• Saturday, 29 April 2017
  • Ngasiran
  • 0

Astakosala Volk sebuah grup musik kontemporer asal Solo menggelar pentas di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta. Kalau biasanya syair-syair kakawin khususnya di Bali, mocopat di Jawa, itu disajikan dengan alat musik tradisional, gamelan dan lain-lain, Astakosala mencoba menggunakan pendekatan yang berbeda, instrumen modern supaya lebih akrab di telinga anak muda.

“Astakosala merupakan kelompok pemain musik, syairnya yang diolah 80% adalah kakawin Jawa Kuno yang saat ini sudah jarang ada orang yang mengenal apa itu kakawin. Paling hanya para filolog, akademisi atau pengamat sastra Jawa Kuno saja yang mengenal,” ujar Andre Sam mengawali pentas Sabtu, (8/04).

“Kemasannya alat-alat modern, alasannya sederhana karena kami tidak terampil main gamelan. Selain itu, telinga masyarakat saat ini khususnya anak muda gampang menerima nada-nada musik modern. Musiknya modern tapi syair atau kontennya sastra Jawa Kuno. Prosesnya kita lebih sering ke alam ataupun candi. Teman-teman yang mengolah musik ketika ke alam lebih banyak mendengarkan suara-suara alam. Tentu ditambah meditasi,” jelas Andre Sam.

Grup musik beraliran New Age menampilkan 12 lagu terbaik Astakosala seperti Banawa Sekar, Lir Ilir, Sarasvati dan Rahina Mijil. Tema yang diangkat adalah Rahina Mijil, merupakan bahasa Jawa Kuno serapan dari Sanskerta. “Rahina (hari), Mijil (Lahir/tumbuh). Jadi kalau diterjemahkan secara bebas Rahina Mijil adalah hari menyambut pagi,” terangnya.

Kakawin

Teks Rahina Mijil terdapat dalam Kakawin Siwaratikalpa karya Mpu Tanakung abad XV. “Mpu Tanakung ini adalah seorang tokoh Siwa-buddha. Tan berarti tanpa, akung bermakna kekasih. Sehingga berdasarkan nama, kemungkinan beliau hidup selibat atau bhiksuka,” imbuhnya.

Selain pentas, dalam acara ini juga digelar diskusi budaya dengan menghadirkan Bramantyo Prijosusilo sebagai pembicara. Menurut Bramantyo, karya sastra dan seni kuno bukan ekspresi pribadi, semua adalah bentuk puja dan sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Setiap ada pementasan, baik musik, teater, adu jago dan lain-lain itu orang Jawa dulu meyakini para leluhur, Para Dewa hadir. Kita harus menghargai karya itu melalui penghayatannya,” terangnya yang saat ini tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

Bram memberi contoh, “Sabung ayam itu bagi nenek moyang kita bisa menjadi aktivitas pemujaan apabila dilakukan dengan totalitas. Nilai ini mungkin yang bisa diekspresikan kembali, nilai ini yang harusnya dapat dirasakan. Apabila ini bisa digali dan dirasakan saya rasa ekspresi musiknya akan berbeda meskipun tidak mudah.”

“Gamelan itu bukan alat ekpresi musik pribadi, tidak seperti gitar, piano, bass, atau alat musik modern lain. Gamelan itu hampir setiap instrumennya tidak bisa dimainkan secara solo, gong itu tidak bisa dimainkan sendiri,” jelasnya.

Astakosala Volk Astakosala Volk Astakosala Volk

Dialektika

Mengambil suatu nilai dari masa lalu harus ada urgensinya, bukan sekedar nguri-uri masa lalu tetapi bisa digunakan untuk kehidupan yang lebih baik. Contohnya nilai tentang harmoni, kesenian tradisi Jawa yang paling sederhana misalnya nyanyian untuk mengendalikan kerbau. “Uro-uro, nyanyian untuk orang membajak sawah guna menggiring dan menenangkan kerbau. Ini tidak ada lagu baku seperti mocopat, terserah yang menyanyi kata-katanya pun terserah yang menyanyi kalau belok kiri her-her-her kalau belok kanan giyok-giyok-giyok. Kerbau itu sangat sensitif, dan sangat berbahaya serta susah diatasi kalau sudah ngamuk.”

Menangapi pertanyaan dan kritikan dari Bramantyo, Andre Sam sebagai orang yang memilih dan memilah syair-syair kakawin menyampaikan bahwa menelusuri teks-teks Jawa Kuno tidak mudah. “Untuk mendapatkan Kakawin Mpu Tanakung misalnya, ini juga kebetulan dalam tanda kutip. Saya dapat kiriman dalam bentuk hard cover yang isinya Kakawin Sawaratrikalpa, sangat susah carinya dokumen ini, kalaupun ada itu di Bali dalam daun lontar. Belum lagi bahasanya Jawa Kuno dan bahasa Bali. Saya nggak ngerti bacanya. Untunglah buku tersebut sudah diterjemahkan oleh A. Teeuw, S.O. Robson, Th. P. Galestin, P.J. Worsely, dan P.J. Zoetmulder.

“Kami sendiri percaya bahwasanya hidup penuh dengan dialektika. Tanpa dialektika tak kan mungkin sebuah sintesa mampu dilahirkan. Kami mencoba mendekati leluhur dengan jalan kontemporer, sementara Mas Bram dari Kraton Ngiyom menawarkan pendekatan tradisi; sebuah tawaran yang juga tak bisa dipandang sebelah mata.

“Semoga tawaran kontemporer kami mampu mengisi kekosongan ruang tradisi dan kiranya pendekatan tradisi yang ditawarkan dapat mengukuhkan dasar perjalanan. Pastinya leluhur tanah Jawa (a.k.a Nusantara) tetap dapat berbangga pada anak cucunya, terlepas dari apa aliran ataupun jalan tempuh yang digunakan untuk nguri-nguri kabudayan lan kapitayan dalam keseharian hidup, selama masih menjunjung tinggi toleransi dan adab kemanusiaan. Matur nuwun,” tutup Andre Sam.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *