Mudik rasanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia terutama yang bekerja di kota-kota besar untuk kembali pulang ke kampung halamannya masing-masing. Setahun sekali, kita harus rela berpeluh dan berkeluh karena kemacetan yang timbul. Tetapi semua itu menjadi tiada artinya ketika kita telah sampai ke rumah dan merayakan lebaran.
Sebenarnya, tradisi mudik bukanlah tradisi unik masyarakat Indonesia. Mudik atau pulang ke kampung halaman masing-masing adalah fenomena sosial yang terjadi di hampir semua negara, dari zaman dulu sampai sekarang. Selain Indonesia, negara-negara berpenduduk banyak seperti Tiongkok juga memiliki ritual mudik.
Di Tiongkok, setiap menjelang Tahun Baru Imlek, ratusan juta orang pulang ke kampung halaman masing-masing, menjadikannya fenomena perpindahan manusia (mudik) tahunan terbesar. Demikian pula di negara-negara lainnya seperti Amerika Serikat, India, Iran, dll. Orang-orang yang rindu akan kampung halamannya akan sengaja meluangkan waktu mudik khusus untuk merayakan hari-hari penting seperti Tahun Baru, Divali, Thanksgiving, Natal, dll.
Mudik berasal dari Bahasa Jawa Ngoko ‘mulih dilik’ yang artinya pulang sebentar. Mudik juga dikaitkan dengan kata ‘udik’ yang artinya kampung atau desa; lawan kata dari kota – tempat para perantau biasa mengadu nasibnya.
Konon katanya, tradisi mudik di Indonesia sudah ada sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Mudik adalah tradisi dari para petani Jawa. Kala itu, orang-orang yang merantau akan pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam leluhurnya. Momen ini juga dimanfaatkan untuk meminta rezeki dan berkah keselamatan.
Selain sebagai ritual tahunan, mudik juga dapat dimaknai dalam beberapa aspek, terutamanya yang berkaitan dengan ‘berkumpul bersama keluarga’. Pertama dan utama, mudik adalah suatu perjalanan pulang ke kampung halaman, dalam hal ini yaitu rumah orangtua.
Tentu ketika kita mudik, tidak hanya sekedar pulang dan numpang tidur saja bukan. Kita haruslah memperlakukan keluarga terutama orangtua kita di rumah dengan baik karena jarang sekali kita mendapatkan kesempatan seperti itu. Kesempatan ini haruslah digunakan untuk menunjukkan sikap berbakti kepada orangtua. Apalagi orangtua dan keluarga adalah orang-orang pertama yang menginspirasi kita. Dalam Itivuttaka 106, Buddha menegaskan nilai orang tua dalam sebuah keluarga:
“Yang hidup dengan Brahma adalah para keluarga, yang di rumahnya, ibu dan ayah dihormati oleh anak-anaknya.”
“Yang hidup dengan para dewa awal ….”
“Yang hidup dengan para guru awal ….”
“Yang hidup dengan mereka yang pantas dipuja ….”
“Wahai para bhikkhu, ‘Brahma’ adalah istilah untuk ibu dan ayah.
‘Dewa-dewi awal’, ‘guru-guru awal’, serta ‘mereka yang pantas dipuja’
adalah istilah untuk ibu dan ayah.”
“Mengapa demikian?”
“Karena ibu dan ayah banyak sekali membantu anak-anaknya.
Mereka merawat anak-anaknya dan membesarkan
serta mengajar mereka tentang dunia.”
Ibu dan ayah disebut
‘Brahma’, ‘guru awal’
Dan ‘pantas dipuja,’
Karena penuh kasih sayang terhadap
Anak-anak mereka.
Maka orang bijaksana harus menghormati ibu dan ayah,
Memberi mereka penghormatan yang sesuai,
Menyediakan makanan dan minuman bagi mereka,
Memberi mereka pakaian dan tempat tidur,
Meminyaki dan memandikan mereka
Serta membasuh kaki mereka.
Bila dia melakukan pelayanan seperti itu
Terhadap ibu serta ayahnya,
Mereka memuji orang bijaksana itu di sini juga
Dan setelah kematian, dia bersuka cita di alam surga.
Selain orangtua sendiri, penghormatan juga layak diberikan kepada kerabat dan sanak saudara lain yang lebih tua. Dengan demikian kita belajar menumbuhkan apacayana (bersikap rendah hati dan menghormati yang pantas diberi hormat).
Mudik tentu menjadi momen saling menghargai dan menghormati, saat dimana tali persaudaraan dipererat. Apabila selama satu tahun kebelakang terjadi suatu konflik, maka berkumpul bersama dapat menjadi cara untuk memperbaiki hubungan.
Selain di lingkungan keluarga, mudik juga dapat menjadi ajang bagi kita untuk membantu sesama dan lingkungan. Ketika kita pulang kampung halaman, biasa kita akan bertemu dengan teman-teman lama yang sudah lama tidak berjumpa.
Baca juga: Mengapa Kita Perlu Merawat Tradisi dan Budaya?
Kita juga akan bergotong royong membersihkan tidak hanya rumah sendiri, tetapi juga kampung, wihara, dll sebagai persiapan menjelang hari raya. Bersemangat dalam melakukan hal-hal ini dapat digolongkan sebagai sikap veyyavacca.
Terakhir, mudik juga mengajarkan kita pentingnya berbagi kebahagiaan terhadap makhluk lain. Kita dapat membantu orang lain dengan berderma. Kita juga dapat bersama-sama keluarga melaksanakan perbuatan baik atas nama keluarga kita yang telah meninggal (pattidana). Semua ini adalah kesempatan-kesempatan yang jarang dapat kita lakukan sendiri dalam hiruk-pikuk di perkotaan.
Jadi, apa artinya mudik bagi Anda?
Tentu mudik dan utamanya ‘kumpul bersama keluarga’ merupakan hal yang sulit diungkapkan karena hal ini terkait dengan kenangan-kenangan hangat dan menyenangkan bersama keluarga (yang kadang diselingi tidak saja oleh tawa tetapi juga tangisan).
Karena keluarga adalah tempat bersandar bagi kita, tempat di mana cinta tanpa pamrih berada, dan tempat di mana orang-orang terkasih kita tinggal, inilah tempat di mana kita berakar dan menjadi jati diri kita.
Selamat mudik. Hati-hati di jalan. Selamat Idul Fitri 1439 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Upasaka Sasanasena Seng Hansen
Sedang menempuh studi di Australia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara