• Saturday, 10 June 2017
  • Andre Sam
  • 0

Pendeta Siwa dan pendeta Buddha sedang melangsungkan puja dengan mantram-mantram suci.”

Tantu Pagelaran atau Tangtu Panggelaran adalah kitab Jawa kuno berbahasa Kawi yang berasal dari masa Majapahit sekitar abad ke-15. Kitab ini berkisah tentang mitos asal mula Pulau Jawa. Kitab ini menguraikan kehidupan masyarakat Majapahit akhir, era Siwa Buddha melalui berbagai mitos dan kehidupan mandala, petapaan, dan karsyan yang diakui oleh pemeluk Hindu Siwa dan Buddha di Tanah Jawa pada masa Jawa kuno.

Dalam kitab tersebut menjelaskan bahwa sejatinya para pendeta Siwa dan Buddha sesungguhnya berasal dari Mpu Mahapalyat, penjelmaan Bhatara Guru. Dalam hal ini Bhatara Guru bukanlah Siwa, tetapi merupakan konsep adikodrati asli Jawa sebelum kedatangan kebudayaan India.

Kitab tersebut menjelaskan sebagai berikut:

Kahucapa ta Mpu Mahapalyat, mantuk ta sira maring nusa Jawa Pinalihnira ta sariranira matmahan ta saiwa sogata, mangaran sira Mpu Barang, sira Mpu Waluh(-bang. Sira mpu) Barang sewapaksa, (sira Mpu Waluh-bang [sogatapaksa]. Jag les, prapti sireng nusa Jawa); dumunung ta sira ring Girah, menganaken ta sira patapan ring Hanggirah, [srampu (Barang lan sirampu) Waluh-bang])”.“Pigeaud 1924: 109”

Terjemahannya:

“Tersebutlah Mpu Mahapalyat. Kembalilah dia ke Nusa Jawa. Dibelahlah tubuhnya, jadilah Saiwa-Sogata, bernama Mpu Barang dan Mpu Waluh-bang. Mpu Barang memeluk aliran Sewapaksa (Siwa), Mpu Waluh-bang memeluk aliran Sogatapaksa (Buddha). Sekejap, tiba di Pulau Jawa (Mpu Mahapalyat) tinggal di Girah. Mpu Barang dan Waluh Bang mengadakan pertapaan di Hanggirah.”

Tantu Panggelaran menguraikan juga bahwa Mpu Barang dan Mpu Waluh-bang kemudian mencari murid dan pengikut. Mpu Waluh-bang pergi ke arah barat dan mendirikan perkampungan di Warag, sedangkan Mpu Barang ke timur mengunjungi ksetra-ksetra (perkuburan atau tempat kremasi jenazah).

Mpu Barang membangun petapaan di Kalyasem di lereng Gunung Hyang (Iyang). Tempat itu merupakan ksetra yang ramai, tempat penduduk sebelah timur dan utara Gunung Iyang mengadakan upacara kremasi jenazah. Mpu Barang mengembangkan aliran Saiwa-Bhairawa, memuja Siwa dalam wujud yang mengerikan: memakan mayat manusia (Pigeaud, 1924: 112).

Di samping itu masih terdapat beberapa karya sastra yang menyebutkan bahwa Saiwa-tattwa dan Bodda-tattwa sebenarnya sama. Konflik dan persaingan bisa terjadi di antara keduanya, namun bertujuan untuk keseimbangan alam kehidupan manusia. Kutipan beberapa karya sastra Jawa kuno tersebut sejatinya untuk menegaskan penyetaraan Siwa-Buddha terdapat dalam beberapa aspek kebudayaan sezaman dan berlangsung hingga babakan akhir Majapahit. (dbs)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *