• Wednesday, 30 June 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Dewa Ruci (Dewa-Roetji) adalah kisah pewayangan, yang diambil dari nama seorang dewa kecil yang dijumpai oleh Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan. Lakon wayang tersebut merupakan interpolasi atau sisipan bagi Mahabarata, sehingga tidak ditemukan dalam naskah asli Mahabharata dari India.

Lakon Dewa Ruci berkisah tentang kepatuhan murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan menemukan jati diri. Menurut filsafat Jawa, ini merujuk pada konsep Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba-Gusti).

Kisah ini begitu populer dalam masyarakat Jawa dan dipentaskan oleh banyak dalang di Jawa hingga kini. Kepopulerannya membuatnya dijadikan sebagai nama kapal layar terbesar yang dimiliki TNI Angkatan Laut, KRI Dewaruci.

Menurut Dr. Hudaya Kandahjaya, teks Jawa pra-Islam yang berjudul Dewa-Roetji sangat kental bernuansa Buddhis. Teks ini dulu sempat digarap oleh Prof. Poerbatjaraka dan diterjemahkan ke bahasa Belanda. Namun ia tidak yakin apakah sudah ada yang menerjemahkannya ke bahasa Indonesia.

Berikut ini transkripsi tanya jawab BuddhaZine dengan Dr. Hudaya terkait teks Dewa-Roetji :

Tanya:
Apakah memang kisah “spinoff” dari Mahabarata itu ditulis oleh pujangga buddhis Nusantara? Atau itu sebenarnya meniru Nawaruci [teks sejenis yang bernuansa Hindu]? Kalau tidak, apa tujuannya ditulis?

Jawab:
Pertanyaan Anda nampak sederhana tetapi sesungguhnya menunjukkan ada kerumitan latar belakang yang memerlukan banyak keterangan tambahan.

Di penjelasan berikut saya pertahankan ejaan yang dulu dipakai para penggarapnya untuk membantu membedakan. Lalu, perlu ditegaskan bahwa nama Dewa Ruci tak lepas dari tokoh utama Bima. Kisah terkait dua tokoh ini bersumber pada banyak kitab. Kitab-kitab ini berevolusi dan karenanya bolehlah dipandang berada dalam sebuah siklus (cycle) atau keluarga (family). Di sini, saya sebutkan beberapa versi terpenting.

Yang kental bernuansa Buddhis dulu digarap Prof. Poerbatjaraka berjudul Dewa-Roetji. Meski bernuansa Buddhis, kitab Dewa-Roetji menyertakan unsur-unsur Hindu. Dr. Prijohoetomo menggarap Nawaruci, untuk disertasinya. Kitab ini kental bernuansa Hindu. Kitab ini tidak menyertakan unsur Buddhis, tetapi mengandung unsur lokal dengan disebutnya Sang Hyang Manon.

Di dalam disertasinya, Dr. Prijohoetomo turut menggarap Bimasoetji dan sekaligus membandingkannya dengan Nawaruci. Kitab Bimasoetji juga dikenal dengan judul Serat Dewaruci digubah oleh Yasadipura I. Kitab ini mengandung baik unsur Buddhis maupun Hindu. Lalu mengikuti jejak Yasadipura I, ada pula karya Yasadipura II yang berjudul Serat Bima Suci.

Yasadipura I juga menggubah Serat Cabolek dan digarap oleh Dr. Soebardi untuk disertasinya. Serat Cabolek menyertakan kisah Dewa Ruci dan Bima, sehingga mengandung unsur Buddhis dan Hindu, tetapi sudah bernuansa Islam. Konteksnya menyentuh persilangan pandangan antara Haji Ahmad Mutamakin dan Ketib Anom Kudus. Haji Mutamakin sendiri adalah moyang Gus Dur.

Yang lebih kental bernuansa Islam adalah Suluk Seh Malaya. Di sini tokoh utama yang Dewa Ruci bernama Nabi Kilir, sedangkan yang Bima bernama Seh Malaya atau Sunan Kalijaga. Sebutan Allah hadir dan ada pula sebutan Marbudengrat (bentukan rancu dari Parama Budengrat) dan Widi. Lalu air sucinya bukan lagi toya pawitra melainkan toya her jam-jam ing Kakbah. Penggubah suluk ini tidak diketahui.

Karya-karya Yasadipura I, begitu pun varian-varian Suluk Seh Malaya, digubah lebih belakang daripada Dewa-Roetji maupun Nawaruci. Tetapi, menentukan di antara Dewa-Roetji dan Nawaruci mana yang lebih dulu digubah tidak gampang. Kendati demikian, mengikuti analisa isi dua kitab ini, Prof. Poerbatjaraka sempat menunjukkan bahwa Dewa-Roetji nampaknya gubahan lebih dahulu daripada Nawaruci.

Lalu, kalau begitu kapan Dewa-Roetji atau Nawaruci ini digubah dan siapa penggubahnya? Di antara dua kitab ini hanya Nawaruci yang menyertakan nama penggubahnya, yaitu Mpu Śivamūrti. Nama Śivamūrti kedapatan di prasasti tembaga Sekar pada zaman Raja Hayamwuruk di Majapahit.

Di prasasti itu namanya disebut lengkap sebagai Saṅ Dharmādhyakṣa riṅ Kaśaivan, Daṅ Ācaryya Śivamūrtti, yang juga adalah Saṅ Āryya Rājaparakrama dari perguruan Siddhānta (Siddhāntapakṣa) dan dipandang sempurna di bidang Nyāyaśāstra.

Prof. Poerbatjaraka meragukan hubungan nama penggubah Nawaruci dengan nama di prasasti Sekar, sebabnya terutama karena teks yang diperiksa Dr. Prijohoetomo menyebut lontarnya ditulis di Swecchāpura (Gelgel, atau Klungkung). Namun, ada baiknya diperhatikan bahwa di kolofon lontar ini tertulis bahwa yang menggubah (apus) Nawaruci adalah Mpu Śivamūrti dan yang menyadur (aparab) adalah Jěmuharsa.

Tanpa tambahan data, hubungan di antara keduanya sulit dipastikan. Tetapi, bila isi Nawaruci diperiksa saksama tampak jelas penggubahnya sangat akrab dengan konfigurasi petinggi yang menyertakan bhujaṅga, ṛṣi, śeva, dan sogata yang biasa disebut ada di istana kerajaan Majapahit. Oleh karenanya, bukanlah sama sekali mustahil bila kitab ini digubah oleh Daṅ Ācaryya Śivamūrtti di zamannya.

Karena lontar Dewa-Roetji—seperti dilaporkan Prof. Poerbatjaraka—tidak lagi utuh, nama penggubah dan tanggalnya tidak bisa diketahui. Tetapi, kalau Nawaruci betul digubah oleh Daṅ Ācaryya Śivamūrtti dan digubahnya menyusul Dewa-Roetji, maka peringkat penggubah Dewa-Roetji boleh jadi tidak kalah tinggi untuk mendapat kehormatan diikuti oleh seorang Daṅ Ācaryya Śivamūrtti.

Ini ternyata juga dari sitiran Prof. Soepomo yang menunjukkan bahwa seorang kawi (penyair atau sastrawan, dalam hal ini penggubah Dewa-Roetji) pada zaman itu tidak mungkin berasal dari bukan keluarga terpelajar atau pujangga.

Pujangga sezaman dan setaraf dengan Daṅ Ācaryya Śivamūrtti mungkin ada beberapa, tetapi hanya sedikit yang karyanya bernuansa Buddhis, misalnya dari Mpu Prapañca dan Mpu Tantular, yang sampai ke tangan kita sekarang. Di antara karya-karya ini, karya Mpu Tantular, yaitu Kakawin Sutasoma dan Arjunawijaya, menarik untuk disimak.

Dua kitab ini adalah karya-karya saduran. Prof. Toru Aoyama berpendapat bahwa Kakawin Sutasoma pada dasarnya bersumber pada Mahāsutasoma-jātaka yang tercantum di kitab Jātaka berbahasa Pāli nomor 537. Lalu, Prof. Supomo menunjukkan bahwa Arjunawijaya bersumber pada kitab Uttarakāṇḍa (bagian terakhir dari Rāmāyaṇa) versi Jawa Kuno.

Mengikuti isinya, Dewa-Roetji mengandung ungkapan- ungkapan Buda tatwa (= Jina tatwa) dan Sri Verocana yang juga dipakai di Kakawin Sutasoma. Lalu, ada pula sebutan Parama Budengrat di Dewa-Roetji, yang secara morfologis berasal dari Parama Buda ing rat atau Paramabuddha ing rat. Yang terakhir, yakni Paramabuddha, adalah sebutan yang dipakai di Kakawin Sutasoma.

Sebutan ini sekaligus membuat kita bisa segera mengenali kontrasnya pada sebutan Paramaśiva di Nawaruci. Kemudian, ada pula ungkapan Sang Wěkas ing Wěkas di Dewa-Roetji, yang mengingatkan pemakaian Sang Paměkas ing Tuṣṭa (atau Wěkas ing Sukha) di Arjunawijaya. Dewa-Roetji juga menggunakan sebutan Adi Buda-rĕsi untuk merujuk tokoh Dewa Ruci.

Sebutan Dewa Ruci berarti Cahaya Ilahi. Ini sepadan dengan ungkapan Cemerlang (Sanskerta: prabhāsvara, Pāli: pabbhasara), serta sebutan Divārūpa di kitab Saṅ Hyaṅ Kamahāyānikan (SHK).

Ketuhanan

Keserupaan sebutan khususnya antara Dewa Ruci dan Divārūpa mengingatkan kita akan keberhutangan konsep Ketuhanan di Kakawin Sutasoma kepada SHK, karena untuk agama Buddha Jawa kitab SHK adalah yang pertama menguraikan secara gamblang kesetaraan Ketuhanan di antara berbagai perguruan spiritual setelah dinyatakan secara sangat singkat di prasasti Kelurak dan digambar di Borobudur.

Namun, lebih daripada itu, kemiripan pembentukan kata-kata majemuk atau ungkapan yang disebut barusan memperbesar dugaan bahwa penggubah Dewa-Roetji akrab dengan lingkungan atau dekat dengan masa penggubahan Kakawin Sutasoma maupun Arjunawijaya.

Arjunawijaya penting karena membawa kita memahami sudut lain pandangan spiritual Mpu Tantular. Di kitab ini Mpu Tantular menyebut bahwa alasannya menggubah Arjunawijaya adalah untuk memuji (stuti) Bhaṭāra Viṣṇu, yang menurutnya bisa dipandang sebagai penjelmaan Buddha (buddhasakala). Pandangan ini menarik karena terbalik dari yang disebut di Bhāgavata-purāṇa, yang memandang Buddha adalah justru titisan (avatāra) Viṣṇu.

Dulu, Prof. Cornelis Christiaan Berg adalah yang pertama memperkirakan kisah Dewa Ruci diturunkan dari kitab Mahābhārata. Lalu, Prof. Prijohoetomo memperjelas bahwa pertemuan antara Bhīma dan Nawaruci di dalam kitab Nawaruci mirip dengan kisah Resi Mārkaṇḍeya di kitab Wanaparwa di Mahābhārata. Bedanya, Resi Mārkaṇḍeya masuk ke tubuh Viṣṇu terhela oleh nafas masuk dan keluar kembali lewat napas keluar.

Prof. Poerbatjaraka sebaliknya berpendapat bahwa cerita Dewa Ruci sepenuhnya berasal dari Jawa, karena teks Wanaparwa di Mahābhārata yang dimaksud tidak bisa diketemukan di Indonesia. Tetapi kecurigaan ini barangkali perlu dikoreksi. Contohnya adalah kitab Sabhāparwa, yaitu salah satu parwa di dalam Mahābhārata, yang sejak lama diperkirakan tidak ada dalam koleksi Mahābhārata di Jawa.

Namun, belakangan ini kitab Sabhāparwa ternyata ditemukan di antara koleksi Merapi-Merbabu, seperti yang dilaporkan oleh Prof. van der Molen dan Prof. Wiryamartana. Jadi, bukan sama sekali mustahil bila penggubah Dewa-Roetji dulu bisa menjangkau kisah Resi Mārkaṇḍeya.

Berdasar dugaan-dugaan di atas, kita bisa mengumpul beberapa implikasi. Pertama, kelihatan bahwa penggubah Dewa-Roetji nampaknya berpandangan sejalan dengan Mpu Tantular. Kedua, melalui pandangan spiritual ini terlihat benang merah yang mendukung dugaan Dewa-Roetji sebagai karya saduran kisah Resi Mārkaṇḍeya di kitab Mahābhārata. Pola menyadur yang memuji Viṣṇu ini mirip dengan pola menyadur Mpu Tantular sewaktu menggubah Arjunawijaya.

Ketiga, alih-alih memuji Viṣṇu, Mpu Śivamūrti melalui Nawaruci—yang digubahnya setelah Dewa-Roetji—nampaknya berupaya membelokkan dengan mengutamakan Śiva. Di Indonesia, ini bukan yang pertama, karena kejadian serupa terjadi pada SHK. Versi A dan B dari SHK adalah versi Buddha, tetapi versi C SHK adalah versi Śiva yang disusun menyusul versi A dan B.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *