• Sunday, 31 July 2022
  • Candra Aditiya Nugraha
  • 0

Di awali dari perjalanan saya ber-dhammayatra di salah satu Vihara daerah Blitar yang bernama Vihara Bodhigiri disana saya berkeliling ke semua area vihara dan satu yang menarik perhatian yaitu Prasasti Maharaja Asoka yang memiliki pucuk 4 kepala singa meskipun itu bukan asli (Buatan) tapi tetap menjadi monumen yang memiliki daya tarik yang mengandung nilai kemasyuran ,kekuasaan dan persatuan kepemimpinan Raja Asoka. Daripada itu nilai historis dari campur tangan kekuasan yang dimiliki Asoka dari kekaisaran dinasti Maurya membuahkan catatan penting bagi perkembangan umat Buddha di dunia yang pada tahun sekitar 250 SM mensponsori Konsili 3 yang merupakan pengejewantahan pengulangan Dharma dan membentuk sebuah satuan politik agama Buddha dengan mengirimkan misionaris Bhikkhu Sangha untuk menyebarkan agama Buddha ke seluruh penjuru Dunia. Dalam hal ini perkembangan agama buddha secara tidak langsung di pengaruhi kebijakan-kebijakan politik yang sudah dimulai dari Pataliputta India pada masa kejayaan Raja Asoka.

Dalam konteks politik sering kali menganggap bahwasannya politik itu sebuah hal yang negatif ,yang kotor, bermuka dua, ketidakadilan dan kemunafikan hal ini berangkat dari pandangan penilaian kita terhadap oknum politisi yang melakukan tindakan praktis ,korupsi, tidak amanah, mempentingkan golongan dsb. Pada dasarnya politik menurut Aristoteles dan Plato merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan bersama yang lebih baik. Proses politik merupakan bagian dari peneluran kebijakan dan meraih kekuasaan dengan landasan etika moralitas. Politik yang tidak mempunyai landasan etika, moral maupun spiritulitas menghasilkan proses politik yang di warnai dengan suatu kekerasan untuk sebuah pencapaian kekuasaan yang ambisius. Hal itu yang dilakukan Raja Asoka sebelum mengenal Buddha Dharma mempunyai sebutan Candasoka yang berati orang yang sangat kejam yang mempunyai ketegaan membunuh anak-anak Bindusara yang berati saudara-saudaranya sendiri. Tidak hanya itu awal perjalanan kepemimpinanya 8 tahun menjabat sudah menaklukan kerajaan Kalingga atas perjuangan perluasan wilayah kekuasan Maurya yang didalam perang itu menewaskan ratusan ribu manusia dan puluhan ribu orang menderita yang pada akhirnya membuahkan penyesalan terjadi pada Asoka saat melihat mayat-mayat berserakan yang bersimbah darah dan dalam penyesalan tersebut akhirnya Asoka sadar serta mengenal Buddha Dharma sebagai falsafah hidup dan landasan kebijakan politik yang penerapannya melaui kasih sayang, kejujuran dan anti kekerasan, hal itu dilihat dari Implementasi kekuasaannya melakukan pendirian rumah sakit ,tempat perlindungan binatang, menghapuskan sistem hukuman yang kejam dan mengutamakan kemanusiaan.

Dharma Sebagai Landasan Politik

Asoka  mengenal Dharma saat berdiri di depan Istana mendapati seorang Samanera berjalan dalam keadaan tenang, sejuk, damai seketika itu Asoka tertarik untuk mengenal Samanera tersebut memanggilah ia pembantunya untuk memanggil Samanera tersebut yang bernama Nigroda dan Mengucapkan kalimat “Kesadaran adalah jalan menuju kebebasan (Nibbana) dan Kelengahan adalah jalan menuju Kematian. Yang berati orang tanpa sadar merupakan kehidupan yang dipenuhi kegelapan (Batin kotor)”. Kalimat tersebut merupakan sebuah penyadaran bahwasannya siapa yang melakukan tindakan dengan penuh kesadaran serta berpijak pada Dharma merupakan sebuah keniscayaan untuk membawa perubahan, kesejahteraan,dan keadilan bagi semua mahluk hidup.

Dharma yang bersifat inklusif secara elastis dapat menjawab persoalan kebangsaan dan membukakan jalan dalam pembebasan persoalan-persoalan kemanusiaan. Dharma sebagai landasan politik merupakan manifes moderasi agama Buddha yang artinya anti kekerasan, kasih sayang, keadilan dan terciptanya kondisi kesejahteraan dan jalan keluar atas persoalan politik kekuasaan yang diraih dengan kejahatan, kekerasan serta keserakahan.

Politik sebagai jalan Dharma

Sering kali sebagai umat Buddha mempunyai kesan tabu dan antipati terhadap politik hal ini semakin melegitimasi degradasi pendidikan politik umat buddha yang penanaman intektualitas lebih banyak dibenamkan dimensi ritual hingga akhirnya salah pengartian makna spiritualitas hanya untuk pembebasan pribadi semata. Hal ini tidak lepas dari bayang-bayang sejarah Agama Buddha di Indonesia rezim orde baru menyisahkan luka mendalam bagi umat Buddha kejahatan struktural penyimpangan kekuasaan yang dilakukan elit-elit birokrasi yang menyebabkan pergeseran perpindahan agama. Kecemasan dan rasa trauma menjadikan politik harus di hindari agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

Pada dasarnya politik itu netral dalam posisinya tergantung pada yang menggunakannya dan dari sisi mana kita melihatnya. Penanaman pendidikan politik harus di seiramakan dengan pendidikan sepiritualitas hal itu nantinya yang akan berdampak pada cara pandang terhadap politik itu sendiri Harold Adams Innis seorang ilmuan Kanada dalam bukunya “The Bias of Communication (1951) “mengatakan bahwa memonopoli suatu informasi lambat laun akan mempengaruhi suatu sistem. Pendidikan politik harus segera di tanamkan dilandaskan nilai Budddha Dharma dan menjadi instrumen penting dalam pengaruh sistem pembangunan dan persatuan.

Politik sebagai jalan Dharma merupakan salah satu jalan yang dapat dipilih dalam berkontribusi pada perkembangan Buddha Dharma di Dunia. Negara heterogen yang berkependuduk ratusan juta jiwa secara individu kita tidak dapat membantu satu persatu seseorang akan tetapi dengan politik dapat membantu hajat banyak orang dan memberikan pengharapan kehidupan yang lebih baik. Sebagai seorang individu yang tinggal di suatu Negara pasti tidak lepas dari Politik itu sendiri, contoh kecil di kehidupan sehari hari dari bangun tidur hingga tidur kembali di pengaruhi politik itu sendiri, makanan yang kita makan seperti nasi itu ada karena kebijakan politik seperti halnya agama yang ada di Indonesia itu sangat dipengaruhi politik dari hal peribadatan sampai tatacara sosial kemasyarakatan.

Pemerataan kesejahteraan, keadilan, penghidupan lebih baik hanya sebagai utopia tanpa adanya politik yang dapat mengakomodir kebutuhan kebutuhan Umat Bangsa dan Negara. Sifat sifat eklusif, apatis, dan ketakutan terhadap politik harus segera dihilangkan dan merevitalisasi kesadaran politik yang berlandaskan Dharma dan terlibat langsung dalam proses-proses politik untuk merestorasi tatanan sosial kemasyarakatan dan sebagai upaya pengenalan Dhamma sebagai penuntun hidup yang mulia.

Sebagai umat Buddha yang mengenal Dharma sudah seyogyanya kita mengimplementasikan ajaran Dharma, menebarkan kasih-kebajikan. Buddha Dharma yang begitu agung kenalkanlah sebagai penuntun umat manusia, tebarkanlah kasih ke mereka yang membutuhkan. Seperti halnya Raja Asoka yang menyebarluaskan Dharma sebagai penuntun Hidup manusia di Dunia melalui kebijakannya yang berdampak pada hajat manusia dan misionaris Sangha yang dikirim Raja bentuk penyebaran agama Buddha di dunia.

Sumber :

Dhammika, Ven.S. 2006. Maklumat Raja Asoka. Yogyakarta : Vidyasena Production

Innis, H.A. 1951. The Bias Of Communication. Toronto: University of Toronto Press.

Medhacitto, S.Trisaputra. 2019. Konsili Buddhis Menurut Tradisi Theravada. Yogyakarta: Vidyasena Production

Priastana, Jo. 2004. Buddhadharma dan Politik.Jakarta:Yasodara Puteri

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *