Meskipun belum ada kata sepakat, akan tetapi ada pendapat yang menyatakan bahwa alasan penutupan relief karmawibangga tersebut dilakukan untuk penguatan struktur Mandala Agung Borobudur. Pasalnya, jika tidak ditutup, bukan tidak mungkin akan terjadi longsor karena beban berlebihan.
Relief Karmawibhangga ditemukan pada 1885 oleh warga Belanda, YW Ijzerman. Pada 1890-1891, penutup relief dibongkar dan diteliti oleh Ijzerman, sementara Cephas memotret relief itu. Kemudian, foto-fotonya dibukukan sekitar 1931.
Buku asli itu kini berada di Museum Nasional, Jakarta. Negatif foto asli relief itu statusnya milik Pemerintah Belanda, dan hingga sekarang berada di Museum Tropen, Amsterdam, Belanda. Hingga saat ini, penelitian tentang misteri relief tersebut mengandalkan foto-foto yang ada di buku yang berada di Museum Nasional, Jakarta.
Seorang pejabat Jepang pada masa penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1943, tertarik melihat relief tersebut karena beredar isu bahwa relief itu berupa gambar-gambar tentang situasi neraka.
Batu penutup relief di bagian tenggara lantas dibongkar. Namun, karena penutupan kembali tidak sempurna sehingga banyak batu yang tercecer. Hingga saat ini, terdapat tiga panel di relief bagian tenggara dalam kondisi terbuka.
Tak ada salahnya ketika kita berkunjung ke Mandala Agung Borobudur, sempatkan kaki melangkah ke museum di sana. Di sana ada banyak foto dari 160 relief Karmawibhangga yang sekarang tak lagi bisa dilihat kecuali di sudut tenggara.
Pada panel nomor 131 di gambar tertempel, terdapat dua adegan. Sisi kiri panil, terdapat lima tokoh dalam posisi duduk bersila di saung beratap limas. Mereka digambarkan sedang mengobrol dan di sisi kanan saung terdapat dua orang tokoh, seorang duduk bersila dan seorang lainnya hanya tampak bagian kepalanya.
Gambaran tersebut mengesankan adanya orang-orang mampu dan berperan penting dan dua orang lain yang berbeda status sosialnya. Pada adegan lain pada sisi kanan terdapat bangunan besar yang sedang dipuja sekelompok tokoh.
Tiga orang berlutut dengan sikap hormat, seorang di tengah memegang sebuah benda untuk memukul lonceng (ghenta) yang ada di atasnya. Dua orang tokoh dalam posisi berdiri sedang melakukan penghormatan ke arah bangunan tersebut. Adegan ini memberik kesan panggilan untuk beribadah pada bangunan suci itu.
Pada pigura panel terdapat tulisan dengan aksara Jawa kuno model abad VIII M yang terbaca ‘ghenta’. Tulisan ini digambarkan dalam bentuk relief yang ada di bagian bawah tulisan tersebut. Berdasar hal ini, para peneliti beranggapan bahwa tulisan tersebut digunakan sebagai panduan oleh para silpin (pemahat candi) dalam memahat rangkaian cerita yang ada di sana.
Mau tahu kata yang lain, ayo ke Mandala Agung Borobudur dan mampir ke museumnya.
Goenawan Sambodo
Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara