Belakangan ini sedang ramai diberitakan konversi (pindah agama) seorang tokoh mentalis dan host tv terkenal di Indonesia. Banyak yang menyanjung tetapi tidak sedikit pula yang mencela. Sebenarnya tidak ada yang salah dari tindakan tokoh tersebut. Toh, masalah memeluk suatu agama atau keyakinan adalah masalah pribadi. Itu adalah hak individu yang seharusnya tidak dapat dipaksa maupun dikecam oleh siapa pun. Hal ini bahkan tertuang dalam UUD negara kita yang menjamin kebebasan beragama.
Sayangnya yang menjadi permasalahan adalah ributnya orang-orang yang mendukung maupun mencela tindakan tersebut. Ini dapat dipahami sebagai suatu euforia manakala seseorang yang sebelumnya berbeda agama dengan kita, kemudian memilih memeluk agama yang sama dengan kita. Sebaliknya, pihak yang ditinggalkan merasa dikhianati dan mengecam tindakan tersebut. Apalagi bila dilakukan secara terang-terangan dengan publikasi meluas.
Mengapa terjadi?
Terlepas dari hal itu, peristiwa konversi adalah peristiwa yang lazim terjadi. Sepanjang sejarah manusia dan agama, konversi telah terjadi secara terus-menerus karena beberapa faktor. Pertama, ada yang disebut konversi aktif yang mana ada kesadaran pribadi dari seseorang untuk pindah agama. Contohnya banyak, termasuk pula tokoh mentalis yang disebut di atas.
Di dalam agama Buddha pun, justru banyak konversi aktif yang dapat diamati. Salah satunya kisah perumah tangga Upali, pengikut dan penyokong sekte Nigantha. Setelah kalah berdebat dengan Buddha, dia memutuskan untuk meninggalkan keyakinan sebelumnya dan menjadi pengikut Buddha. Mendengar itu, Buddha meminta Upali untuk mempertimbangkannya kembali. Ini menunjukkan bahwa Buddha dalam mengajarkan ajaranNya sebenarnya tidak mementingkan jumlah pengikut.
Sebagai agama misionaris pertama di dunia, Buddha tidak bernafsu untuk membuat seluruh orang di dunia menjadi pengikutnya. Misionaris yang diutusnya bertujuan memperkenalkan ajaran demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk.
Kedua adalah konversi atas dasar kenyamanan/kemudahan (convenience). Salah satu contoh yang terkenal adalah Rice Christian (Kristen Beras) – sebuah istilah yang diberikan kepada mereka yang menganut agama Kristen untuk mengejar keuntungan materiil. Istilah ini sendiri muncul dalam tulisan-tulisan William Dampier pada 1689 ketika dia menceritakan upaya pendeta Perancis untuk mengubah keyakinan orang-orang Tonkin dengan mengatakan “sedekah beras telah mengubah keyakinan lebih banyak orang daripada khotbah.”
Ketiga, ada yang disebut konversi karena diskriminasi. Mirip dengan sebelumnya, adanya diskriminasi terhadap kaum-kaum tertentu membuat mereka berusaha mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Diskriminasi ini terjadi karena adanya majority rule (adanya kekuasaan dari mayoritas terhadap minoritas). Karena terus mengalami diskriminasi agama (dilecehkan, kesulitan mendapat pekerjaan, dan lain sebagainya), mereka pun dengan mengubah keyakinannya.
Salah satu contoh yang cukup unik adalah pergerakan Dalit yang dicetus oleh Dr. B.R. Ambedkar. Pada 1956, beliau bersama dengan hampir setengah juta orang Dalit (kasta terpinggirkan yang selalu mendapat diskriminasi di India) mengubah keyakinan menjadi pemeluk agama Buddha. Contoh ini cukup unik karena meskipun sebelumnya mereka beragama yang sama dengan mayoritas penduduk, mereka mendapatkan diskriminasi atas dasar kasta (bukan antaragama).
Baca juga: Sales Agama
Keempat, ada pula yang disebut konversi karena pernikahan. Hal ini terjadi karena banyak orang mengatasnamakan cinta. Beberapa agama dengan tegas melarang pemeluknya untuk menikahi pasangan di luar agama tersebut. Selain itu, banyak pula negara di dunia yang melarang pernikahan beda agama. Akibatnya, salah satu dari pasangan tersebut harus pindah agama dan memeluk keyakinan yang sama dengan pasangannya.
Terakhir adalah konversi paksaan yaitu pengubahan keyakinan seseorang dengan unsur pemaksaan. Sejarah mencatat beberapa kasus besar konversi paksaan ini dilakukan, terutama pada saat pergolakan politik terjadi di suatu negara atau kerajaan.
Mengingat hubungan agama dan politik yang sedemikian kompleks, agama sering kali dijadikan sebagai tunggangan politik dan demikian pula sebaliknya. Contoh yang tercatat dalam sejarah adalah konversi penduduk Inca dan Aztec oleh penjajah dengan kekerasan dan penaklukan.
Penganiayaan agama juga terjadi di Goa, India pada abad 16-17 Masehi ketika penjajah Portugis memaksa orang Hindu untuk memeluk agama Kristen. Di bawah kekaisaran Ottoman, konversi paksaan ini dilegalkan dalam praktik devsirme, yang mana anak laki-laki Kristen ditangkap dari keluarga mereka (biasanya dari Balkan), diperbudak, dipaksa memeluk Islam dan kemudian dilatih sebagai prajurit kekaisaran.
Dari pertengahan abad 14 sampai 18 Masehi, sistem ini diperkirakan memperbudak antara 500.000 hingga satu juta pemuda non-muslim di sana. Hal ini belum ditambah lagi dengan kasus-kasus yang terjadi di India, Persia dan pelbagai tempat lainnya yang mana konversi paksa terjadi sebagai konsekuensi perang dan kekuasaan.
Pandangan Buddhis
Buddha sendiri tidak memandang seseorang yang pindah agama karena keyakinan atau cara pandangnya berubah sebagai sebuah tindakan murtad atau akibat bisikan setan. Tidak terdapat konsep murtad atau sesat. Menurut Bhante Shravasti Dhammika, orang-orang bebas untuk pergi melepas agama Buddha tanpa konsekuensi apa pun.
Salah satu kisah yang terkenal adalah sikap Buddha terhadap muridnya bernama Sunakkhatta. Sunakkhatta yang tidak puas dengan Dhamma memutuskan untuk melepas ajaran. Buddha meresponnya dengan tenang dan mempersilakan hal itu terjadi. Dengan demikian, sikap Buddha menunjukkan bahwa terkait konversi yang dilakukan seorang Buddhis, tidak terdapat hukuman. Oleh karena itu, di negara-negara Buddhis, tidak terdapat hukum yang mengkriminalkan perbuatan konversi.
Dalam pandangan Buddhis, konversi wajar terjadi karena perubahan kualitas batin/spiritual seseorang. Esensi dari ajaran Buddha adalah tidak melakukan kejahatan, memperbanyak perbuatan baik, dan melatih kesucian hati dan pikiran – terlepas dari agama apa pun yang dianut seseorang. Dengan mempraktikkan hal ini, kebahagiaan akan tercapai. Seseorang yang melepas agama Buddha dinilai belum matang atau kurang memahami ajaran-ajaran Buddha. Karena tidak memahami esensi dari ajaran Buddha, dia menjadi mudah terpengaruh dan akhirnya pindah agama.
Meskipun tidak ada larangan untuk melepas agama Buddha, bukan berarti hal ini dapat dianjurkan. Dalam kasus ini, terdapat istilah Pali yaitu moghapurisa (orang yang bodoh atau tidak berguna). Istilah ini sebenarnya merujuk pada mereka yang hidup dalam komunitas tetapi menjalani hidup dengan sia-sia, tidak berlatih/belajar/mengajarkan Dhamma. Tetapi dalam konteks ini, istilah ini bisa juga digunakan untuk mereka yang setelah mendapatkan kesempatan mengenal ajaran, malah melepaskannya.
Hal ini mengingatkan kita pada Sutta yang menjelaskan sulitnya terlahir sebagai manusia dan sulitnya mengenal Dhamma. Bila setelah terlahir sebagai manusia dan memiliki kesempatan mengenal Dhamma, tetapi kemudian kita lepas karena ketidaktahuan kita, maka yang rugi adalah kita sendiri.
Upasaka Sasanasena Seng Hansen
Sedang menempuh studi di Australia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara