Semoga Suara Kebijaksanaan yang disenandungkan oleh Imee Ooi benar-benar merasuk dan kumandangnya telah bergema dalam kalbu kita semua. Semoga Suara Kebijaksanaan ini bermuara pada pencerahan di mana pada saat itu, kita tidak perlu turun dan naik ke panggung yang lain karena #TheShowIsOver!
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara