• Monday, 23 October 2017
  • Ngasiran
  • 0

“Semoga semua makhluk di mana pun berada, yang menderita dalam penderitaan tubuh dan pikiran, menemukan samudera kebahagiaan.” ~ Parinama, Bodhicharyavatara karya Acharya Shantideva

Watu Payung merupakan tempat petapaan. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat, Watu Payung pada zaman dahulu digunakan untuk laku spiritual tiga raja yaitu; Raja Majapahit, Raja Surakarta, dan Yogyakarta. Oleh karena itu, hingga saat ini Watu Payung masih disakralkan dan dijadikan tempat laku spiritual masyarakat luas.

Salah satu sajian menarik dalam Ekspedisi Jalur Kuno pertama adalah tradisi malam di Watu Payung. Acara dengan konsep sarasehan santai ini pun menjadi lebih asik dengan lantunan musik Astakosala yang membawakan syair-syair sastra Jawa Kuno.

Dinginnya udara malam khas pegunungan terasa lebih hangat sehangat kebersamaan antara peserta, pengisi acara, dan tim Ekspedisi. “Nyanyian menjadi mantra, menggerakkan rasa yang terdalam … seperti dinginnya malam yang menembus hingga tulang,” tulis Imam Budidharma, salah satu peserta dalam akun instagramnya.


Yosh Winarto, peserta−dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah.

Mbah Marwoto, juru kunci Watu Payung pun ikut hadir dan menyampaikan tentang sejarah Watu Payung. “Watu payung adalah tempat pertemuan bapak dan anak. Pada zaman dahulu, pageran Sigit dari Yogyakarta mencari bapaknya yang sedang bertapa di sini. Setelah berputar-putar di sekitar daerah Kaloran, tempat inilah yang mempertemukan mereka. Karena itulah hingga saat ini banyak orang bertapa di sini,” ujarnya.

Sementara itu, Candra Viriyanto, pemandu ekspedisi sekaligus pemandu diskusi mitos menyampaikan bahwa mitos bukan sesuatu yang tidak ada kebenaran. Mitos berkembang di masyarakat biasanya merupakan kode untuk menyembunyikan sesuatu. “Biasanya mitos itu digunakan untuk melindungi sesuatu, saya sendiri ketika mencari situs candi, salah satu kodenya adalah mitos yang berkembang di masyarakat tempat situs itu,” jelas Candra.


Persembahan musik Astakosala Volk

Astakosala Volk sendiri melantunkan lima lagu dalam acara ini. Dimulai dengan tembang ilir-ilir dan ditutup dengan mantram Om Mani Padme Hum yang mendapat apresiasi khusus dari peserta.

Yosh Winarto, dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, mengatakan bahwa sastra Jawa Kuno mengandung nilai-nilai yang sangat luhur. “Saya lebih banyak mempelajari Negarakertagama, luar biasa isinya dan saya kira hampir seluruh sastra Jawa Kuno begitu, jadi ini sangat menarik upaya yang dilakukan oleh teman-teman Astakosala dalam memperkenalkan karya sastra leluhur kita”.

[youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=8MjwjRayaxc&t=132s” width=”560″ height=”315″]

 

“Bagaimana proses pembuatan musik Astakosala Volk sendiri?” Pertanyaan ini dilontarkan oleh Bobi, peserta dari Jakarta.

Rhema A Sandi sebagai music director Astakosala menjelaskan secara singkat, “Proses kreatif pembuatan musiknya, kami tidak jauh dari alam, khususnya gunung. Alam adalah sumber inspirasi tak terbatas! Di sana kita bisa merasakan betul tentang keheningan. Dari sinilah, kami mengolahnya. Biasanya, saya sudah dapat teks syair Kakawin Jawa Kuno. Orang yang memilih dan memilah teks syair, kami ada sendiri.”

[youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=O8KlZsn2dvU&index=2&list=PLtAktZnr7RU_Z2aDbwJ5gD18fffvKrnkp” width=”560″ height=”315″]

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *