Matahari bahkan belum menyentuh Lembah Druk Amitabha di barat Kathmandu, Nepal, tapi bunyi tambur sudah bergema dari biara perempuan, menuntun ke arah Aula Naro. Di dalam aula, sekitar 30 bhiksuni berbaris melatih kungfu mengikuti irama tambur, setiap gerakan mereka diiringi dengan seruan. Mereka berlatih menggunakan gaya kungfu dari Biara Shaolin, Tiongkok, yang menurut legenda diajarkan kepada para bhiksu oleh pendiri tradisi Chan, Bodhidharma.
Setiap hari, para bhiksuni aliran Drukpa Kagyu dari Tibet ini berlatih selama 2 jam. Tanpa lelah mengulangi berbagai gerakan yang diajarkan Jigme Rigzang, guru mereka yang tinggal di Vietnam dan datang ke Nepal untuk mengajar dua kali dalam setahun. Selama kunjungannya ini, para bhiksuni berlatih tiga sesi per hari, yang berarti enam jam latihan intensif.
Sebanyak 108 dari 350 bhiksuni mencurahkan perhatian pada seni bela diri Tiongkok ini. Ketika mereka dianggap siap oleh guru, mereka akan belajar bagaimana menggunakan senjata tradisional yang digunakan dalam kungfu: pedang, pedang kavaleri, tombak, lembing, tongkat, dan rantai yang terikat dengan dua potongan logam; mereka juga menggunakan kipas, senjata yang lebih anggun yang membuat kungfu terlihat seperti tarian.
Seorang bhiksuni berusia 22 tahun bernama Jigme Mingyur menjelaskan, “Setelah berulang kali diusik oleh perampok dalam pertapaan, bhiksu Shaolin mempelajari kungfu untuk melindungi diri dan menyelamatkan nyawa mereka.”
“Bela diri berguna untuk perempuan,” tambah Jigme Wangchuk. “Kami merasa lebih aman ketika harus pergi ke pusat kota atau berbelanja sendiri.”
Di samping perlindungan diri, kungfu mampu mengembangkan kepercayaan diri. “Ini mengapa kami bangga berlatih kungfu,” kata Jigme Wangchuk. “Guru kami mengatakan, kami juga bisa sukses sama seperti laki-laki. Kalau kami berusaha sebaik mungkin, semua menjadi mungkin.” Dengan kepercayaan diri, para bhiksuni bisa memiliki peran yang lebih besar di dunia.
Bela diri juga membawa manfaat bagi kesehatan; menguatkan otot, tulang, sendi, dan menjaga tubuh tetap bugar. “Hasilnya, kami dapat duduk bermeditasi atau melakukan latihan dengan lebih lama,” kata Jigme Wangchuk.
Kelebihan lainnya adalah meningkatnya konsentrasi yang membantu mereka dalam bermeditasi. Jigme Kunchok menjelaskan prosesnya, “Mata dan pikiran saya mengikuti pergerakan tubuh saya. Saya harus terus menyadari setiap gerakan, untuk mengetahui apakah mereka benar atau tidak, dan untuk memperbaikinya segera jika diperlukan. Lalu saya harus memikirkan langkah berikutnya dan seterusnya. Saya harus memfokuskan perhatian pada urutan gerakan yang telah saya ingat dan pada setiap gerakan yang sedang dilakukan secara bersamaan. Jika pikiran berkelana, maka gerakan akan salah atau tongkatnya jatuh.”
Kesederhanaan para bhiksuni ditambah dengan semangat sepenuh hati begitu nyata dalam mencurahkan dedikasi kepada seluruh makhluk hidup. Dengan cara memusatkan perhatian, sepenuhnya fokus hanya pada saat ini, kewaspadaan diri berkembang, menjadi salah satu jalan untuk mencapai pencerahan.
*) dalam aliran Drukpa, nama yang diberikan ketika mengambil perlindungan selalu dimulai dengan “Jigme”, yang berarti “tidak gentar”. (dharma eye)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara