• Wednesday, 19 October 2016
  • Ngasiran
  • 0

Wonosobo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang sebagian besar wilayahnya adalah daerah pegunungan. Bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Temanggung, terdapat gunung berapi Sindoro dan Sumbing. Daerah utara merupakan dataran tinggi Dieng dengan puncak Gunung Prau, dan sebelah selatan terdapat Waduk Wadaslintang. Kabupaten Wonosobo terbagi atas 15 kecamatan, dan kalau dipetakan beberapa kecamatan di Wonosobo terdapat beberapa kecamatan yang terdapat komunitas agama Buddha.

Umat Buddha di Wonosobo pada umumnya terdapat di daerah-daerah pinggiran, yang jaraknya antar komunitas Buddha yang satu dengan yang lain cukup jauh. Kalau dijumlah secara keseluruhan ada 12 perkumpulan umat Buddha di Wonosobo dengan jumlah umat sekitar 600 jiwa, dengan 9 vihara dan beberapa perkumpulan yang hingga saat ini belum mempunyai vihara. Salah satu perkumpulan umat Buddha yang belum mempunyai vihara hingga saat ini adalah komunitas umat Buddha di Dusun Kepil, Desa Munggang, Kec. Tanjung Anom yang beberapa waktu lalu heboh karena terjadinya perpindahan umat Buddha secara besar-besaran ke agama lain.

Beberapa daerah yang terdapat umat Buddha adalah (1) Dusun Butuh, Kec. Kalikajar, (2) Dusun Sontonayan, Desa Kepencar, Kec. Kretek, (3) Desa Kaliputih, Kec. Selomerto, (4) Desa Kramatan, Kec. Wonosobo daerah kota, (5) Desa Buntu, Kec. Kejajar, (6) Desa Jlegong, Kec. Sukoharjo, (7) Desa Bangsari Kec. Selomerto, dan beberapa daerah yang terdapat perkumpulan umat Buddha namun belum mempunyai vihara, yaitu di (1) Kec. Kaliviro, (2) Desa Samabumi, Kec. Selomerto, (3) Desa Krakal, Kec. Kejajar, dan (4) Dusun Kepil, Kec. Tanjung Anom.

Dari berbagai daerah tersebut, hingga saat ini basis umat Buddha terbanyak berada di Dusun Butuh, Kec. Kalikajar. Di Dusun Butuh terdapat 2 vihara, salah satu vihara terletak di lereng Gunung Sumbing, yaitu Vihara Metta Buddha Sumbing. Vihara Metta Buddha Sumbing berdiri membelakangi Gunung Sumbing menghadap Gunung Sindoro. Vihara Metta Buddha Sumbing, hingga saat ini menjadi pusat kegiatan umat Buddha Wonosobo.

Munculnya agama Buddha di Dusun Butuh berawal dari perkumpulan masyarakat penghayat kepercayaan. Pada tahun 1993, Panglima TNI pada saat hari ABRI menyatakan bahwa semua penduduk Indonesia harus beragama, dan agama yang diakui pemeritah ada 5 yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Beberapa daerah yang lain juga memiliki sejarah yang hampir sama, namun beberapa daerah lain muncul lebih dulu, contohnya umat Buddha di Kec. Kaliwiro.

“Penghayat tidak termasuk agama yang diakui oleh pemerintah sehingga harus memilih salah satu agama dari 5 agama yang diakui. Namun saat itu kalau mau memilih agama sesuai KTP kok gak nyaman, sehingga 4 pimpinan penghayat –Pak Suharto, Pak Darmojo, Pak Joyo dan Pak Tekno Sutirto– berdiskusi untuk memilih salah satu agama,” ujar Subarno, tokoh agama Buddha Wonosobo.
Dari diskusi para tokoh tersebut kemudian menghasilkan keputusan untuk memilih salah satu agama, “Keputusannya, ada dua agama yang sesuai hati nurani para pimpinan kepercayaan, yaitu Hindu dan Buddha.”

Namun setelah mencari orang Hindu yang bisa mengajar ajaran Hindu, para tokoh tidak bisa menemukannya. Kemudian para tokoh bertemu dengan orang yang bisa mengajarkan agama Buddha, yaitu Karsiadi dari Kecamatan Kaliwiro. Maka pada tahun 1994, masyarakat Dusun Butuh dan Sontonayan menyatakan diri menjadi agama Buddha di bawah bimbingan Karsiadi (alm).

Setahun kemudian pada tahun 1995, umat Buddha mendirikan vihara yang diberi nama Vihara Vijaya Bumi. Namun perkembangan umat Buddha Dusun Butuh tidak begitu mulus, di mana dalam perkembangannya sempat diterpa konflik internal. Setelah meninggalnya Karsiadi pada tahun 1996, umat Buddha Dusun Butuh mengalami perpecahan yang diakibatkan empat orang tokoh perintis agama Buddha berbeda pandangan.

“Setelah Pak Karsiadi meninggal, otomatis yang meneruskan pembinaan adalah orang terdekat, yaitu empat tokoh tersebut di atas, namun mereka berbeda pandangan sehingga mengakibatkan perpecahan di internal umat Buddha sendiri. Dan konflik ini berakibat cukup fatal, antar kelompok yang berbeda yang pada awalnya rukun menjadi tidak rukun, dan Vihara Metta Buddha Sumbing ini berdiri juga akibat dari konflik ini,” jelas Subarno.

Namun konflik tersebut berangsur-angsur mereda ketika anak-anak muda melakukan kegiatan-kegiatan bersama, tidak memandang kelompok. Dan kegiatan-kegiatan keagamaan Buddha yang berskala kabupaten (Wonosobo) selalu diadakan di Dusun Butuh, sehingga bisa meredakan konflik tersebut.

20161019-umat-buddha-di-lereng-gunung-sumbing-sulit-dijangkau-dan-minim-pembinaan-2 20161019-umat-buddha-di-lereng-gunung-sumbing-sulit-dijangkau-dan-minim-pembinaan-3

Tantangan Pembinaan: Jarak dan Kondisi Jalan
“Sejauh ini yang melakukan pembinaan umat Buddha Wonosobo hanya Romo-romo Buddhayana dan beberapa dari Sangha. Dari pemerintahan sendiri sangat jarang. Sejauh yang saya tahu, Pembimas Buddha Jateng yang sekarang datang ke Wonosobo hanya ketika ada masalah di Kepil,” ujar Subarno.

Untuk mengetahui kondisi umat Buddha Wonosobo, BuddhaZine beberapa waktu lalu berkunjung ke Wonosobo dan mengikuti kegiatan Suyikno, salah satu Abdi Desa Ehipassiko Foundation yang bertugas melakukan pembinaan umat Buddha di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Dari tempat tinggal Suyikno sampai ke Dusun Butuh memerlukan waktu satu jam perjalanan melewati jalan tegalan dan pedesaan yang rusaknya sudah parah.

“Ini belum seberapa jauhnya. Kalau ke Dusun Kepil, Desa Munggang lebih jauh lagi dan melewati hutan. Kalau pas pembinaan sampai malam, kadang saya harus minta diantar ke jalan raya oleh umat setempat karena takut,” ujar Suyikno.

Suyikno mengakui, sebelum ia melakukan pembinaan, terutama sekolah minggu masih kurang perhatian. Buku-buku sekolah minggu sangat kurang dan kusam. Kegiatan sekolah minggu juga sangat tidak maksimal. “Saya sendiri kalau bukan karena cinta sekali dengan agama Buddha, mungkin tidak mau repot-repot seperti ini. Apalagi ketika musim hujan, harus hujan-hujanan dengan jarak tempuh yang sangat jauh,” paparnya.

“Tak jarang ketika musim hujan, habis melakukan pembinaan di daerah lereng Sumbing langsung flu,” pungkasnya.

Sementara Subarno mengakui, dengan adanya Suyikno sangat membantu pembinaan terutama bagi anak-anak sekolah minggu dan remaja. Untuk pendidikan umat Buddha Wonosobo khususnya yang daerah pegunungan, memang masih sangat kurang. “Saat ini pendidikan umat Buddha di sini paling tinggi SMA, untuk yang sarjana masih belum ada,” jelas Subarno.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *