• Friday, 16 March 2018
  • Victor A Liem
  • 0

Dilarang mengutuk sekte lain;

Orang beriman sejati memberi kehormatan kepada apa pun sebagai hal yang layak untuk dihormati. ~ (Raja Ashoka)

Pada 2018, Hari Raya Nyepi jatuh pada 17 Maret. Tiap tahun Hari Raya Nyepi tidak selalu jatuh pada tanggal yang sama, oleh karena Nyepi menggunakan kalender Saka. Umat Hindu menggunakan pergantian tahun Saka setiap tahunnya dengan melakukan Catur Brata penyepian.

Kesempatan yang baik untuk melakukan kontemplasi dan perenungan diri guna mengoreksi diri, melepaskan sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening, menuju jalan yang benar di tahun yang baru.

Sejarah dari kalender Saka berawal di India pada sekitar awal abad Masehi. Pada waktu itu negeri India dan wilayah sekitarnya selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Terjadi pertikaian antar suku-suku bangsa di India yaitu suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana, dan Malaya.

Baca juga: Nyepi, Menyambut Tahun Baru dengan Sunyata (Keheningan)

Dalam pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka menjadi pemenang, pimpinan Raja Kaniska I. Raja Kaniska I berusaha menghentikan pertikaian dengan sebuah jalan diplomasi budaya.

Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku-suku lainnya, namun dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).

Raja menetapkan kalender Saka yang dimulai tahun 78 masehi. Kalender Saka adalah keberhasilan Raja Kaniska I dalam menyatukan bangsa yang tadinya bertikai termasuk di dalamnya konflik antar sekte keagamaan.

Kisah hidup Raja Kaniska mirip dengan Raja Ashoka pendahulunya yang gemar berperang lalu pada akhirnya menjadi penganut Buddhis dan dikenal sebagai raja yang sangat toleran.

Para ahli sejarah membuktikan adanya koin uang yang menunjukkan Raja Kaniska menghormati Dewa penganut  Zoroaster, Yunani, dan Brahmana serta Buddha.

Selama masa pemerintahannya, kontak dengan Kekaisaran Romawi melalui Jalan Sutra menghasilkan peningkatan perdagangan dan pertukaran gagasan yang signifikan; mungkin contoh yang paling luar biasa dari perpaduan antara pengaruh Timur dan Barat dalam masa pemerintahannya adalah aliran seni Gandhara, di mana garis-garis Klasik Yunani-Romawi terlihat dalam sosok Buddha.


Prosesi Menghaturkan Sesaji / Banten Jawa dalam Upacara Melasti di Petirtaan Jolotundo, Mojokerto oleh Romo Pinandhita Ki Ageng Margono Purwo Hadi Wijoyo. Video Harnowo Sathya.

Toleransi

India pada masa itu terpecah belah dalam suku dan sekte-sekte keagamaan, namun pada akhirnya menyadari pentingnya toleransi dan persatuan.

Hari Raya Nyepi mengingatkan kita semua akan pentingnya persatuan dan kesatuan menjalin rasa kebersamaan dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan menjalin rasa kemanusiaan dan sikap saling toleransi serta rasa harmonis untuk hidup berdampingan.

Baca juga: Obama Kagumi Borobudur sebagai Simbol Harmoni dan Toleransi

Momen Hari Raya Nyepi 2018 ini, nampaknya bukan hanya untuk umat Hindu. Dengan meneladani Raja Kaniska dan memahami sejarah Hari Raya Nyepi, peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, sekaligus hari kerukunan nasional.

Selamat Nyepi, memasuki keindahan sunyi, pun juga dengan keheningan merayakan Hari Raya Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *