• Monday, 25 January 2021
  • Ngasiran
  • 0

Nyesel alam (menyatu dengan alam) menjadi salah satu prinsip hidup yang masih dipegang teguh oleh masyarakat perdesaan Temanggung. Selam (nyesel alam) adalah nilai yang hidup dalam setiap individu. Nilai itu berhubungan dengan cara masyarakat dalam upaya menyatu, membaur dengan (alam) lingkungan, baik fisik, sosial, termasuk dalam alam berfikir.

Di Dusun Krecek, selam terwujud dalam berbagai aktivitas. Salah satunya dalam memberikan persembahan sesaji (nyajeni). Dalam banyak kesempatan, mulai dari kelahiran sampai kematian selalu ada sesaji. Membangun rumah, mulai dari peletakan batu pertama sampai penempatan rumah batu ada sesaji. Bercocok tanam sampai panen ada sesaji. Sedekah dusun, nyadran, sedekah air (dawuhan), peringatan hari raya keagamaan, sampai peringatan kemerdekaan juga ada sesaji.

Bentuk sesajian juga banyak macam, setiap ritual hajat berbeda-beda sesembahan yang disajikan. Yang terlihat lengkap dan totalitas adalah pada saat orang punya hajat seperti pernikahan, khitan, atau potong rambut Gombak. Jumlah sesaji yang dipersembahkan sangat lengkap. Meski begitu semua bermuara pada makna yang sama. Yaitu sebagai ungkapan rasa syukur, dan berbagi kebahagiaan kepada makhluk lain (dahyang).

“Sebagai orang Jawa kita memang tidak bisa lepas dari ritual. Karena apa yang kita terima, kita makan sehari-hari juga berkah dari alam, air, juga kita percaya ada peran makhluk-makhluk lain,” kata Sukoyo, pemimpin ritual sesaji Dusun Krecek menjelaskan makna sesaji. Sukoyo juga percaya bahwa memberi persembahan sesaji juga selaras dengan Buddha Dharma.

Salim Lee, seorang pakar Buddha Dharma mengatakan bahwa memberi persembahan sesaji sama artinya dengan dana paramita. Baik dana paramita maupun memberikan persembahan sesaji bisa dimaknai sebagai melatih keterbukaan, dan kemurahan hati.

Baca juga: Merealisasikan Cinta Kasih melalui Sesaji

“Kemurahan hati yang paling ditekankan di sini. Kemurahan hati artinya tidak ngedundel, tidak keberatan jika apapun yang kita miliki ada yang membutuhkan, yang paling mudah lewat materi. Memberikan uang atau pinjaman. Kedua, perhatian atau cinta kasih. Makanya, jangan pernah berkata terlalu repot jika teman membutuhkan tempat untuk keluh – kesah.”

Dana paramita yang paling tinggi adalah memberi contoh supaya orang terinspirasi, kemudian mengubah pandangan apapun yang sedang dihadapi. Sebab, kebanyakan yang kita alami dalam hidup ini tergantung dengan cara pandang yang tidak pas (avidya). “Ini yang selalu kita tanggulangi,” lanjut Om Salim.

Latihan dana bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Musababnya, seperti yang diterangkan oleh Charles Darwin, sejak kecil kita semua sudah tertanam dua hal, yaitu apa yang mendukung hidup dan apa yang membahayakan hidup. Ajaran macam ini membuat orang terbiasa melihat segala sesuatu dengan perhitungan untung rugi. Karena itu, berdana perlu dilatih dengan tindakan-tindakan sederhana, seperti pada memberi persembahan sesaji.

“Latihannya dengan memberi, latihan dengan membuka hati. Nah, sesajen atau puja mulainya seperti ini. Seperti Pak Sukoyo mengatakan menghormati, dan bersyukur kepada makhluk-makhluk yang berada di sekitar tempat sesaji diletakkan. Mengenai apa yang jaga di situ (tempat peletakan sesaji) kan urusan yang jaga kan. Urusan kita, jika benar-benar ada yang jaga di situ, ini kita memberi persembahan yang baik. Jadi latihannya pun seperti itu, di mana pun tempatnya. Termasuk di vihara,” terang Om Salim.

Baca juga: Tradisi Tingkeb untuk Keselamatan Jabang Bayi

Seperti mempersembahkan sesaji, praktik-praktik berbagi sesuatu yang kita terima sebenarnya juga sudah dilakukan pada kehidupan sehari-hari. Om Salim memberi contoh, “Saat di rumah sebelum kita makan bersama keluarga, biasanya kita mengatakan ‘monggo Bu, monggo Pak, kita makan bersama’. Dari sana sebenarnya kita juga melakukan persembahan. Berbagi dari yang kita terima. Intinya sebenarnya mengurangi keterikatan akan kepemilikan”.

Memberi persembahan sesaji selain sebagai bentuk dana paramita, menurut Om Salim juga sebagai penghargaan terhadap tradisi yang sudah ada. “Bahkan buat saya ini simbol keluarbiasaan bangsa Indonesia, menghargai kebudayaan yang sudah ada. Dan tradisi ini dipupuk dan dilestarikan. Nanti pun tradisi-tradisi itu juga akan ada yang hilang, tidak masalah. Biasanya yang hilang itu mulai tidak relevan,” tegas Om.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *