• Wednesday, 17 January 2018
  • Ngasiran
  • 0

“Sebagai petani, kami tidak bisa menghindar dari membunuh makhluk hidup. Ketika tanaman diserang hama, mau tidak mau harus kami semprot dengan pestisida. Sementara dalam agama Buddha sila pertama Pancasila Buddhis jelas menyebutkan untuk menghindari pembunuhan.

“Lalu apa yang harus kami lakukan supaya kami bisa tetap hidup tanpa membunuh menurut agama Buddha? Apakah agama Buddha tidak cocok untuk kehidupan seorang petani?”

Pertanyaan ini muncul sekitar 20 tahun lalu dalam sebuah diskusi Dhamma Patria Jepara. Saya ingat persis, saat itu saya masih duduk di sekolah dasar dan aktif mengikuti pertemuan rutin leginan (Minggu Legi) di sebuah vihara desa.

Pemateri pun menjawab dengan bercerita: ada seorang petani yang merawat tanaman dari serangan hama dengan membaca Paritta mengelilingi ladang sawahnya. Dan itu berhasil, tanaman padinya bisa terhindar dari serangan hama tikus, wereng, dan hama lainya. Sebuah keajaiban!

Baca juga: Jejak Bhikkhu Narada Menyapa Suku Samin

Sekitar 15 tahun kemudian, pertanyaan ini kembali muncul di acara Dhamma Talk di Vihara Mendut, Kota Mungkid, Magelang. Tidak tanggung-tanggung, seorang pembicara Buddhis tersohor didatangkan dari Jakarta untuk mengisi sesi Dhamma Talk acara Athasila dan perayaan Asadha Agung itu waktu itu.

Tetapi yang mengherankan, dalam menjawab pertanyaan yang telah muncul puluhan tahun lalu masih sama. Cerita petani yang sukses melindungi tanamannya dari hama dengan membacakan Paritta mengelilingi sawahnya masih diulang.

Ironis! Agama Buddha yang disebut Albert Einstein sebagai ajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman seakan omong kosong belaka. Padahal di beberapa kesempatan, kata-kata Albert Einstein ini dipuja layaknya Dewa oleh umat Buddha.

Belajar pertanian dari Thailand

Umat Buddha di Indonesia khususnya di Jawa Tengah rata-rata masyarakat yang tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani dan merawat ternak; kebanyakan sapi dan kambing. Selain sebagai tabungan yang bisa dijual sewaktu-waktu, kotoran ternak penting untuk dijadikan pupuk tanaman.

“Larangan” membunuh kadang menjadi dilema tersendiri bagi kehidupan petani. Ada beberapa petani yang mengatakan bahwa Buddhadharma hanya cocok untuk dijalankan oleh para samana yang dalam vinaya tidak diperkenankan untuk bercocok tanam.

Tetapi, coba kita berkaca pada Thailand. Negeri gajah putih yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, kalau tidak mau disebut sebagai negara Buddhis ini mempunyai sistem pertanian paling maju di dunia. Saya sendiri belum pernah ke Thailand, pengetahuan saya hanya sebatas bacaan dari artikel dan beberapa hasil riset dari internet.

Baca juga: Bertani Sembari Meditasi

Sebuah penelitian menyebutkan Thailand saat ini adalah pengekspor terbesar produk pertanian dunia. Bahkan perekonomian Thailand tergantung di sektor ini, 60% dari angkatan kerja Thailand juga bekerja di sektor pertanian.

Bukan hanya kuantitas, negara dengan luas tidak lebih dari pulau Sumatera ini pun tercatat sebagai pengekspor produk pertanian dengan kualitas unggulan.

Tanaman sayur di Thailand juga menggunakan sistem hidroponik untuk menghemat lahan. Untuk menanggulangi hama ulat mereka akan membuka jaring penutup tanaman, selanjutnya burung-burung akan memakan ulat-ulat tersebut.

Pola monokultur, pembatasan spesies tanaman. Contoh; padi dibatasi hanya 3 spesies, durian 2 spesies dan asem jawa manis hanya 1 spesies, sedangkan spesies lain yang tidak diharapkan, tidak boleh ditanam dan hanya boleh hidup di kebun-kebun percobaan atau menjadi koleksi lembaga riset.

Pola monokultur ini memberi keseragaman output, memudahkan penanganan pasca panen. Meningkatkan daya saing ekspor dan mengendalikan penyakit tanaman.

Penanaman padi: penanaman organik pengertian singkatnya di tataran praktis adalah penggunaan input-input alami seperti kompos, bakteri pengurai, dan pembenah tanah, dan sebagai pengendali hama/penyakit dengan menghindari sama sekali bahan kimia buatan.

Mengapa umat Buddha Indonesia tidak bisa belajar dari Thailand? Bukankah umat Buddha Indonesia mempunyai hubungan baik dengan Thailand?

Bukankah Thailand menjadi tujuan belajar para bhikkhu-bhikkhu Indonesia saat ini? Bukankah Thailand juga menjadi salah satu tujuan wisata umat Buddha Indonesia?

Mengapa tidak sedikit belajar soal pertanian dan digunakan untuk membina, minimal menjawab dengan logis ketika ada pertanyaan tentang pertanian dan tidak mengulang-ulang jawaban dua puluh tahun lalu? Bebalkah?

Ngasiran

Penikmat kopi, sehari-hari bekerja sebagai tukang ngarit, dan jurnalis BuddhaZine, tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *