Jelajah ke Situs Kayumwungan. Mendung masih menutup langit meski hujan sudah reda. Pejalanan memakan waktu sekitar 20 menit menggunakan mobil dari Gondosuli sampai ke Mergowati.
Lagi-lagi Mbah Gun harus menjelaskan berbagai hal seputar situs yang baru dikunjungi, kami menempuh perjalanan menuju situs yang akan dikunjungi sembari ngobrol.
Suasana begitu cair, apalagi di mobil kami bertambah seorang Perancis yang tak bisa berbahasa Indonesia, apalagi berbabahasa Jawa. Mbah Gun harus menjelaskan dengan dua bahasa, sesekali Ludivine berseloroh “Bagus”, mungkin hanya kata itu yang dia bisa.
“Kayumwungan ada di bukit itu,” Mbah Gun menunjuk sebuah bukit. Situs-situs candi di Temanggung rata-rata berada di atas bukit. Sebut saja Situs Argapuro yang berada Desa Sigedong, Kecamatan Tretep, situs ini tepat di tengah gundukan tanah, Situs Gumuk Candi yang tidak jauh dari Kayumwungan.
Hal ini mengingatkan percakapan kami dengan Flo, seorang warga negara Perancis yang kami temui beberapa waktu sebelumnya. “Kalau saya lihat bukit-bukit di Temanggung itu seperti bukan bukit sungguhan,” begitu ujarnya. Mungkin yang dimaksud bukit-bukit di Temanggung adalah gundukan tanah berisi situs-situs candi.
Mengenai ini Mbah Gun mempunyai pendapat berbeda. Itu mungkin bukit alam, namun ada dugaan tentang tujuan pembuatan bukit alam ini. Ada dugaan pembuatan ini bukan hanya untuk pemujaan bisa, tapi juga untuk pertahanan pada masa lalu.”
Perbincangan di atas mobil masih menarik, tetapi kami sudah sampai di Situs Kayumwungan. Situs Kayumwungan dikenal juga dengan nama Situs Mergowati. Di situs ini ditemukan prasasti Kayumwungan.
Di situs Kayumwungan
Prasasti Kayumwungan tertulis dalam dua bahasa yakni Sanskerta dan Jawa Kuno. Bagian Sanskerta berisi tentang seorang raja bernama Samaratungga. Anaknya bernama Pramodawardhani yang mendirikan bangunan suci Jinalaya yang bernama Wenuwana untuk menempatkan abu jenazah ‘raja mega’, sebutan untuk Dewa Indra. Mungkin yang dimaksud adalah Raja Indra dari keluarga Syailendra.
Bagian Jawa Kuno menyebutkan bahwa pada 10 Kresnapaksa bulan Jyestha tahun 746 Saka atau 824 Masehi, Rakai Patapan pu Palar meresmikan tanah sawah di Kayumwungan menjadi perdikan (daerah bebas pajak kerajaan).
Sri Maharaja Samarottungga, atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja Sriwijaya dari Wangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792-835 M.
Relief Gajah di Situs Kayumwungan, hampir tidak kelihatan karena disemen
Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Sriwijaya lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825 M, ia bersama seluruh masyarakat menyelesaikan pembangunan Candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Nusantara.
Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris takhta, Balaputradewa dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.
Karena ini menurut Mbah Gun Prasasti Kayumwungan dihubungkan dengan Candi Borobudur. “Kasparis kemudian menambahkan kata-kata Kamulan ini menjadi Kamulan I Bumisambara Buddhara yang kemudian lebih kita kenal dengan nama Borobudur.”
Kondisi situs sudah berubah total. Banyak ornamen baru, ornanen khas Bali, dan batu-batu lawas, dihias dengan cat mewarnai situs ini. Bahkan situs candi yang awalnya dikenal dengan nama Situs Mergowati (nama daerah tempat ditemukannya prasasti Kayumwungan) berubah nama menjadi Situs Kencono Wungu.
Temuan batu kuno situs kayumwungan, saat ini masih berada didalam tanah
Menurut Kang Candra, karena bukit situs sudah dibeli oleh seorang penganut spiritual. “Sekarang menjadi Situs Kencono Wungu karena oleh seorang penganut spiritual melihat penampakan di hutan Ngawi atau di mana itulah daerah Jawa Timur. Hubungannya apa, saya juga bingung.”
“Yang jelas di sini ada struktur bata lama, di pojok sana juga dan di dalam ada relief gajah, yang lain pindahan semua gak tau dari mana. Yang jelas dulu pernah ditemukan Prasasti Kayumwungan yang oleh beberapa sarjana dihubungkan dengan Borobudur,” tambahnya.
Batu tua di situs kayumwungan saat ini masih berada di dalam tanah
Akhirnya… Makan siang datang terlambat cukup lama. Meskipun begitu, menu makanan khas Temanggung, nasi megono dan nasi jagung dengan segala lauk-pauknya menjadi santapan yang mantap sebelum melanjutkan perjalanan ke Situs Gumuk Candi.
Ngasiran
Penikmat kopi dan rokok. Jurnalis BuddhaZine. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.
Dapat dijumpai di Fb: ryan.nalla dan IG: ngasiranry
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara