Di Pulau Jawa terdapat relatif banyak titik abadi yang secara alami menyembur ke luar dari muka tanah. Salah satunya yang populer adalah Api abadi Mrapen, terletak di Desa Manggarmas, Kecamatan Gedong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Api abadi tersebut hingga sekarang digunakan oleh umat Buddha di Jawa manakala hendak mengadakan rangkaian Waisak di Candi Borobudur. Dalam konsep tersebut api abadi Mrapen dianggap sebagai api Dharma yang melambangkan pancaran cahaya yang menghalau kegelapan avidya (ketidaktahuan).
Lokasi api abadi; api abadi Majakerta (Indramayu), api abadi Mrapen (Grobogan), Kahyangan Api (Bojonegoro), Bekucuk (Mojokerto), api abadi Tlanakan (Madura).
Kahyangan Api di Bojonegoro senantiasa dikaitkan dengan masa sejarah, terutama zaman Majapahit. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya legenda penduduk setempat tentang Ki Kriyokusumo atau dengan julukan Mpu Supo.
Mpu Supo merupakan pande keris kenamaan pada era Majapahit, dan ia menggunakan api abadi Kahyangan Api untuk menempa logam, dan membuatnya menjadi keris.
Masyarakat yang bermukim di areal Kahyangan Api tersebut dahulunya merupakan komunitas para petapa. Adapun titik utama pemujaan terkait dengan api abadi dalam kosmologi Hindu dikenal sebagai Dewa Agni atau Dewa Api, yang berada di sebelah tenggara mata angin.
Selain itu, pemujaan di Kahyangan Api ditujukan untuk kekuatan alam yang telah terdapat di kepulauan Nusantara sejak era prasejarah. Dari penelitian yang ada, Kahyangan Api merupakan sebuah situs multikomponen dengan kegiatan yang terus berlangsung dari masa ke masa, era prasejarah, era Hindu-Buddha, era Islam, dan era kolonial.
Kaitan Kahyangan Api dengan Wong Kalang
Sebagai contoh di kawasan Kendeng di sana ditemukan banyak bukti bahwa kawasan tersebut dihuni oleh manusia sejak era manusia purba, hingga kemudian era sejarah Hindu-Buddha, etnik Jawa Purba itu dalam masa selanjutnya disebut sebagai masyarakat Jawa kuna.
Pada zaman itulah wong Kalang dikenal dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti abad ke-8 – 10 M lewat terminologi tuha Kalang, pande Kalang, tuha Buru, dan sebagainya.
Wong Kalang yang hidup dengan masyarakat Jawa kuna tinggal di hutan-hutan, sebagian hidup di kawasan hutan Bojonegoro. Secara budaya wong Kalang adalah pemilik pertama Kahyangan Api.
Di areal kawasan Kahyangan Api erat kaitannya dengan kubur Kalang, dan orientasinya adalah tenggara-baratlaut. Kepala jenazah mengarah ke tenggara dikarenakan mengacu pada lokasi tertentu, yakni ke Kahyangan Api.
Selain untuk upacara obong, sangat mungkin di Kahyangan Api diadakan berbagai ritual pada waktu-waktu tertentu secara periodik, bulan purnama atau pada awal bulan Kartika, Oktober. Upacara tersebut bisa saja dilakukan secara sendiri-sendiri demi kepentingan masing-masing orang, tentunya dalam suasana dan semangat religius.
Fungsi
Pada masa Majapahit hingga awal penyebaran Islam di Jawa. Kahyangan Api sebagai tempat pemujaan melepas kepergian jenazah dengan upacara obong. Pemujaan, pengikat solidaritas, tempat berkumpul, dan pusaka warisan bersama.
Tentunya ada banyak pendeta yang pernah hidup dan memimpin upacara di Kahyangan Api dauhulu kala, salah satu tokoh terkenalnya adalah Mpu Supo.
Lokasi Kahyangan Api, pada umumnya jauh dari keramaian. Apabila ditarik pada masa silam, lokasi-lokasi Kahyangan Api boleh dibilang terpencil, sangat jauh dari permukiman penduduk, tersembunyi di kelebatan hutan dan hanya sedikit manusia yang mengetahui dan pernah mengunjunginya.
*Disarikan dari buku Tuha Kalang, Orang-orang Kalang dalam Kebudayaan Jawa. Karya Agus Aris Munandar, Aditya Revianur, Deny Yudo Wahyudi. Penerbit Weda Widya Sastra. 2018.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara