• Wednesday, 29 August 2018
  • Adica Wirawan
  • 0

Mulut gang yang terletak di sebuah perumahan di Kota Bekasi itu tampak tertutup. Nyaris tak ada orang yang berjalan atau kendaraan yang berlalu lalang di sekitar situ. Jam masih menunjukkan pukul 6 sore. Namun, suasana di sekitar gang tersebut sesunyi tengah malam.

Makanya, saya dan teman saya hanya bisa menunggu di depan gang. Pada saat itu, kami sedang menjemput seorang pembicara Buddhis untuk mengisi materi acara Dhammacamp di Gunung Geulis, Bogor pada tanggal 18 Agustus 2018. Sebelumnya kami telah berjanji bertemu di suatu titik di perumahan itu. Namun, oleh karena akses jalan ke titik itu terhalang oleh palang, kami cuma bisa memarkirkan mobil di depan gang, dan meminta pembicara untuk mendatangi kami.

Sekitar sepuluh menit kemudian, pembicara yang kami tunggu akhirnya datang juga. Ia datang naik motor bersama istri dan anaknya. Saya menyapanya, dan ia pun balas menyapa saya. Setelah sempat berbincang sebentar, kami memutuskan langsung berangkat, sebab jadwal acara sudah kian mepet. Sebelum pergi, ia sempat pamit kepada istri dan anaknya. Anaknya kemudian mencium punggung tangannya (salim), lalu merangkapkan tangannya (anjali). Mereka berpisah sambil melambaikan tangan.

Sejujurnya, saya belum pernah melihat pamitan seperti itu. Saya merasa penasaran. Namun, perasaan itu hanya bisa saya simpan di hati saja. Walaupun di mobil kami duduk bersebelahan, saya sungkan menanyakannya secara langsung kepada beliau. Saya takut menyinggung perasaannya.

Sepanjang ingatan saya, salim (mencium punggung tangan saat bertemu atau berpisah dengan orang yang lebih tua) bukanlah tradisi bersalaman yang berasal dari umat Buddha. Sewaktu berjumpa dengan sesama Buddhis, umat Buddha umumnya merangkapkan tangan di depan dada (anjali) dan mengucapkan salam, seperti Namo Buddhaya. Jarang umat Buddha yang saya kenal datang menemui seseorang, mencium punggung tangannya, lalu menyampaikan sebuah salam.

Baca juga: Kemana Sikap Damai Umat Buddha?

Namun demikian, saya sering melihat umat Buddha yang terlihat “kikuk” saat disalimi orang lain. Saya ingat dulu guru Agama Buddha saya menolak tangannya dicium oleh teman saya. Sewaktu teman saya mengulurkan tangannya dan meminta salim kepada guru saya setelah pelajaran agama selesai, guru saya sungkan menerima permintaannya. Buru-buru beliau menarik tangannya, seolah enggan punggung tangannya dicium. Bagi beliau, itu mungkin penghormatan yang kurang lazim di kalangan Buddhis. Makanya, ia merasa sungkan disalimi.

Selain itu, saya juga merasa heran dengan perilaku teman saya, yang ingin salim kepada guru agama Buddhanya. Walaupun ia sendiri adalah seorang Buddhis, tanpa rasa ragu, ia berniat menyalimi gurunya. Sepertinya di sekolah sebelumnya, ia telah dibiasakan melakukan salim kepada setiap guru yang dijumpainya. Makanya, kebiasaan itu kemudian terbawa ke sekolah baru, dan ia memperlakukan guru agama Buddhanya sebagaimana guru-guru lainnya.

Bagi saya, tak ada yang salah kalau ada umat Buddha yang melakukan salim kepada orang lain yang berlatar belakang berbeda keyakinan. Sebab, itu adalah sebuah wujud penghormatan, terlepas dari konteks keyakinan agama tertentu.

Makanya, tanpa rasa sungkan, saya dulu sering salim kepada guru dan dosen saya yang berbeda agama. Saya menjabat tangan beliau, meletakkan punggung tangan beliau di kening saya, dan memberi hormat sedalam-dalamnya. Menurut saya, itu adalah satu cara yang indah untuk menghormati orang lebih tua. Bukankah Buddha menyebut bahwa menghormat yang patut dihormat itu berkah utama?

Jadi, apa pun bentuknya, penghormatan demikian seyogyanya dipandang lewat “kacamata” kebijaksanaan. Jangan sampai hal itu menjadi persoalan, yang justru menciptakan “sekat” di masyarakat. Makanya, terimalah itu sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan bermasyarakat yang terdiri atas berbagai agama.

Salam.

Adica Wirawan

Founder of Gerairasa

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *