• Sunday, 7 February 2016
  • Sutar Soemitro
  • 0

Tidak sedikit orang yang salah mengartikan Imlek sebagai hari raya agama Buddha karena banyak vihara yang merayakannya. Padahal Imlek bukanlah hari raya suatu agama, bukan juga hari raya agama Buddha, Tao, ataupun Khonghucu.

Imlek merupakan suatu perayaan tradisi menyambut musim semi dan berakhirnya musim dingin yang dilakukan oleh suku bangsa Tionghoa di Tiongkok (China), yang dalam perkembangannya ditetapkan sebagai hari penggantian tahun.

Imlek berasal dari dialek Hokkian, artinya ‘kalender lunar’ (im= lunar atau bulan; lek = kalender). Dalam dialek Mandarin Imlek adalah ‘YINLI’. Dengan demikian tahun baru Imlek artinya tahun baru yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi.

Tahun baru imlek adalah tahun barunya semua orang Tionghoa, terlepas dari agama apa pun yang dianutnya. Orang Tionghoa yang sudah berpindah agama apa pun tetap merayakannya tanpa terkecuali.

Kesalahpahaman mengenai anggapan bahwa Imlek adalah perayaan agama Buddha oleh sebagian besar orang, khususnya di Indonesia, didasari oleh kurangnya informasi yang benar dan melekatnya stigma dan sikap penyamarataan bahwa warga keturunan etnis Tionghoa pastilah beragama Buddha, Tao atau Kong Hu Chu, dan agama Buddha adalah agama khusus warga keturunan etnis Tionghoa.

Sehingga ketika umat Buddha Indonesia yang sebagian besar terutama di perkotaan adalah keturunan etnis Tionghoa merayakan Imlek, maka sebagian besar orang beranggapan bahwa Imlek adalah hari raya agama Buddha. Padahal bukan.

Dalam sebuah video yang diunggah di Youtube, Bhikkhu Uttamo menjelaskan, “Umat Buddha bukanlah agama yang menentang tradisi. Umat Buddha boleh menjalankan tradisi Imlek. Ada yang suka menjalani tradisi Tionghoa, boleh dijalani. Bagi umat Buddha yang bukan berasal dari tradisi Tionghoa, tidak dijalankan juga tidak apa-apa karena bukan keharusan.”

“Agama Buddha tidak berhubungan langsung dengan tradisi Tionghoa, tetapi agama Buddha tidak melarang umatnya untuk melaksanakan tradisi umatnya masing-masing,” lanjut Bhante. Bagi umat Buddha dari etnis Tionghoa diperbolehkan melaksanakan tradisi Tionghoa, sebaliknya umat Buddha dari etnis Jawa pun diperbolehkan melaksanakan tradisi Jawa. Begitu pula dari tradisi lain.

Sementara itu Firman Lie, seorang pelukis, memotret Imlek dari sudut pandang budaya. Menurutnya, “Imlek adalah merayakan datangnya musim semi di China, tidak ada kaitannya dengan agama. Tapi karena yang beragama itu kan manusia, maka manusianyalah yang ingin merayakan dengan agamanya, termasuk umat Buddha yang keturunan Tionghoa.”

Meskipun bukan hari raya agama Buddha, Firman Lie melihat ada beberapa tradisi Imlek yang selaras dengan ajaran Buddha, misalnya tradisi hormat dan mengingat jasa leluhur yang sudah meninggal. Kebiasaan saling bersilaturahmi seperti halnya saat Lebaran bagi umat Muslim juga merupakan tradisi baik yang patut dilestarikan.

Bhante Uttamo menghimbau agar Imlek jangan hanya diisi dengan sembahyang dan pesta makan-makan saja, melainkan dijadikan moment untuk merenung dalam setahun lalu apa yang sudah kita lakukan. Apa yang sudah baik dipertahankan dan terus dikembangkan, apa yang buruk ditinggalkan.

Selamat Tahun Baru Imlek 2016. Semoga Anda selalu sehat, sejahtera, dan bahagia!

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *