Ketika saya diminta membayangkan Kota Medan, jelas di benak saya muncul imaji Tionghoa yang amat kental dengan dialek Hokkian-nya. Hal-hal ini membuat saya penasaran akan sejarah kota ini, yang mana mayoritas etnis Tionghoanya memeluk agama Buddha ataupun Tridharma. Kehidupan umat Buddha di Medan sangat dinamis, mulai dari aliran-aliran Theravada, Mahayana, dan Vajrayana beserta ragamnya semua ada di sana.
Baca punya baca, ternyata Medan punya sejarah panjang dengan agama Buddha. Tidak hanya cita rasa candi-candi, orang-orang Buddhis dari India juga punya andil di sana. Yang paling utama adalah Mahayana Tionghoa, yang merupakan peletak dasar keyakinan orang Tionghoa Medan.
Situs Kota Cina
Di tepi Danau Siombak, Medan Utara, ditemukan salah satu peninggalan peradaban tertua di Kota Medan bernama Kota Cina. Situs-situs ini menandai bahwa Medan adalah kota pelabuhan penting pada masa Dinasti Song. Reruntuhan struktur bata ditemukan di sana, demikian juga dengan koin-koin serta keramik-keramik Tionghoa masa Song/Yuan dan dua rupang Buddha dari India berlanggam Chola.
Dinamakan Kota Cina, karena begitu banyaknya ditemukan peninggalan-peninggalan berciri budaya Tionghoa di sini. Diduga situs ini merupakan bagian dari peninggalan kerajaan Aru yang berbarengan dengan surutnya Sriwijaya. Kerajaan Aru kemudian ditaklukkan oleh Aceh dan tempat peperangannya ini tepat berada di Medan.
Penanda peradaban: Kelenteng Guanyin
Sultan Iskandar Muda mendirikan kerajaan Deli pada tahun 1632 M dan ibukotanya berpindah-pindah. Pelabuhan di Kota Cina lantas juga berpindah ke Labuhan Deli. Pada tahun 1861 gelombang imigran dari Fujian, Tiongkok mulai berdatangan lewat Labuhan.
Tak lama kemudian, sebagaimana peradaban pendatang Tionghoa pada umumnya, sejarah mereka ditandai dengan berdirinya kelenteng yang memuja Dewata Tao dan Buddhis Chan. Lewat penelitian Prof. Johannes Widodo, banyak dikenali sejarah kelenteng-kelenteng ini. Pada tahun 1878 dan 1895, Zhenjun Miao didirikan rakyat Chaozhou di Tanjung Mulia dan Titipapan menghormati dewa Zhenwu (bodhisatwa Sudrsti). Pada tahun 1880, kelenteng Guangong (bodhisatwa Sangharama) bernama Guandi Miao didirikan orang-orang Guangdong di jalan Irian Barat yang terkenal hingga kini. Tak lama juga berdiri Guanyin Gong untuk Avalokiteshvara di jalan Yos Sudarso.
Kelenteng Bodhisattwa Sangharama yang lain didirikan di Jl. Pertemburan dekat Pulo Brayan pada tahun 1890 M. Diketahui Tjong A Fie yang terkenal itu juga menyumbang untuk Kelenteng Brayan. Setahun kemudian, 1891, berdiri kelenteng bernama Shoushan Gong (寿山宫) untuk menghormati Avalokiteshvara tepat di Labuhan Deli untuk merayakan 30 tahun berdirinya pemukiman di sana. Kelenteng ini juga terdiri dari dua bagian yang terpisah, wihara untuk biksu dan satu lagi untuk biksuni.
Tahun 1906 juga didirikan Tianhou Gong untuk memuja Bodhisattwa Mazu dan tahun 1923 didirikan Zhenlian Si yang menghormati “Buddha Hidup” Guangze Zunwang oleh orang Chaozhou di Kedai Durian.
Biksu pesilat Shi Gao Can
Pada tahun 1893, di Binjai dekat Medan didirikan Kelenteng Zhenyuan Gong (民礼镇元宫) yang sekarang bernama Vihara Setia Buddha. Selain memuja Para Buddha dan Bodhisattwa, tuan rumah kelenteng ini adalah “Buddha Hidup” Guangze Zunwang. Dahulu di wihara ini tinggal seorang biksu Chan terkemuka bernama Shi Gao Can (释高参, 1886 – 1960) yang membawa beladiri Shaolin ke Asia Tenggara. Sampai sekarang sesepuh Shaolin, imaji Bodhidharma masih terlihat jelas di sana.
Biksu Gao Can belajar beladiri wuzuquan dan luohanquan pada Shi Caobiao, biksu Shaolin Selatan. Beliau lalu belajar Dharma Chan pada Biksu Shi Xingliang. Beliau juga berguru Chan dan bela diri pada Biksu Shaolin Shi Huijing dari Wihara Nanhai Puji, generasi ke-48 setelah guru Chan Huineng.
Baca juga: Tionghoa Membawa Kembali Dharma Nusantara
Pada tahun 1926, Biksu Gao Can bepergian ke Asia Tenggara dan menetap di Indonesia selama 21 tahun dengan menjadi kepala wihara kelenteng Zhenyuan Gong/Zhenyuan Si. Beliau juga membangun 9 kelenteng Buddhis lainnya di Medan. Gaya beladiri yang yang diajarkannya bernama Fojiaquan atau Beladiri Tinju Buddhis.
Biksu Gao Can akhirnya pindah ke Singapura pada tahun 1948 menjadi kepala Wihara Shuanglin dan ketika wafat pada usia 74 tahun, beliau dikremasi di Wihara Guangmingshan Pujue Chan Si (Kong Meng San Phor Kark See), terbesar di Singapura. Beliau telah mewariskan ilmu bela dirinya pada beberapa murid di Medan: seorang pangeran asli Indonesia, Huang Jinzhang, Zhuang Qingjin, Zhuang Shunlai, dan Lin Jinju serta biksu Fachuan.
Umat Buddha Tamil
Barangkali Medan adalah satu-satunya kota di Indonesia yang punya wihara etnis India. Gerakan Buddhis di antara etnis Tamil Medan ini berasal dari tahun 1930 dengan bantuan Ayothi Das Pandithar dari India. 20 tahun kemudian komunitas mulai membangun tempat ibadah dan saat ini sudah berdiri Wihara Loka Shanti sebagai tempai ibadah tetap.
Tamil pada zaman dulu merupakan salah satu pusat Buddhadharma. Bodhidharma (Damo Zushi) pendiri Chan adalah biksu yang berasal dari Kanci, Tamil Nadu.
Chan di Medan
Selain Theravada, saat ini Mahayana Tionghoa umumnya atau Chan pada khususnya sangat hidup di kota Medan. Silsilah-silsilah Chan modern mulai bergeliat dan memainkan dinamika penting di sana. Pendiri Fo Guangshan, Master Xingyun beberapa kali pernah berkunjung ke Medan.
Silsilah Chan Foguang Shan dapat ditemui di Wihara Sinar Buddha, silsilah Chan Dharma Drum di Wihara Dharma Wijaya demikian juga dengan silsilah Thien Plum Village dari Thich Nhat Hanh. Ketiganya membangkitkan kembali prinsip sejati dari agama-agama Tionghoa di Kota Medan.
Meskipun umat Buddhis Medan umumnya mengenal Buddhis Tionghoa atau Chan tradisional, tidak banyak yang mengenali Chan modern yang telah bertransformasi menjadi banyak organisasi internasional yang futuristik semisal Dharma Drum, Foguang Shan, dan Plum Village.
Penggemar Zen dan siswa mindfulness
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara