Meskipun Pemerintah Tiongkok saat ini menganut paham sekular, tradisi dan budaya masyarakat Tiongkok di daratan banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Uniknya, agama Buddha adalah paham asing yang hadir dan diterima dengan begitu baik oleh masyarakat Tiongkok selama berabad-abad lamanya.
Tentu saja tidak sepanjang waktu Agama Buddha yang berasal dari negeri tetangga dengan perbedaan tradisi dan budaya yang mencolok dapat dengan mudah diterima. Beberapa catatan sejarah menorehkan rekaman kelam masa-masa penyebaran agama Buddha di Tiongkok. Tetapi sejarah membuktikan bagaimana agama Buddha dapat tumbuh dan berkembang menyesuaikan tradisi setempat di sana.
Masuknya agama Buddha ke daratan Tiongkok tidak diketahui secara pasti (meskipun sejarah mencatat bukti kehadiran pengaruh agama Buddha di Tiongkok sudah ada sejak tahun 60-an M). Agama Buddha sendiri mengalami puncak kejayaannya pada masa Dinasti Tang.
Dr. Robert Eno dari Indiana University bahkan menuliskan: “Dinasti Tang yang agung, yang memerintah sebuah kerajaan Tiongkok unifikasi dari 618 hingga 907, mengangkat agama Buddha sebagai agama kerajaan selama masa pemerintahannya. Apabila ada sebuah agama universal di Tiongkok, maka itu adalah agama Buddha, dan agama itu telah dibawa pula ke Korea dan Jepang.”
Meskipun agama Buddha telah masuk jauh sebelum masa Dinasti Tang, pada masa dinasti inilah agama Buddha mengalami zaman keemasan yang mana banyak kaisar Dinasti Tang memeluk atau setidaknya mendukung penyebaran agama Buddha. Pada masa ini, banyak biksu-biksu Tiongkok yang terpelajar dan bahkan menjadi penyair terkenal.
Budaya dan filosofi buddhis dari India masuk dan diterima sebagai bagian dari tradisi masyarakat Tiongkok dan berakulturasi dengan paham asli Tiongkok yang ada saat itu, terutama Taoisme dan Kong Hu Cu. Aliran Chan berkembang menjadi aliran dominan dan selanjutnya masuk ke Korea dan Jepang. Beberapa biksu Chan terkenal dari masa Dinasti Tang antara lain Mazu Daoyi, Baizhang dan Huangbo Xiyun. Pada masa ini pulalah banyak biksu dari India dan Asia Tengah datang ke Tiongkok dan demikian pula sebaliknya.
Peziarah
Salah satunya adalah cerita tentang biksu Xuanzang. Pada 629 M, beliau diutus oleh kaisar untuk pergi meninggalkan kerajaan Tang dan mengembara ke barat (India) dan kembali pada 645 M untuk mengambil kitab suci (ajaran Buddha). Tujuannya tentu saja agar masyarakat Tiongkok semakin memahami ajaran dan filosofi Buddhis. Dan berkat Xuanzang pula, saat ini kita dapat mengerti sejarah peradaban di sepanjang Jalur Sutra pada masa itu karena beliau mencatat perjalanannya.
Baca juga: Nusantara di Novel Tiongkok Kuno
Selain itu, berkat usaha beliau dan beberapa biksu pengembara lainnya, masyarakat Tiongkok (terutama para biksu) mengenal Sanskerta yang menjadi bahasa umum (lingua franca) agama Buddha ke Tiongkok. Biksu Yijing misalnya, menulis banyak buku tentang tradisi, budaya, peradaban dan bahasa di sepanjang 25 tahun perjalanan. Selama pengembaraan, Yijing dan Xuanzang belajar bahasa Sansakerta dari biksu-biksu asing yang mereka temui sepanjang perjalanan. Yijing bahkan menghabiskan 7 tahun di Indonesia untuk menetap dan belajar Sanskerta sebelum pergi ke India. Selama di Nusantara, Yijing memuji kebesaran Srivijaya dan menasehati para biksu Tiongkok untuk datang dan belajar ke Srivijaya terlebih dahulu sebelum meneruskan perjalanan mereka menuju Nalanda di India.
“Di dalam kota Bhoga, para biksu berjumlah lebih dari 1000 orang, pikiran mereka ditujukan untuk belajar dan berlatih sila. Mereka memeriksa dan mempelajari semua subjek yang ada seperti di India; peraturan dan upacara tidak jauh berbeda. Apabila seorang biksu Tiongkok berharap untuk pergi ke Barat untuk mendengar dan membaca kitab-kitab asli, maka sebaiknya dia menetap satu atau dua tahun dan belajar peraturan yang sesuai….”
Pada abad ke-7 M, tiga guru agung dari India datang ke Tiongkok. Ketiganya adalah Śubhakarasiṃha (善无畏 637–735), Vajrabodhi (金剛智 671–741) dan Amoghavajra (不空 705–774). Ketiganya membawa serta ajaran esoterik menjadi populer di Tiongkok dan mendirikan Tangmi.
Berkat usaha mereka, semakin banyak para biksu Tiongkok yang memahami bahasa Sanskerta dan kemudian mengajarkannya pada generasi-generasi berikutnya. Bertahun-tahun kemudian, kuil Daxingshan, kuil Daxi’en dan Kuil Jianfu ditunjuk menjadi tiga pusat penerjemahan sutra Sanskerta ke dalam Mandarin pada masa Dinasti Tang.
Upasaka Sasanasena Seng Hansen
Sedang menempuh studi di Australia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara