• Friday, 2 March 2018
  • Hendrick Tanu
  • 0

Selama ini kita dicekokin cerita bahwa bangsa Mongol yang dipimpin Kubilai Khan (Kaisar Yuan Shizu) menyerang Jawa dan Kertanegara maupun Raden Wijaya mempertahankan kerajaannya dengan gagah berani. Kemenangan Jawa atas Mongolia digaungkan ke mana-mana.

Meskipun merupakan cerita yang bagus untuk suatu kisah nasionalisme, para sejarawan menemukan bahwa faktanya tidak sesederhana yang dikira karena banyaknya versi sejarah. Ada catatan bahwa Kubilai Khan sempat menjadi kawan bagi Nusantara. Ditambah, beliau adalah seorang Buddhis yang cukup berdevosi sama seperti Raja Kertanegara. Jika mau jujur, kerena jasanya pula Raden Wijaya dapat mendirikan Majapahit!

Ekspedisi Mongolia ke Jawa ini menjadi daya tarik banyak sejarawan, dikarenakan banyak versi kisah antara catatan Tiongkok, catatan Jawa kuno, dengan catatan Jawa modern yang baru muncul abad ke-20 M.

Selain itu, Kubilai Khan memang adalah Kaisar Mongol yang paling banyak dibahas setelah Genghis Khan (Yuan Taizu) karena mendirikan Dinasti Yuan di Tiongkok. Bahkan ada pula hipotesis yang mengatakan Kubilai Khan meninggal di Nusantara berdasar asumsi dari sebuah prasasti.

Setelah Genghis Khan beserta pasukan Mongol menaklukkan Tiongkok, Kaisar Kubilai Khan sendiri pertama kali mengenal Buddhadharma ketika seorang biksu Chan (Zen) bernama Haiyun memberinya banyak nasihat bagaimana menjadi Kaisar Tiongkok yang baik.

Dinasti Khan dan biksu

Biksu Haiyun juga merekomendasikan biksu Chan (Zen) Liu Bingzhong. Kubilai Khan menjadikannya penasihat sekaligus arsitek kerajaan. Biksu Bingzhong mendesain arsitektur ibukota Yuan yaitu Dadu dan juga membuat banyak peraturan sehingga orang-orang Han tidak tertindas oleh kesemena-menaan bangsa Mongol.

Berkat dua orang biksu Chan ini, sang Kaisar dapat memerintah Tiongkok dengan baik dan mengurangi kesemena-menaannya sehingga banyak orang Han terlindungi nyawanya. Sebagaimana Genghis Khan yang belajar dari penasihatnya, Yelu Chucai (murid dari biksu Chan Wansong Xingxiu), Kubilai Khan juga belajar banyak dari dua orang penasihatnya ini. Nama Dinasti “Yuan” juga berasal dari biksu Bingzhong.

Belakangan setelah para biksu Chan ini meninggal, Kubilai Khan berpaling pada Buddhis Tibet dengan mengangkat Drogon Chogyal Phagpa dari Sakyapa sebagai guru negara (guoshi) dan juga berkeyakinan pada Karma Pakshi (Karmapa ke-2) dari Kagyupa.

Baca juga: Menguak Kidung Badra Santi, Kesaksian Senjakala Kerajaan Majapahit

Meski demikian, ia masih suka membaca sastra-sastra Chan rekomendasi dari Phagpa. Drogon Chogyal Phagpa ini juga memberikan abhiseka Hevajra dan Mahakala pada Kubilai Khan. Phagpa menyebut Kubilai Khan sebagai emanasi bodhisattva Manjusri dari Gunung Wutai yang terlahir sebagai rajadiraja Chakravartin.

Di sini dimulailah keterkaitan antara abhiseka Tantra dengan politik kerajaan-kerajaan Nusantara atau Mongol/Manchu di Tiongkok. Raja Kertanegara “meniru” apa yang dilakukan Kubilai Khan dengan mengadopsi ritual-ritual Tantra yang menjadikannya sebagai Buddha Mahaksobhya dan rajadiraja pula.

Berbagai versi

Catatan Tiongkok tentang ekspedisi Mongol ada dalam kitab Yuanshi dan Tongjian Gangmu. Naskah kuno Jawa disadur dari Desawarnana, Pararaton, dan Kidung Panjiwijayakrama.

Pada zaman modern abad ke-20 muncul naskah Babad Majapahit, Banjaran Singhasari, dan Banjaran Majapahit yang semakin menasionalismekan kisah ekspedisi Kubilai Khan ini. Dalam meneliti sejarah, ada baiknya naskah-naskah fiksi modern ini dikesampingkan dahulu.

Dikisahkan bahwa berkali-kali orang Mongol mengadakan ekspedisi dan mengirim utusan pada masa pemerintahan Kertanegara dalam diplomasi dagang, namun berkali-kali gagal karena Raja Kertanegara menolak memberikan upeti. Bagaimana seorang rajadiraja tunduk pada rajadiraja lain? Ini tak mungkin. Raja Kertanegara juga punya agenda politik sendiri.

Baca juga: Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit

Baik Pararaton, Kidung Harsawijaya, maupun Kidung Panjiwijayakrama menyebutkan bahwa terakhir, kedatangan sejumlah besar tentara Mongol ke Jawa bukan karena Mengqi dipermalukan oleh Kertanegara, melainkan karena Arya Wiraraja yang meminta sendiri pada Kubilai Khan untuk membantu dirinya dan Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) menyerbu Jayakatwang yang telah membunuh Kertanegara. Alhasil permintaan ini dipenuhi.

Kubilai Khan mengirim Gaoxing, Shibi dan Ike Mese untuk pergi ke Jawa sekaligus bala tentara mereka yang berangkat dari Quanzhou. Catatan Nusantara mencatat bahwa Raja Tatar Khan (Mongolia) atau Kubilai Khan sendiri juga ikut dalam pelayaran ini membantu Raden Wijaya, akan tetapi ini masih menjadi ajang perdebatan karena berbeda dengan naskah Tiongkok. Apakah mungkin salah satu jenderal utusan Kubilai mendapat sebutan Raja Tatar?

Penyerangan tentara gabungan Raden Wijaya dan tentara Mongolia ini berhasil menaklukkan Jayakatwang di Daha dan kerajaan Majapahitpun didirikan. Baik catatan Tiongkok maupun Nusantara setuju akan ini, demikian juga ketika Raden Wijaya balik menyerang tentara Mongol sehingga mereka pergi kembali ke Tiongkok juga disetujui oleh catatan kedua negara. Raden Wijaya, sama seperti Kertanegara, tidak mau tunduk memberi upeti.

Catatan Nusantara bahkan mengatakan bahwa penyebab Raden Wijaya melakukan penyerangan adalah tidak rela putri Tumapel yang dinikahinya, diserahkan pada Raja Tatar Khan, padahal Arya Wiraraja sudah menjanjikannya dan tentara Mongol hanya menagih janji tersebut.

Sekembalinya, Shibi dan Ike Mese dijatuhi hukuman cambuk oleh Kubilai Khan sedangkan Gaoxing yang tidak terjebak rencana Raden Wijaya malah dihadiahi. Konsekuensi ringan semacam ini menunjukkan bahwa ekspedisi Mongol tidak gagal total di Jawa. Shibi malah berhasil membawa balik sejumlah besar emas dan menurut catatan Tiongkok, orang-orang Mongol juga masih berdiskusi apakah harus meneruskan hubungan diplomatik dengan Majapahit.

Tidak adanya konsensus bersama mengakibatkan akhirnya mereka tidak mengirim ekspedisi lagi ke Nusantara. Ekspedisi orang Mongolia adalah murni urusan ekonomi dagang

Kesimpulan terkini, kisah Mongol dan Jawa ini kemungkinan besar bukan tentang penyerangan/penjajahan bangsa asing ke Nusantara yang gagal, melainkan bagaimana raja-raja Nusantara melebarkan sayap, mempertahankan politik kekuasaannya, menolak upeti, dan menumpas pemberontak, yang malah dibantu tentara Mongolia dan Kubilai Khan!

Hendrick Tanuwidjaja

Penulis dan executive editor majalah Buddhis Sinar Dharma, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *