• Sunday, 28 January 2018
  • Deny Hermawan
  • 0

Di dalam Buddhadharma Vajrayana, dikenal praktik Dharmapala atau Pelindung Dharma. Dharmapala dipercaya merupakan makhluk yang bisa mendukung praktik Dharma kita melalui sejumlah metode untuk menyingkirkan halangan dan rintangan yang menghalangi kemajuan spiritual.

Pelindung Dharma juga diyakini bisa membantu menciptakan kondisi kondusif bagi para praktisi Dharma dan memberi lebih banyak waktu untuk pengembangan spiritual. Praktik Dharmapala adalah salah satu pendukung utama selain adanya seorang guru yang berkualitas dan orang-orang yang mendukung kita dalam praktik (kalyanamitra).

Pada tingkat yang lebih tinggi Pelindung Dharma bisa membantu untuk menghapus hambatan dalam menempuh jalan spiritual kita, seperti keraguan, depresi, kemalasan, kemarahan, kecemburuan, pikiran menyerah, dan masalah emosional lainnya. Oleh karena itu pada hakikatnya Pelindung Dharma adalah makhluk yang bertindak sangat penuh kasih, konsepnya mirip dengan malaikat pelindung dalam agama Kristen.

Pelindung Dharma sering muncul dalam bentuk murka dengan liturgi yang terdengar garang. Murka ini adalah bukti kualitas belas kasih yang ekstrem yang memotivasi mereka untuk bertindak segera, memberkati dan melindungi.

Analogi yang paling sering digunakan adalah ibu yang marah pada anaknya karena melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan kerusakan. Sifat murka ini juga mencakup unsur kecepatan dalam membantu kita. Hal ini dapat diamati dalam perilaku duniawi kita sendiri. Saat marah misalnya,  kita alami bergerak dan bereaksi lebih cepat daripada biasanya.

Pelindung

Praktik Pelindung Dharma lazim di semua tradisi Buddhadharma Tibet. Salah satu pelindung Dharma yang khas dari Buddhadharma Tibet adalah Mahakala Jubah Hitam, atau Mahakala Bernagchen bahasa Tibetnya. Tidak ditemukan istilah Sansekerta yang fix, karena Dharmapala ini ‘berkembang’ di Tibet. Namun padanan katanya dalam bahasa Sanskerta yang dirasa pas adalah Mahakala Krishnachola.

Bentuk Mahakala ini berasal dari tradisi ‘terma’ Nyingma namun diperkenalkan ke dalam tradisi Karma Kagyu oleh Karmapa Kedua, Karma Pakshi (1204/6-1283). Terma adalah ajaran rahasia dari Guru Padmasambhava yang disembunyikan untuk dipraktikkan di generasi berikutnya. Dalam tradisi Karma Kagyu, praktik Mahakala ini dipadatkan dan kemudian menyebar luas.

Sejak era Karma Pakshi, Mahakala Bernagchen memulai hubungan yang sangat istimewa dengan para Karmapa, yang bertindak sebagai pelindung pribadi mereka. Karmapa terkenal karena melakukan tarian Mahakala selama rangkaian Festival Tahun Baru Tibet. Karena Mahakala Bernagchen dan para Karmapa dianggap tidak dapat dipisahkan, keduanya dianggap sebagai emanasi Avalokiteshvara.

Dikatakan bahwa Avalokiteshvara diwujudkan dalam bentuk kemurkaan ini untuk lebih bermanfaat bagi makhluk hidup pada zaman yang merosot ini. Mahakala Bernagchen digambarkan bertubuh gempal dan tinggi besar, tungkainya pendek tapi sangat kuat. Dia berwarna hitam dengan ekspresi muka yang galak. Ketiga matanya lebar dan menonjol melalui manifestasi welas kasihnya yang sengit. Mulutnya terbuka dengan senyuman murka dengan taring telanjang. Jenggot dan rambutnya yang berwarna oranye-kuning mengalir ke atas. Kuku kedua tangan dan kakinya panjang, dan tajam.

Di tangan kanannya yang terangkat, dia mengacungkan kartika (semacam kapak belati) yang melengkung yang memiliki pegangan vajra, yang melambangkan pemotongan Tiga Racun (lobha-dosa-moha). Di tangan kirinya, ia memegang piala tengkorak yang berisi darah. Dia memakai mahkota dengan lima tengkorak kering, mewakili Lima Dhyani Buddha. Di telinganya ada anting dan di lehernya ada rangkaian kepala manusia yang baru saja dipotong. Sesuatu yang khas yang dipakainya adalah adalah jubah hitam berat yang pakai. Dia dikelilingi oleh api kebijaksanaan dan dia menginjak mayat manusia, simbolis kematian semua karma, delusi, dan rintangan yang memungkinkan perjalanan menuju pencerahan yang sempurna.

Legenda

Kisah Mahakala Bernagchen yang paling terkenal adalah relasinya dengan Karmapa Kedua, Karma Pakshi.

Dikisahkan, kaisar terkenal dari Dinasti Yuan Tiongkok, Kubilai Khan, menggantikan saudaranya Mongke (Munga), yang sebelumnya menjadi murid dari Karmapa Kedua. Karmapa sebelumnya sering diundang Mongke Khan mengunjungi istana kaisar untuk menjadi penasihat spiritual, namun tidak pernah menetap di sana.

Beberapa tahun berikutnya, Karmapa kembali diundang ke istana Kaisar Tongkok oleh Kubilai Khan, dan ia meminta Karmapa untuk tinggal permanen di istananya. Namun Karmapa menolak untuk menghindari friksi dengan aliran Shakya yang sudah memiliki pengaruh lebih besar di Mongol-Tiongkok. Merasa tawarannya ditolak, Kubilai Khan marah dan ingin membunuh Karmapa. Sang kaisar murka karena merasa diremehkan oleh Karmapa.

Perintah eksekusi kepada Karmapa diturunkan, dan Karmapa lalu diserbu oleh para prajurit sang kaisar.

Konon, Karmapa mampu membekukan (membuat tidak bergerak) satu unit batalyon yang terdiri dari 37.000 prajurit, dengan menggunakan kekuatan mudra, sambil sepanjang waktu memancarkan welas asih. Karmapa akhirnya membiarkan dirinya ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan, karena tahu bukan perlawanan yang akan menyebabkan Kubilai Khan berubah hatinya.

Para prajurit mereka mencoba meracuni Karmapa, namun racun sekuat apa pun tidak mampu mempengaruhinya. Mereka mencoba membakarnya, dan mencoba menjatuhkannya dari tepi jurang. Tapi Karmapa baik-baik saja, karena menyatu dengan kekuatan mistik Avalokiteshvara.

Lalu para prajurit mencoba mempermalukan Karmapa dengan cara mengikatnya berikut jenggotnya di tembok istana. Karmapa, yang penuh welas asih terhadap para prajurit yang menyiksanya, lantas memanggil pelindung pribadinya, Mahakala Bernagchen, untuk menolongnya.

Dikisahkan, Mahakala terlambat menolong, karena terlalu lambat memakai sepatu boot-nya. Menurut ikonografi Buddhadharma Tibetan, sepatu boot adalah simbol dari kecepatan gerak suatu dewata tertentu dalam membantu manusia.

Ketika Mahakala tiba untuk menolong, para penyiksa akhirnya menjadi tenang secara emosional, dan begitu pula Kaisar Khan. Tapi karena terikat sumpah sebagai pelindung, Mahakala secara simbolis harus memangkas kebodohan batin para prajurit. Ini diwujudkannya dengan menghantam tembok istana dengan kartika mistisnya. Ini yang konon membuat lekukan di istana kekaisaran yang masih bisa dilihat sampai hari ini.

Menurut legenda juga, Karmapa lantas memarahi Mahakala atas keterlambatannya ini, yang lalu membuat wajah Mahakala membesar hingga sepertiga ukuran tubuhnya. Dengan ini, ego dan keangkuhan Mahakala menghilang.

Sejak peristiwa itu, Mahakala tidak pernah lagi memakai sepatu boot. Mahakala sudah merealisasi kecepatan sekejap pikiran untuk membantu manusia. Dalam thangka (lukisan) atau rupang Mahakala Bernagchen, selalu terlihat wajahnya yang besar dan kakinya yang bercakar terlihat jelas karena tidak ditutupi boot. Dan semenjak saat itu juga, tidak ada Karmapa lain yang memelihara jenggot.

Karmapa Kedelapan, Mikyo Dorje (1507–1554), menulis doa khusus kepada Mahakala Bernagchen, yang dipakai untuk standar aliran Karma Kagyu sampai saat ini. Sadhana versi singkat kepada Mahakala Bernagchen itu bisa disimak dalam video di bawah ini:

[youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=nmrKUQKCmTM” width=”560″ height=”315″]

Deny Hermawan

Seorang penjelajah, bekerja sebagai jurnalis di Kota Gudeg, Jogja.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *