• Monday, 2 July 2018
  • Victor A Liem
  • 0

“Orang seperti saya gampang, karena hanya orang kecil, disisipkan di sudut mana pun bisa” ~ Mbok Marti, dalam Novel Romo Rahardi

Belum lama ini saya ngobrol dengan sahabat lama. Menyinggung asal kata bahasa Jawa “kemaki”. Kata dasarnya “kaki”. Menjadi “aki” untuk menunjuk orang tua, orang yang sudah sepuh, maksudnya orang yang sudah berpengalaman.

Kepandaian dan juga kebijaksanaan itu hanya soal waktu. Orang mengetahui ilmu tentang hidup bukan karena pada dasarnya orang tersebut pinter. Orang dianggap pinter karena ya memang banyak mengetahui. Jadi semata-mata hanya soal waktu saja. Tidak ada yang istimewa. Ini seperti kata “kurang ajar”. Sebenarnya tidak ada orang buruk atau jahat, yang ada hanya orang yang kurang belajar.

Kembali pada kata “kemaki”. Jadi arti kata “kemaki” adalah merasa lebih tua, lebih pandai, lebih bijaksana, atau merasa memiliki pengalaman hidup yang lebih dari yang lain. Rasa rumongso besar dan mulai dikaitkan sebagai sosok yang lebih bijaksana.

Kemaki atas dasar memiliki pengetahuan lebih atas orang lain. Banyak orang terpelajar memang bisa jadi fasih menjelaskan filosofi kehidupan. Namun itu bukan soal benar atau salah. Bahkan yang bener pun belum tentu pener. Yang benar belum tentu bijak.

Falsafah

Ajaran Jawa lebih mementingkan kedamaian dan ketenteraman hidup, bukan tentang kebenarannya. Walaupun kita perlu belajar kebenaran namun mesti diterapkan dengan bijak. Ini maksudnya “pener”.

Petuah agar “urip iku ojo kemaki” itu mengajarkan untuk selalu rendah hati. Jangan merasa istimewa, bahkan lebih bijak dibanding orang lain. Menjadi bijak itu bukanlah status sosial. Apalagi membuat kita selalu menuntut agar orang lain menghormati dan memuja kita.

Mengapa perlu sampai begitu? Bukanlah orang bijak itu layak dihormati. Terlalu dihormati sering membuat lupa diri. Dihormati apalagi disanjung-sanjung, itu godaan. Godaan mesti diantisipasi dengan eling lan waspada.

Mesti disadari sejak awal. Kerendahan hati itu membuat diri ini damai, bukan sebaliknya. Perlu untuk merasa selalu bodo. Bodo di sini bukan gelap batin, tidak mau sinau kawruh, tidak belajar tentang hidup, atau masa bodoh dengan petuah. Bukan begitu. Bodo di sini maksudnya merasa diri ini cuma orang yang biasa. Orang yang tindak tanduknya tidak dibuat-buat.

Baca juga: Sugeng Tindak, Den Panji Pembarep

Biasanya orang yang tindakannya dibuat-buat adalah orang yang ingin dilihat baik, dilihat pandai, bijak, lebih wah. Orang yang sikapnya dibuat-buat, hanya menonjolkan hal luar, tapi lupa melihat yang di dalam. Padahal apa yang di dalam batin inilah yang kita rasakan langsung.

Perilaku yang dibuat-buat itu sungguh manipulatif, ujung-ujungnya minta disegani, dihormati, dan diakui atas pengetahuan, kebijaksanaan, dan lain sebagainya. Jika hal ini telah menjadi karakter, maka diri ini akan semakin jauh dari rasa damai dan tenteram.

Ingat petuah sahabat saya, “Dadiyo wong bodo. Wong bodo iku sakjane pinter.”

Saya menjadi teringat sosok punokawan yang lebih memilih menjadi rewang. Nampak cuma sebagai peran pembantu, tapi tanpa mereka nilai sejati akan hilang.

Apa itu nilai sejati? Nilai sejati muncul dari kerendahan hati. Merasa diri bukan siapa-siapa. Dengan demikian, maka sudah tentu diri ini tidak mudah sakit hati. Lha karena bukan siapa-siapa. Maka tidak ada ego yang menanggung malu dan gengsi. Sebaliknya, orang yang merasa siapa-siapa sepanjang hidupnya akan was-was oleh karena mempertaruhkan harga dirinya terus.

Dadi wong bodo iku pinter lan pener. Dia tahu mengatur dan menata pikirannya dengan baik, sehingga budi pekerti yang baik itu terus keluar dan memengaruhi orang-orang sekitarnya. Menjadi bukan siapa-siapa, itu membuat peran manusia yang memiliki jiwa melayani menjadi mulia oleh karena apa yang dikerjakan selalu didasari kebaikan dan kasih sayang.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *