• Wednesday, 6 June 2018
  • Ngasiran
  • 0

“Kang, Waisak kamu liputan ke Blitar ya, saya mendapat kabar bahwa Hari Waisak tidak hanya dirayakan oleh umat Buddha di sana,” begitu kira-kira pesan whatsapp Kang Sutar Soemitro, Pemimpin Redaksi BuddhaZine sekitar tiga bulan lalu.

Tak ada negosiasi, mendapat tugas dari bos, saya harus berangkat meskipun sebagai penganut Buddhis saya juga turut merayakan Waisak. “Ibadah Waisak bisa dilakukan di mana saja,” pikir saya. Senin, (28/5) pukul 00.05 saya dan Junarsih (reporter baru BuddhaZine) berangkat menggunakan kereta api dari Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Menuju Desa Boro, desa Bhinneka Tunggal Ika

Perjalanan memakan waktu sekitar enam jam untuk sampai di Stasiun Wlingi, Blitar. Sekitar pukul enam pagi kami dijemput di Stasiun Wlingi oleh Mas Edi, pemuda Buddhis Blitar yang bekerja sebagai sopir vihara. Di perjalanan, Mas Edi bercerita tentang banyak hal seputar umat Buddha Blitar. Dua puluh menit berlalu sejak kami meninggalkan Stasiun Wlingi, obrolan terpaksa terhenti saat kami memasuki Desa Boro, Kecamatan Selorejo.

Memasuki desa ini, jalanan tampak ramai dengan umbul-umbul berbagai warna. “Ini apa Mas?” tanya saya ke Mas Edi. “Kita sudah masuk Desa Boro Mas, bendera-bendera ini dipasang sebagai tanda ada peringatan hari raya,” jawabnya. Umbul-umbul berbagai warna terpasang di sepanjang jalan dan di depan rumah-rumah warga.

Bendera Buddhis dengan perpaduan warna biru, kuning, merah, putih, dan jingga, warna ungu dengan tanda salib sebagai simbol umat Kristiani, dan warna bendera dengan warna hijau sebagai simbol umat Islam, membuat desa Boro tampak meriah. “Umbul-umbul ini simbol yang menunjukkan agama yang dianut oleh pemilik rumah Mas. Bendera Buddhis menunjukkan bahwa itu rumah orang Buddha, ungu rumah orang Kristiani, dan hijau rumah orang Muslim,”

“Lha bagaimana kalau satu rumah penghuninya lebih dari satu agama?”, tanya saya. “Ya umbul-umbulnya ada dua, seperti rumah saya,” jawab Mas Edi sambil tertawa lepas. Menarik! Sayang perbincangan kembali harus terhenti, kami telah sampai di Vihara Buddhasasana Jaya. Di vihara ini kami akan tinggal untuk tiga hari.

Setelah turun dari mobil, kami sempatkan foto-foto pemandangan indah ini, sebelum membawa rasa penasaran kami istirahat. Junarsih tinggal di sebuah kamar dekat vihara bersama dua orang athasilani (perempuan yang menjalankan delapan sila Buddhis), sementara saya ditempatkan di sebuah pondok yang terletak di bawah vihara, dekat dengan ladang.

Melihat langsung contoh nyata praktik toleransi

Mengumpulkan remah-remah cerita, sampai di pondok saya langsung terlelap selama beberapa jam hingga makan siang. Setelah makan siang, kami berjalan ke sebuah pondok meditasi, Phuntuk Ayem. Phuntuk Ayem berada tak jauh dari vihara. Di sini terdapat sebuah pendopo tempat pemujaan agama Buddha dan beberapa pondok kecil tempat bertapa para bhikkhu.

Tak lama setelah kami, kedua athasilani datang ke Phuntuk Ayem. Mereka adalah athasilani yang sedang menempuh pendidikan di STAB Kertarajasa, Batu, Malang. Seperti biasa, pada saat perayaan Waisak, athasilani dan samanera akan dikirim ke berbagai vihara untuk membantu hingga memimpin pujabakti umat Buddha, begitu juga dengan mereka yang datang ke Vihara Buddhasasana Jaya.

Siang itu, mereka pun bercerita kepada kami tentang kekagumanya pada masyarakat Desa Boro. “Di sini, selain umat Buddhanya guyup, masyarakatnya juga sangat toleran. Saya dengar dari pengurus vihara tadi kalau pujabhakti detik-detik Waisak akan dilaksanakan dini hari, karena kalau malam sudah sibuk di rumah masing-masing untuk menerima tamu,” tuturnya.

Kami habiskan waktu di Phuntuk Ayem hingga sore hari, setelah itu, waktu kami habiskan untuk berjalan menelusuri desa dan menyapa warga sekitar vihara. Pak Suwono dan Bu Tri Minarni sedang berada di beranda rumah. Melihat kami lewat, dengan ramah mereka menyapa “monggo mampir Mas.” Sapa mereka pun menghentikan langkah kami.

“Besok itu riyanden (hari raya Waisak) lho Mas, karena itu saat ini umat Buddha pada sibuk di rumah untuk menyiapkan kedatangan para tetangga dari umat Kristiani dan Islam yang akan berkunjung,” tutur Pak Suwarno. Ketika saya tanya sejak kapan tradisi silaturahmi ini berjalan, Pak Suwarno menjawab sudah berjalan puluhan tahun.

“Ini sudah hampir satu bulan umat Islam dan Kristen menjaga vihara selama kami melakukan pujabhakti Sebulan Pendalaman Dhamma (SPD). Begitu juga ketika salat tarawih, giliran umat Buddha dan Kristiani yang menjaga keamanan.” Menjaga keamanan ini, tidak hanya sekedar di rumah ibadah masjid, vihara, dan gereja, tetapi juga lingkungan perumahan warga.

Baca juga: Pujabhakti Detik-Detik Waisak Diakhiri dengan Sungkeman

“Pernah suatu saat, semua orang lagi salat tarawih, jadi umat Buddha yang jaga dan keliling lingkungan, pas itu ada orang yang meninggal. Ini salah satu fungsinya,” tutur Istadi, Wakil Ketua Vihara Buddhasasana Jaya. Malam hari jelang perayaan Waisak, setelah melakukan bersih diri dan makan malam kami ke Dharmasala Vihara. Di sini, Bhante Sukhito bersama beberapa umat sedang menyiapkan altar untuk pujabhakti detik-detik Waisak besok harinya.

Setelah beberapa saat, ponsel saya berbunyi, ada pesan whatsapp masuk dari Pak Agus, umat Buddha Tangerang yang sering datang ke Desa Boro. “Mas, malam ini, umat sedang membuat berbagai makanan tradisional. Coba Mas berkunjung dan foto-foto, jangan buru-buru makan,” begitu bunyi pesannya dengan nada canda. Tanpa pikir panjang, kami minta diantar ke rumah warga.

Rumah Pak Isnadi adalah rumah pertama yang kami kunjungi malam itu. Di rumah ini, Istri dan orangtua Pak Isnadi sedang membungkus mendot (makanan berbahan tepung ketan dan kelapa). “Tinggal ini Mas, yang lain sudah matang dari tadi,” tutur istri Pak Isnadi. Tak berselang lama, saat kami akan beranjak dari rumah Pak Isnadi, sebuah mobil putih berisi tiga orang berhenti di depan rumah. Mereka adalah Pak Mohammad Zen Mangkualam, Sumarlianto, dan Eko Priono, pengurus salah satu masjid Dusun Buneng.

“Maksud kedatangan kami ke sini adalah mewakili pengurus masjid untuk mengucapkan selamat Waisak dan menyampaikan bingkisan untuk keluarga Pak Is sebagai tali silaturahmi kami,” tutur Sumarlianto, salah seorang perwakilan. Sudah menjadi kebiasaan warga Buneng, sebelum perayaan hari raya, para tokoh akan berkunjung ke rumah tokoh-tokoh agama lain.

Selesai dari rumah Pak Isnadi, kami melanjutkan mengunjungi rumah Pak Sugianto, ketua Vihara Buddhasasana Jaya. Sedangkan Pak Zen dan kawan-kawan berlanjut ke tokoh agama Buddha lain. Dalam bersilaturahmi ke rumah warga, kami berjumpa lagi dengan Pak Zen dan kawan-kawan di rumah Pak Sugianto. Di rumah Pak Sugianto suasana lebih cair. Obrolan seputar kondisi desa dengan canda tawa begitu menarik untuk di simak.

“Begini Pak Zen, untuk silaturahmi besok ‘kan umat Muslim sedang puasa dan bisanya malam hari. Jadi gak usah buru-buru, kalau tidak selesai selama 4 hari ya sampai tujuh hari gak apa-apa,” kata Pak Sugianto. Dengan penuh canda Pak Zen menjawab, “Njih Pak, sudah kami sampaikan kepada umat Muslim, kalau perlu kita perpanjang hingga jelang Idul Fitri, jadi selama puasa ini untuk buka dan sahur kami di rumah umat Buddha,” Pak Zen tertawa lepas. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, saatnya kami meninggalkan rumah Pak Sugianto. Sementara Pak Zen dan Pak Eko Prianto masih lanjut ngobrol dengan mpunya rumah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *