Suasana nyadran perdamaian. Foto: Ngasiran
  • Friday, 27 August 2021
  • Maskur Hasan
  • 0

“Pak guru, bu guru kulo ijin, mbinjing ajeng nderek sadranan”

(Pak guru, bu guru saya izin, besok akan ikut sadranan)

Salah satu petikan wawancara dengan Sarono. Sesepuh dusun, juga Kaum atau Modin Dusun Gletuk, Getas. 

Sarono duduk di sofa kecil di kediamannya. Menceritakan pengalaman Nyadran pada masa kecil. Ingatannya melesat melintasi waktu. Semua anak merindukan Nyadran. Bisa jadi semalam tidak bisa tidur ingin segera nyadran di makam dusun. Baginya, Nyadran memunculkan kenangan tak terlupakan. 

Keluarganya dan  masyarakat dusun berbondong-bondong ke makam membawa tenong, bucu, dan berbagai makanan. Makan bersama adalah momen paling dinanti. Jarang-jarang bisa menikmati makanan nikmat. Bisa jadi setahun sekali. Ada ingkung, bucu, dan berbagai makanan khas yang diolah secara khusus oleh orangtuanya dan warga dusun. 

“Dulu itu makan nasi dan ayam hanya pas di Nyadran,” tegas Sarono dengan intonasi tinggi. Menegaskan saat itu betapa spesialnya Nyadran. 

Zaman dulu tidak semua orang bisa makan nasi dan ayam. Setiap hari masyarakat makan jagung atau singkong. Tanaman petani juga hanya jagung, ketela dan cabe. Maka, makan nasi dan ayam sungguh istimewa. Tidak heran jika, dia dan teman-temannya merindukan suasana Nyadran.

Hal senada diungkapkan Ibu Kepala Dusun (kadus) Gletuk. Dia sejak kecil sudah ikut Nyadran mengikuti ayahnya. Semenjak dewasa dia tidak lagi. Biasanya hanya lelaki dewasa yang ikut. Kalaupun ada perempuan, biasanya anak-anak. 

Diskusi hangat berlangsung antara peserta nyadran perdamaian dengan warga Dusun Krecek. Sumber Foto: Ngasiran

“Dari dulu memang kebanyakan bapak-bapak,” tegasnya saat berbincang di ladang.

Meskipun begitu, dia sangat bersyukur. Nyadran mengumpulkan kehangatan keluarga melalui doa dan makan bersama. Termasuk keluarga jauh yang tidak tinggal di Dusun Gletuk atau Dusun Krecek. Dua dusun ini melaksanakan Nyadran bersama, karena letak makam dua dusun ini menyatu.  Sehingga makam merupakan ruang pertemuan kedua dusun. Warganya mempunyai latar belakang berbeda. Dusun Gletuk, mayoritas muslim. Sementara itu Dusun Krecek mayoritas buddhis. Namun, perbedaan agama tidak membuat mereka berjarak. Nyadran mempersatukan mereka hingga sekarang.

Proses Nyadran dimulai dengan pembukaan acara. Sambutan perwakilan Dusun Gletuk dan Krecek. Doa bergantian dari muslim dan Buddha. Selanjutnya mereka membuka makanan dari Tenong, yang terbuat dari bambu. Lalu, berbagi makanan yang mereka bawa. 

Menurut Sarono, Nyadran merupakan ucapan rasa syukur. Mendoakan orangtua dan nenek moyang yang sudah mendahuluinya. Oleh sebab itu, nyadran terus dilakukan. Secara langsung tidak ada  namun karena tradisi ini dilakukan dari mulai nenek moyang, maka dia harus meneruskan. 

Nyadran menjadi Nyadran Perdamaian

Nyadran perdamaian baru dikenal pada 2019. Anak-anak muda milenial Dusun Krecek yang menginisiasi istilah ini. Mereka menganggap Nyadran tidak hanya rutinitas tahunan. Namun, upaya melestarikan tradisi lokal. Mereka menggunakan pendekatan baru. Memanfaatkan teknologi dan jejaring sosial media, menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa mengubah pakem Nyadran. 

Dusun Krecek menyambut peserta nyadran perdamaian 2020. Sumber Foto: Ngasiran

Nyadran dan Nyadran Perdamaian tidak ada perubahan besar. Namun, pendalaman nilai-nilai tradisi lebih terasa. Anak-anak muda dari berbagai daerah datang ke Dusun Krecek dan Gletuk. Mereka mempelajari lebih dekat melalui kelas-kelas kecil. Para anak muda ini bahkan mengonsep dengan tema yang menarik “Live in Nyadran Perdamaian”.

Pada tahun 2019 ada 15 anak muda dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jogja, dan Jakarta dengan penuh penasaran datang ke Dusun Krecek dan Gletuk. Sementara itu, pada 2020 terdapat 30 anak muda dari berbagai daerah Indonesia. Mereka datang dengan biaya sendiri. Menginap di rumah-rumah warga. Mereka melihat langsung persiapan dan pelaksanaan Nyadran. 

Panitia menyediakan enam kelas diskusi selama tiga hari, yaitu kelas Sesaji, kelas Jaran Kepang, kelas Gamelan, kelas Meditasi, kelas Perempuan Bercerita, dan kelas Menulis. Mereka bisa mengikuti semua kelas,atau memilih sesuai minat. 

Tri Susanti, pemudi Dusun Krecek bercerita, dia memahami Nyadran sebatas pergi ke makam, memanjatkan doa, kumpul bersama dan makan bersama.

Melalui kelas-kelas diskusi dia mempelajari nilai-nilai tersebut. Dia juga pernah menjadikan Nyadran sebagai salah satu tema dalam tugas kelompok di sekolahnya.

Dengan adanya Nyadran Perdamaian, gadis yang baru lulus SMA ini mengerti ada banyak nilai penting. Seperti toleransi, menghargai perbedaan, menghormati leluhur, dan menjaga kelestarian alam.

Hal senada diungkapkan Febriyanto, Pemuda Dusun Krecek sekaligus Ketua Panitia Nyadran Perdamaian. Ketika dia menyelenggarakan Nyadran Perdamaian, justru dia semakin memahami nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan semakin penting. Dia juga merasa keterampilan komunikasi dan mengelola kegiatan semakin meningkat. Setelah Nyadran Perdamaian dia memimpin Festival Dusun Krecek. Acara terbesar yang pernah ada di Dusun Krecek.  

Para pemuda lintas agama mengikuti nyadran perdamaian terlihat membantu warga menyiapkan makanan. Sumber Foto: Ngasiran

Warga Dusun Krecek dan Gletuk menganggap, Nyadran Perdamaian semakin memperkuat kerukunan, kebersamaan, gotong royong, dan kesetaraan. Mereka juga senang banyak tamu anak muda dari berbagai agama dan daerah. Melayani para tamu sepenuh hati dan berharap Nyadran Perdamaian akan terus terlaksana tiap tahun. 

Tulisan ini merupakan kerja sama baik antara BuddhaZine dengan Indika Foundation

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *