• Saturday, 29 October 2016
  • Adhi Verawanto
  • 0

Suku Dayak adalah salah satu suku yang ada di Indonesia dan mendiami Pulau kalimantan. Suku Dayak sendiri terbagi menjadi banyak suku, dan tercatat lebih dari 400 suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan. Salah satunya adalah suku Dayak Maratus yang mendiami Kalimantan Selatan. Walaupun suku Dayak memiliki keragaman, inti dari tradisi yang mereka jalankan tidak jauh berbeda: sama-sama menghormat kepada para leluhur.

Yang membedakan hanyalah tata cara ritual, sesajian dan bahasa, tapi intinya tetap satu, yaitu wujud syukur mereka terhadap leluhur. Tanpa keberadaan leluhur, mereka menganggap tidak akan ada sampai sekarang. Leluhur memiliki posisi penting dalam kehidupan masyarakat Dayak, maka dari itulah mereka enggan dan tidak mau meninggalkan tradisi yang berkaitan dengan leluhur.

Acara ritual adat Dayak biasa dilakukan setelah panen. Mata pencaharian utama masyarakat Dayak adalah berladang, setiap tahun mereka membuka lahan pertanian padi sebagai sarana menyambung hidup. Setelah masyarakat melakukan panen padi, maka selanjutnya adalah melakukan ritual aruh adat sebagai wujud syukur kepada Tuhan, serta wujud berbagi kebahagiaan kepada leluhur yang telah meninggal dunia. Tradisi ini sejalan dengan ajaran Buddhisme tentang konsep patidana.

Dalam ajaran Buddhisme, kita diajarkan konsep patidana sebagai sarana berbagi kebahagiaan dan mengenang para leluhur yang telah meninggal. Yang membedakan hanyalah dari segi bahasa dan tata cara, namun jika dilihat dari segi kualitas batin memiliki banyak kesamaan. Dalam patidana, batin dan pikiran kita mengembangkan rasa cinta kasih, rasa hormat dan berbagi kebahagiaan kepada leluhur, demikian juga dalam aruh adat.

Aruh adat dipimpin oleh Balian, atau dikenal sebagai sesepuh adat, bisa juga disebut sebagai ketua adat. Dalam ritual disediakan sesajian berupa hasil bumi, seperti padi, kelapa dan semua hasil bumi yang selama ini mereka tanam dan panen untuk menyambung hidup. Sesajian diletakkan di tengah-tengah aula yang disediakan. Setelah sesajian lengkap dan memenuhi syarat untuk ritual, maka balian mulai menbacakan mantra-mantra khusus yang mereka warisi secara turun-temurun.

Dalam ritual yang berjalan, para sesepuh juga mengundang penguasa-penguasa gunung, sawah dan ladang maupun penguasa-penguasa lainnya untuk memberikan kabar tentang niat diselenggarakan acara tersebut. Para sesepuh mengundang para penguasa gunung, ladang dan lain sebagainya sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada alam semesta yang telah memberikan berkah, selain itu diharapkan para penguasa ini juga memberitahukan kepada leluhur mereka bahwa anak cucu mereka telah sejahtera dengan hasil panen yang melimpah.

Sejalan dengan ajaran Buddha, dalam patidana, kita juga menjumpai paritta yang mengundang para dewa, penguasa gunung, para naga, gandaba, dan penguasa-penguasa lainnya. Selain itu, dalam paritta juga ada yang menyebutkan bahwa para dewa yang turut serta hadir dan bersukacita mampu memberitahukan kabar baik ini kepada leluhur kita. Bisa dikatakan, acara aruh adat masyarakat adat Dayak sejalan dan sesuai dengan konsep ajaran agama Buddha yang menghargai dan mengakui keberadaan leluhur yang masih harus dikenang melalui acara-acara persembahan seperti patidana.

Keselarasan dan kesamaan aruh adat masyarakat Dayak dengan ajaran Buddha ini kemungkinan karena pengaruh kejayaan Majapahit masa silam. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika Majapahit berkuasa atas Nusantara, pengaruhnya juga sampai ke Pulau Kalimantan. Seperti yang kita tahu bahwa Majapahit merupakan kerajaan Buddha dan Hindu, maka tidak mengherankan jika pengaruh ajaran Buddha maupun Hindu masih kita jumpai di dalam sendi-sendi masyarakat di Nusantara yang membaur dan melebur dalam tradisi, salah satunya di masyarakat Dayak.

Inilah salah satu bukti bahwa kejayaan Majapahit masih tertinggal dalam tradisi dan kebiasaan masyarakat Indonesia, khususnya mayarakat Dayak. Ajaran Buddha masih terselip dalam tradisi dan kebiasaan masyarakat Dayak. Bahkan terdapat kebiasaan yang benar-benar selaras dengan Buddhisme, yaitu setelah acara aruh adat maka masyarakat tidak boleh melakukan perbuatan yang mengeluarkan darah (ahimsa), di situ berarti masyarakat menghindari pembunuhan, bahkan membunuh seekor nyamuk pun dilarang. Selama tiga hari penuh masyarakat yang telah melakukan aruh adat tidak boleh bertindak kasar, tidak boleh mengeluarkan darah atau membunuh makhluk hidup, serta tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sia-sia.

Keselarasan tradisi Dayak dan ajaran Buddhisme inilah yang mempermudah perkembangan ajaran Buddha dapat diterima oleh masyarakat Dayak, khususnya di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tanpa dipaksa-paksakan, ajaran Buddha dengan tradisi sudah selaras. Hal ini terjadi bukan karena unsur kesengajaan dari agama Buddha agar dapat diterima oleh masyarakat sehingga melunakkan ajaran agar selaras, namun memang benar-benar ajaran Buddha diserap dalam tradisi dan diyakini sejak nenek moyang keturunan Dayak.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *