• Sunday, 11 August 2019
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Pernahkah terlintas pertanyaan di atas? Mengapa para bhikkhu terutama bhikkhu-bhikkhu thudong sering kali mendiami gua-gua sebagai tempat tinggal dan bermeditasi. Padahal kalau dirunut dari sejarahnya, sejak dahulu kala manusia sudah memanfaatkan gua sebagai tempat bernaung.

Memang, seiring dengan perkembangan teknologi, manusia mulai membangun tempat tinggal, berkembang menjadi pusat perdagangan, hingga pada akhirnya menjadi sebuah kota. Tetapi dalam konteks perkembangan agama Buddha, gua memegang peranan penting.

Gua-gua yang dihuni oleh para bhikkhu ini bahkan dapat dianggap sebagai salah satu arsitektur peninggalan Buddhis yang penting yang menunjukkan teknik galian batu. Di tanah kelahiran Buddha sendiri, India memiliki tidak kurang dari 1500 gua dengan struktur galian batu yang menawan.

Contoh yang terkenal adalah Ajanta Caves, Bhaja Caves, dan Ellora Caves. Bahkan sudah sejak zaman kehidupan Buddha Gautama, para bhikkhu telah menempati gua-gua alami seperti Gua Saptaparni di barat daya Rajgir, Bihar. Banyak yang percaya bahwa gua ini merupakan tempat Buddha menghabiskan beberapa saat sebelum kematianNya dan tempat konsili pertama diselenggarakan setelah Buddha parinibbana. Buddha juga mendiami Gua Indrasala untuk meditasi, yang memulai tradisi memanfaatkan gua baik alami maupun buatan sebagai tempat retreat keagamaan.

Tradisi ini dibawa pula oleh para bhikkhu yang sedang dalam misionaris di Tiongkok, Korea dan tempat-tempat lainnya. Contohnya adalah Mogao Caves dan Bezeklik Caves di Tiongkok. Mogao Caves dikenal sebagai Gua Seribu Buddha terletak di persimpangan jalur Sutra, di Propinsi Gansu. Sedangkan Bezeklik Caves merupakan warisan dari Kerajaan Uyghur Barat yang terletak diantara kota Turpan dan Shanshan. Di Korea terdapat Seokguram Grotto yang merupakan bagian dari kompleks Kuil Bulguksa. Di Indonesia sendiri terdapat Gua Gajah yang dibangun pada abad 9 M di Bali.

Semua ini menunjukkan bahwa gua memang disukai sebagai tempat praktik meditasi bagi para bhikkhu di zaman dahulu kala. Hal ini karena beberapa sebab. Pertama, gua-gua ini mendukung praktik meditasi karena lokasinya yang jauh dari keramaian sehingga memiliki suasana yang tenang. Gua-gua juga memiliki suhu yang stabil sehingga memberikan keteduhan (sejuk di siang hari dan hangat di malam hari).

Tetapi tidak semua gua cocok untuk dihuni dan dijadikan tempat meditasi. Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan. Pertama, menghindari gua-gua yang dikeramatkan. Berhubung banyak orang yang salah kaprah bahwa gua sebagai tempat keramat, melakukan praktek spiritualitas dan lain sebagainya, hal ini tentu mengusik ketenangan dalam berlatih meditasi. Kemudian juga gua-gua yang memiliki banyak hewan seperti kelelawar misalnya. Suara dan kotoran hewan dapat mengusik latihan meditasi dan bahkan dapat membawa wabah penyakit. Gua-gua dengan bukaan yang besar di sisi selatan atau barat dipercaya kurang cocok karena suhu yang tidak stabil. Juga gua-gua yang mudah runtuh sehingga membahayakan sebaiknya dihindari.

Terakhir, jarak lokasi gua dengan permukiman terdekat juga perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan para bhikkhu tetap perlu sewaktu-waktu mengunjungi permukiman warga untuk berpindapatta, atau sebaliknya mungkin ada warga yang ingin datang dan mendanakan makanan. Semua ini adalah hal-hal yang sebaiknya dipertimbangkan manakala seorang bhikkhu ingin mencari ketenangan dan berlatih meditasi di gua-gua.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *