Menjadi seorang Buddha adalah perkara meneladani sosok Buddha, baik apa pun yang diucapkan maupun yang dilakukan oleh beliau. Untuk itu, kita perlu tahu apa yang beliau ucapkan, memahami apa maksud dari ucapan beliau tersebut, dan mempelajari perilaku beliau untuk selanjutnya kita teladani.
Oleh karena itu, dalam rangka membantu umat Buddha masa kini untuk lebih memahami Dharma, melestarikan-Nya dan menggunakan-Nya untuk mencapai Kebuddhaan, penulis mencoba menyajikan daftar 11 buku Buddhis yang menurut pendapat pribadi penulis sangat perlu untuk dibaca, direnungkan, dan dimeditasikan oleh umat Buddha masa kini.
Daftar ini, karena sifatnya yang personal, tentu saja tidak akan diamini oleh setiap orang; boleh jadi ada judul-judul lain yang dirasa lebih layak menduduki daftar 11 Buku yang Wajib Kamu Baca Sebelum Jadi Buddha, dan perbedaan-perbedaan seperti ini tentunya sangat wajar, karena toh seperti kata pepatah: banyak jalan menuju Roma. Tapi, penulis yakin bahwa sumbangsih penting bagi khazanah Buddhis yang terkandung dalam sebelas buku di bawah ini kiranya tidak akan disangkal oleh siapa pun yang mengaku diri sebagai pelajar dan praktisi Buddhis yang tekun.
1. Mula-madhyamaka-karika (Bait-bait Pokok Jalan Tengah)
Kitab ini boleh dikatakan sebagai karya terbaik yang pernah dihasilkan oleh Nagarjuna, salah satu pemikir terbesar dalam sejarah Buddhis. Bagaimana tidak? Dengan menerapkan teori Buddha tentang pratitya-samutpada (kemunculan yang bergantungan), Nagarjuna dengan jernih menampilkan kekeliruan dalam aliran-aliran filsafat yang bermunculan di masa itu dan menawarkan solusinya. Solusi yang dinamainya “Jalan Tengah” ini menegaskan bahwa semua fenomena yang dialami pada dasarnya tidak memiliki esensi yang berdiri sendiri.
Dengan kata lain, hal-ihwal yang dialami tentu saja eksis dalam pengertian tertentu, sehingga mustahil untuk mengatakan kalau mereka tidak eksis (poin ini, kita tahu, mengkritik nihilisme). Di sisi lain, Nagarjuna menyangkal bahwa hal-ihwal eksis secara inheren melalui kekuatan/daya mereka sendiri (poin ini, kita tahu, mengkritik substansialisme). Lalu, karena faktanya mereka dialami oleh kesadaran indrawi dari individu, hal-ihwal juga tak bisa dikatakan hanya berupa nama-nama/label-label saja (poin ini, kita tahu, mengkritik nominalisme).
Untuk menggambarkan kepelikan filosofis dari kitab ini, kita bisa mencuplik satu bait yang cukup terkenal darinya:
Hal-ihwal tidak muncul
dari dalam maupun luar dirinya,
tidak juga dari keduanya,
tidak pula tanpa sebab.
Sulit dipahami? Tentu saja. Itulah sebabnya Guru Sakyamuni adalah Buddha, sementara kita semua masih mengembara tak tentu arah di dalam samsara!
2. Bodhi-carya-watara (Lakon Hidup Bodhisattwa)
Kitab ini ditulis sekitar tahun 700 oleh Shantideva, seorang biksu di Universitas-Biara Nalanda yang terkenal karena perilaku malas dan ogah-ogahannya, tetapi juga sekaligus tersohor karena kecakapannya dalam memahami ajaran Buddha. Kitab ini sendiri terdiri dari 10 bab, yang disusun secara sistematis untuk mengembangkan batin pencerahan dengan bernapaskan 6 praktik penyempurnaan (6 paramita).
Di halaman pembuka, kita segera diperkenalkan dengan manfaat dari sebuah batin yang mendambakan pencerahan. Bab 6 dari kitab, yakni bab tentang kesabaran, disebut-sebut sebagai ulasan paling mendalam sekaligus indah yang pernah ditulis tentang topik kesabaran. Bab 9 sendiri, yang membahas topik kebijaksanaan, dirujuk sebagai paparan paling jernih terkait salah satu topik paling sukar dalam tradisi filosofis Buddhis: Jalan Tengah (silakan kembali merujuk ke paragraf sebelumnya untuk klarifikasi). Bab terakhirnya, bait-bait pelimpahan jasa kebajikan, adalah salah satu doa dedikasi yang paling sering dilantunkan dalam tradisi Mahayana.
Seorang Bodhisattwa pastilah punya kepentingan untuk memurnikan karma buruknya. Seorang Bodhisattwa juga lazimnya harus senantiasa menampilkan kewaspadaan, kesabaran, upaya bersemangat, konsentrasi tingkat tinggi, dan kebijaksanaan yang mendalam. Kualitas-kualitas yang demikian beragam! Terdengar begitu jauh dan samar-samar dari jangkauan kita!
Tapi untungnya, Shantideva paham betul dilema yang kita alami sebagai kaum dengan “nafsu besar tenaga kurang.” Beliau telah merangkum semua kualitas di atas dalam kumpulan syair yang filosofis sekaligus puitis, semata-mata demi kepentingan kita semua: makhluk-makhluk yang begitu mendambakan pencerahan, tetapi tak tahu bagaimana cara melakukannya
3. Bodhi-patha-pradipa (Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan)
Kitab ini digubah pada abad ke-11 oleh Atisha, guru besar India yang pernah mendalami studi di Sriwijaya dan kemudian menerapkan ilmu yang diperolehnya untuk mereformasi Buddhis di Tibet. Diakui sebagai karya terbaik yang pernah dihasilkan oleh Atisha, kitab ini dikenang karena kontribusinya dalam mendamaikan ajaran-ajaran dari aneka mazhab dan filsafat Buddhis di masa itu.
Konsep tentang ketiga tingkatan praktisi yang diperkenalkan oleh kitab ini juga menawarkan cara baru dalam melihat ajaran Buddha, karena ucapan-ucapan Buddha yang dulunya dianggap saling bertentangan dan tidak runtut, kini bisa dipahami dengan jelas sebagai satu kesatuan yang mesti ditapaki secara bertahap oleh siapa pun yang mendambakan pencerahan sempurna.
Baca juga: Buku-buku Buddhis Jadi Buku Terlaris di Korea
Dengan demikian, tidaklah aneh jika kitab ini lantas disamakan dengan pelita, berhubung itulah persisnya fungsinya bagi para praktisi: sebagai pelita untuk menerangi jalan menuju pencerahan yang, pada pandangan pertama, tampak begitu rancu dan berliku-liku. Seseorang bisa saja dengan mudah menyalahpahami secuil realisasi yang didapatnya sebagai pencerahan sempurna. Atau, seseorang bisa juga mencampuradukkan antara kerendahan hati sebagai kerendahan diri.
Semua ini tak pelak adalah risiko yang mesti kita hadapi kalau nekat mencari pembebasan dalam gelap: alih-alih terbebaskan, ada kemungkinan besar kalau kita malah akan tersandung dan tersungkur lebih dalam ke jurang samsara.
4. Maha-buddha-wamsa (Riwayat Agung Para Buddha)
Kitab ini mengisahkan riwayat Buddha Sakyamuni berikut Buddha-Buddha di masa lampau yang mendahuluinya. Semata fakta bahwa kitab ini menyuguhkan kepada kita kisah-kisah inspiratif tentang transformasi seorang manusia biasa menjadi guru agung umat manusia saja sudah cukup untuk menyoroti arti penting isi yang dikandungnya.
Namun, yang bahkan membuat kitab ini bermakna penting adalah sosok pengarangnya, Mingun Sayadaw, biksu besar dari Burma yang pernah masuk rekor dunia sebagai manusia dengan ingatan terbaik. Beliau tercatat mampu melafalkan 16 ribu halaman teks kanon Buddhis dalam satu kesempatan – sebuah capaian yang tidak hanya menunjukkan ketajaman ingatan, tapi juga keluasan pemahaman terkait ajaran Buddha.
Maha Buddhawamsa sendiri dikarang atas permintaan dari Perdana Menteri U Nu, dan baru dirampungkan setelah usaha keras selama 5 tahun (1955-1960). Tidak ada keraguan bahwa kitab ini menjadi salah satu karya terbaik yang pernah dihasilkan oleh Mingun Sayadaw. Namun, yang juga tak bisa dipungkiri adalah fakta bahwa setelah setengah abad sejak ia ditulis, kitab ini terus menjadi sumber inspirasi bagi siapa pun yang ingin mengenal junjungan mereka, Sang Buddha, dengan lebih dekat.
Kisah-kisah tentang lika-liku kehidupan yang dialami oleh seorang manusia sebelum merampungkan Kebuddhaannya akan terus menjadi bara yang menyemangati kita semua untuk mencapai tujuan yang sama. Sebagai tambahan, aspek kesarjanaan yang melingkupi karya ini menyediakan bagi kita sebuah kepekaan historis yang penting dalam merenungkan salah satu momen terpenting dalam sejarah umat manusia: pencerahan Siddhartha Gautama di bawah pohon Bodhi.
5. Jataka (Kisah-kisah Kelahiran)
Boleh jadi, inilah kitab yang paling populer dan sering dibaca oleh umat Buddhis. Mengisahkan aneka macam kelahiran yang mesti dijalani oleh Buddha sebelum beliau terlahir sebagai Siddhartha Gautama dan mencapai pencerahan sempurna. Gaya bertuturnya yang ringan dan pesan moralnya yang mudah ditangkap segera menawan hati siapa pun yang membacanya.
Keberadaan Jataka ini seakan-akan saling melengkapi dengan Maha-buddha-wamsa di atas. Apa yang terjadi dengan Petapa Sumedha setelah beliau membangkitkan batin pencerahan dan berikrar? Bagaimana sepak terjang beliau dalam menapaki jalan Bodhisattwa sebelum akhirnya beliau memasuki kelahiran terakhirnya sebagai Pangeran Siddharta? Semua ini terjawab dalam Jataka.
Dalam rentetan kisah sang calon Buddha terlahir sebagai raja, gajah, kelinci, angsa, dan sebagainya ini, kita dituntun untuk menelusuri jejak-jejak latihan Bodhisattwa Agung merampungkan ikrar-Nya mengejar pencapaian Kebuddhaan demi menolong para umat manusia dan dewa.
Bentuk kisahnya yang serupa dongeng atau fabel pun tidak serta-merta membuat kitab ini dipandang sebelah mata. Malah sebaliknya, nuansanya yang nyaris fiktif memungkinkan kita untuk mengaktifkan imajinasi kita selaku manusia yang bernalar: bahwa hati yang penuh cinta kasih dan welas asih itu memang ada, bahwa sifat dasar manusia tidaklah sejahat yang diyakini orang-orang, dan bahwa pernah ada satu manusia yang benar-benar membuktikan kedua poin ini.
Dengan demikian, tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa Jataka adalah pintu masuk yang praktis sekaligus inspiratif bagi siapa pun yang ingin mengenal ajaran Buddha lebih dalam.
6. Way to Buddhahood (Jalan menuju Kebuddhaan)
Kitab ini adalah ikhtisar dari bagaimana Buddhis di Tiongkok selama 2 milenium terakhir memadukan dan memahami konsepsi pencerahan yang bervariasi menurut beberapa tradisi filsafat. Sebagai karya besar yang lahir dari tangan Yin-shun, pemikir Buddhis-Tiongkok paling tersohor di abad ini, kita akan dibawa ke dunia pengalaman mereka dalam menerima dan memahami Buddhis sebagai agama yang dibawa masuk dari India ribuan tahun silam.
Lebih lanjut, perbandingan dengan tradisi Buddhis-Tibet dan Buddhis-India juga dibuat untuk membuktikan satu hal: bahwa pada akhirnya tidak ada yang namanya mazhab Tanah Murni, Hanya Kesadaran, atau nama-nama lainnya, kecuali jalan Buddha itu sendiri. Aneka ragam mazhab dengan tradisi dan tata cara mereka yang berbeda-beda adalah benar menurut siapa pun yang menganutnya, karena kebenaran ujung-ujungnya tergantung pada tingkat pemahaman individu yang mencerapnya.
Sembari merangkul kekayaan tradisi Buddhis yang merentang dari belahan selatan sampai timur Asia, kitab ini juga berkontribusi dalam mengukuhkan pijakan dan keterlibatan kita di dunia modern saat ini tanpa menuntut kita untuk mengorbankan akar tradisional.
Singkat kata, kitab ini dapat menjadi pegangan yang sangat berguna bagi umat Buddhis yang hidup di abad ke-21 sekarang: kita diyakinkan soal arti penting dan relevansi Buddhis bahkan sampai hari ini, selagi di saat yang bersamaan kita juga diajak untuk terus setia pada tradisi-tradisi luhur di masa lampau.
7. Wisudhi-magga (Jalan Pemurnian)
Kitab ini adalah risalah agung dari tradisi Theravada yang ditulis oleh Buddhaghosa sekitar abad ke-5 di Sri Lanka. Arti pentingnya terletak pada upayanya meringkas dan menyusun ajaran-ajaran teoritis dan praktis dari Buddha Shakyamuni sebagaimana yang dipahami oleh para tetua di Biara Mahawihara di Anuradhapura. Tidak heran jika kitab ini kemudian digambarkan sebagai metode tafsir Tripitaka berbasis Abhidharma yang ditulis dengan utuh dan padu, serta dianggap sebagai teks Theravada paling penting di luar kanon Tripitaka.
Struktur babnya sendiri menggambarkan perkembangan dari kemurnian disiplin ke tujuan akhir – nirwana – dalam 7 langkah, yang kemudian dibagi ke dalam 3 seksi: aturan disiplin dan tata cara menemukan tempat dan guru yang baik untuk berlatih, beragam tingkatan konsentrasi yang diperlukan oleh praktisi dalam latihan mereka, dan pembahasan soal 5 agregat, kesadaran indrawi, 4 Kebenaran Arya, kemunculan yang bergantungan, dan pandangan mendalam.
Dan sebagai tambahan, kitab ini juga menjadi salah satu dari sedikit teks yang secara eksplisit melukiskan kemampuan supranatural yang dimiliki oleh guru-guru besar, seperti kemampuan berjalan di atas air, terbang, menembus tembok, dan seterusnya. Benar-benar sebuah kitab yang perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin menjadi Buddha demi menolong semua makhluk!
8. Blue Annals (Kronik Biru)
Kitab supertebal ini, yang dirampungkan oleh Go Lotsawa Zhonnu Pel pada tahun 1476, merupakan survei historis paling penting yang pernah ditulis perihal sejarah perkembangan Buddhis secara umum, dan secara khusus, jejak persebarannya di Tibet sampai abad ke-15. Arti pentingnya terletak pada upayanya menetapkan sebuah kronologi yang runtut dan terpercaya terkait aneka peristiwa penting yang menandai masuknya Buddhis di Tibet, dipenuhi di sana-sini dengan detail-detail berupa nama-nama tokoh spiritual ternama berikut silsilah spiritual mereka.
Tersusun atas 15 bab yang cakupannya begitu luas dan mendalam, tiap bab dalam kitab ini didedikasikan untuk mengulas sejarah tiap-tiap mazhab atau sekte dalam tradisi Buddhis-Tibet, sekaligus menyediakan sebuah studi komparatif tentang data-data kronologis dari kitab-kitab klasik sebelumnya.
Baca juga: Membaca Buku Berjudul “Aku”
Kita semua boleh jadi pernah mendengar istilah Jas Merah-nya Soekarno: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Dan memang, barangsiapa yang kenal sejarah Buddhis akan memahami keseluruhan bangunan ajaran Buddha secara lengkap dan menyeluruh. Dan sekali bangunan ajaran ini dipahami, kita niscaya akan paham kalau tidak ada ajaran Buddha yang bertentangan satu sama lain.
Semua perkataan yang keluar dari mulut Buddha adalah kebenaran, dan siapa pun yang mampu tiba di kebenaran ini dengan menyibak kulit-kulit luar yang di permukaan tampaknya tidak bersesuaian, niscaya akan meraih status Buddha, atau Dia yang Telah Sadar (bahwa kebenaran itu satu adanya).
9. An Introduction to Zen Buddhism (Pengenalan ke Buddhis Zen)
Kitab ini dikarang pada tahun 1934 oleh guru besar dalam tradisi Zen, Daisetz Teitaro Suzuki, dan sejak saat itu tidak pernah kehilangan daya tariknya bagi siapa pun yang tertarik mendalami filsafat Zen.
Ada dua alasan yang jadi daya tarik buku ini. Pertama, kitab ini diberi kata pengantar oleh Carl Jung, psikolog yang, bersama dengan Sigmund Freud, bisa dikatakan telah merumuskan disiplin psikologi dalam tradisi keilmuan Barat. Kedua, Zen sendiri adalah sebuah dunia yang, bahkan sampai hari ini, dianggap penuh misteri sekaligus membingungkan. Coba renungkan kisah klasik Zen berikut: Kalau ketemu Buddha di jalan, bunuh saja.
Nah, orang waras mana yang akan benar-benar membunuh seorang Buddha yang ditemuinya di jalanan? (lagipula, ketemu Buddha secara langsung tentunya lebih menyenangkan ketimbang sekadar menyembah patungnya.) Tapi, apakah boleh jadi ada sebuah makna yang tersirat dalam kalimat itu? Apa yang dimaksud dengan Buddha di sini, dan apa pula makna dari kata “bunuh”?
Irasionalitas selalu menjadi nuansa yang melingkupi ajaran Zen. Dan dalam kitab ini, tidaklah keliru bila dikatakan bahwa D.T. Suzuki telah berhasil menyajikan Zen dengan paparan yang jernih dan tidak neko-neko. Penekanannya pada pemahaman-diri sebagai titik tolak menuju pencerahan akan selalu menyematkan karya ini dengan status klasik.
10. Science and Philosophy in the Indian Buddhist Classics
Ratnoka Dharani, yang dikutip Je Tsongkhapa dalam teks Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan (Lamrim Chenmo), menyatakan: “Keyakinan adalah prasyarat bagi semua kualitas baik… Ia menghapuskan kebimbangan, membebaskanmu dari keempat sungai (ketidaktahuan, kemelekatan, nafsu keinginan, dan pandangan-pandangan salah) dan menempatkanmu dalam kota makmur kebahagiaan dan kebaikan… Ia memotong kemurungan dan menjernihkan batin… Ia melenyapkan kesombongan dan merupakan akar dari rasa hormat… Ia adalah permata dan harta karun.”
Kaitan antara bait keyakinan di atas dengan kondisi saat ini bisa dirangkum dalam pertanyaan berikut: di zaman ketika orientasi material diteguhkan statusnya oleh kemajuan teknologi dan sains, seberapa (atau masih) relevankah sebuah ajaran dari dua milenium silam bagi hidup kita? Seiring temuan-temuan di bidang sains yang terus bermunculan untuk menggoyahkan (atau meruntuhkan) premis-premis yang dipegang oleh iman-iman keagamaan selama berabad-abad, apa yang kiranya dapat menghindarkan agama dari label ‘usang’ atau ‘ketinggalan zaman?’
Buku ini secara khusus hadir untuk menjawab polemik sains vs agama ini. Dengan menelusuri filsafat-filsafat para pemikir India klasik dan mencari keselarasannya dengan temuan sains di zaman sekarang, gagasan yang ditawarkan dalam buku ini niscaya akan memulihkan keyakinan kita pada Buddhis. Alih-alih merasa malu dan inferior karena masih menganut sesuatu dari ribuan tahun silam, kita akan dituntun untuk menyaksikan suksesnya pertemuan antara dunia filsafat Barat dan Timur, serta untuk mengamini upaya bahu-membahu keduanya dalam menawarkan kebahagiaan kepada dunia.
11. Mind Training: The Great Collection (Kumpulan Agung Transformasi Batin)
Buku ini dikompilasi di abad ke-15 oleh Shonu Gyalchok dan Khoncog Gyaltsen, dan merupakan salah satu karya antologi terawal dalam tradisi Buddhisme Tibet yang dikategorikan sebagai “ilmu transformasi batin”. Ajaran ini sangat populer karena pendekatannya yang pragmatis dan membumi: membantu praktisi mengubah hal-hal buruk yang dialaminya menjadi potensi-potensi bajik. Oleh karena itu, ajaran-ajaran transformasi batin ini sangat cocok untuk dilatih oleh manusia zaman sekarang yang senantiasa bertemu dengan hal-hal negatif dalam rutinitas keseharian mereka.
Buku ini menampilkan 34 teks ajaran transformasi batin yang merupakan karya-karya dari para guru besar, termasuk Guru Suwaradwipa dari Kerajaan Sriwijaya. Teks-teks ini mengajarkan secara sistematis tata cara membangkitkan welas asih, kesabaran dan keteguhan hati, sembari memerangi sikap-sikap mementingkan diri sendiri yang menjadi sumber dari segala penderitaan.
Ajaran yang terkandung di dalamnya akan menunjukkan bagaimana pola pikir kita selama ini telah salah fokus karena adanya kesalahan pandangan dalam memahami hal-ihwal. Kesimpulan yang diambilnya cukup jelas: penderitaan baru akan lenyap jika kita telah mengubah fokus kita – dari yang berorientasi ke diri sendiri menjadi berorientasi ke semua makhluk.
Guru-guru besar sering mengatakan bahwa instruksi-instruksi yang terkandung di dalam buku ini pada dasarnya adalah intisari dari ajaran Buddha itu sendiri. Jadi, bagi kita yang mendambakan pencapaian Kebuddhaan, sudah seyogianya untuk tidak melewatkan buku yang jelas-jelas bisa menunjukkan jalan ke cita-cita tertinggi ini!
Praviravara Jayawardhana
Pengembara samsara yang mendambakan kebebasan
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara