• Sunday, 21 July 2019
  • Victor A Liem
  • 0

“Bisa jadi keramahan orang-orang Indonesia adalah berkat ajaran welas asih yang dulu tersebar luas dan banyak dipraktikkan di Nusantara, sehingga mereka mengembangkan hati yang baik dan menurunkannya ke generasi-generasi berikutnya,” Dagpo Rinpoche.

Salah satu nilai budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia terutama di daerah adalah keramahan. Orang asing yang berwisata ke Indonesia selalu terkesan dengan kesopanan dan keramahan terutama dalam menyambut orang lain.

Dalam bercengkerama atau bertemu dengan sahabat lama selalu menanyakan keadaan orang lain, kondisi orangtua, saudara, dan lain sebagainya sebelum mengutarakan maksud. Keramahan seperti ini dipengaruhi oleh ajaran welas asih.

Dalam banyak candi di Nusantara, banyak ditemukan arca bodhisattwa Avalokiteshvara yang merupakan perwujudan welas asih semua Buddha. Welas asih merupakan pendukung terhadap penghimpunan kebajikan yang luas, yang merupakan salah satu faktor pencapaian Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna.

Welas asih yang menjadi intisari Avalokiteshvara merupakan ajaran yang banyak dipraktikkan di Nusantara pada zaman Sriwijaya. Bahkan pada zaman itu, hidup seorang guru agung bernama Serlingpa Dharmakirti yang menjadi pemegang silsilah ajaran mengenai welas asih (bodhicitta).

Baca juga: Berdamai dengan Diri Sendiri

Menurut sejarah, Atisha (982-1054) berguru pada Serlingpa Dharmakirti atau Dharmakirti Suvarnadvipa di Nusantara, tepatnya di Sumatera pada era Sriwijaya. Atisha tinggal bersama Serlingpa selama 12 tahun sebelum kembali ke India dan mengajar di Tibet.

Salah satu ajaran Serlingpa yang paling menonjol adalah mengenai bodhicitta. Metode latihan transformasi pikiran merupakan hal yang unik dan memengaruhi perkembangan agama Buddha di Tibet. Jadi pandangan Dagpo Rinpoche mengenai keramahan orang Indonesia sebagai peninggalan ajaran welas asih bukan tanpa alasan.

Kita bisa melacak dan menggali lebih dalam ajaran welas asih (karuna) yang mewujud menjadi keramahan leluhur Nusantara. Salah satu jejak peninggalan ajaran ini adalah kata “terima kasih”.

Kata “terima kasih” terdiri dari dua kata, yaitu “terima” dan “kasih”. Kata ini memiliki makna yang bukan sekadar ucapan basa-basi atau normatif agar bisa diterima orang lain dan lingkungan sekitar. Kata “terima” lebih pada kepekaan dalam menerima apa pun juga. Dan kata “kasih” artinya welas asih. Umumnya ucapan terima kasih dipahami sebagai ungkapan menerima perilaku baik dari orang lain. Namun jika diperhatikan lebih dalam, terima kasih merupakan wujud kepekaan diri dan mentransformasinya menjadi welas asih.

Terima kasih

Mengucapkan terima kasih dengan tulus dan disertai rasa akan bermanfaat bagi perkembangan batin. Kebiasaan mengucapkan terima kasih bisa membuat batin kita mekar atau berkembang, dan membuat keseharian kita semakin damai dan tenteram. Sama seperti ajaran bodhicitta, dengan berterima kasih, kita sebenarnya mengalahkan Sang Aku. Banyak ajaran Jawa yang mengajarkan sifat sabar, nrimo, dan tresno.

Dengan bersabar, kita lebih peka dengan keadaan sehingga hal apa pun bisa diterima (nrimo). Semua permasalahan diterima dan dirangkul seperti sahabat, itu artinya bertransformasi menjadi welas asih. Kualitas welas asih diungkapkan dalam ungkapan Jawa “tresna lan asih marang opo lan sopo wae”, kasih sayang pada apa dan siapa pun.

Secara praktis ada salah satu ciri khas Vajrayana adalah teknik visualisasi pada objek yang dipuja (Istadevata). Pada tahap pengembangan, dengan memvisualisasikan diri sosok tertentu, misalkan Avalokiteshvara, pikiran yang berpusat pada ego ditransformasi menjadi welas asih dan kebijaksanaan.

Selama lebih dari seribu tahun metode ini mampu mengatasi masalah ego yang mementingkan diri, emosi yang tidak stabil, dan sifat yang agresif.

Lebih jauh, sifat welas asih yang dikembangkan akan mendukung pada realisasi diri. Yang Mulia Karmapa dalam aspirasi Ajaran Mahamudra menyatakan bahwa tepat pada saat laku welas kasih muncul, maka kesunyataan gamblang terlihat dengan sendirinya. Laku spiritual dalam sifat yang tenang, damai, dan tidak melekati ego, itu memudahkan kesadaran kita untuk melihat ke dalam dan akhirnya melihat diri sejatinya.

Ajaran Atisha yang didapat dari Serlingpa disusun oleh Chekawa Yeshe Dorje (1101-1175) dalam teks latihan pikiran (lojong) menjadi delapan bait transformasi pikiran. Delapan bait itu adalah:

1. Dengan bertekad demi manfaat sebesar-besarnya pada semua makhluk, yang lebih berharga dari permata pengabul harapan, aku akan memegangnya paling berharga setiap saat.

2. Ketika bersama orang lain, aku akan selalu menganggap diri ini sebagai yang terendah dari semuanya, dan dari lubuk hati yang paling dalam, aku meletakkan orang lain sebagai yang tertinggi.

3. Menyadari, saat khayalan muncul di pikiran, membahayakan diri sendiri dan orang lain, aku akan menghadapi dan menghindarinya tanpa penundaan.

4. Setiap kali aku melihat makhluk jahat dan diliputi oleh tindakan negatif dan penderitaan, aku akan menyayangi mereka, seolah-olah menemukan harta yang berharga.

5. Ketika, karena iri hati, orang lain menganiaya diriku dengan melecehkan, menghina, atau sejenisnya, aku akan menerimanya dan memberi kemenangan kepadanya.

6. Ketika seseorang yang telah aku harapkan dan menyakitiku, aku akan menganggap orang itu sebagai guru suci.

7. Singkatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, aku mempersembahkan kebahagiaan dan manfaat bagi semua mahkluk yang pernah menjadi ibu. Dengan diam-diam aku akan menebus semua rasa sakit dan penderitaan mereka.

8. Dengan tidak ternoda oleh delapan kondisi duniawi, semoga aku menyadari semua fenomena ini sebagai ilusi, tidak melekat dan bebas dari keterikatan.

Apabila kita perhatikan delapan bait transformasi pikiran di atas memiliki kesamaan dalam laku spiritual Jawa. Kesamaannya dengan Vajrayana bukan kebetulan, karena memang ajaran welas asih sudah memasuki sanubari leluhur Nusantara. Inti dari transformasi pikiran adalah menerima segalanya dan mentransformasikannya dalam welas asih.

Pentingnya suatu ajaran mesti meresap dan membentuk tradisi dan budaya yang mempengaruhi banyak orang yang didalamnya. Ajaran tersebut bisa berupa agama, seperti ajaran welas asih sebagai penekanan aspek bodhicitta dalam Vajrayana. Namun agama itu hanya sarana mengungkapkan nilai yang universal.

Ketika silsilah agama itu lenyap di nusantara dan hanya menyisakan bukti peninggalan candi, namun sebenarnya ajaran itu tidak lenyap sepenuhnya. Secara turun-menurun, kita masih bisa mengenalinya seperti praktik mengucapkan terima kasih. Praktik terima kasih adalah salah satu poin penting dalam transformasi pikiran dalam ajaran Atisha yang didapatkan dari Serlingpa Dharmakirti.

Victor Alexander Liem 

Desainer batik tulis. Tinggal di Kudus, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *