• Tuesday, 31 July 2018
  • Hendrick Tanu
  • 0

Bagi penggemar budaya Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan Babad Tanah Jawi yang berisi tentang sejarah asal-usul Jawa. Berasal dari abad ke-18 M, sudah barang tentu kitab ini tidak dijadikan rujukan oleh para ahli sejarah karena tingkat kredibilitasnya tidak memadai. Akan tetapi, kitab ini bukannya tidak berharga karena tentu saja ada terkandung fakta-fakta yang tertutupi oleh mitos.

Selain Babad Tanah Jawi kita bisa menemukan Serat Ajisaka, Serat Pramanasidi, Serat Pustakaraja yang di dalamnya ada Serat Dewa Buddha dan Serat Buddha Kresna. Banyak yang sudah tercampur antara Hindu, Buddha, dan Islam. Di Sunda juga ditemukan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara yang menceritakan tentang Kerajaan Salakanagara. Semuanya menceritakan asal-usul manusia di kepulauan Jawa ini.

Di naskah-naskah itu, Ajisaka hampir selalu disebut-sebut. Bagaikan Maui di masyarakat Austronesia atau Huangdi bagi masyarakat Tiongkok, Ajisaka adalah pahlawan budaya bagi tanah Jawa. Ia dikisahkan sebagai brahmana bernama lain Mpu Sangkala yang datang dari India dengan mengajak puluhan ribu imigran dari Kalingga dan Srilanka, setelah para Batara Dewa yang berdiam di gunung Meru (Himava) membentuk tanah Sumatra, Jawa hingga Bali.

Kisah penciptaan tanah Jawa ini dirincikan oleh kitab yang tertua dibanding kitab-kitab di atas yaitu Tantu Panggelaran (abad ke-16 M) yang masih murni bersifat Hindu-Buddha. Para dewa Hindu seperti Siwa, Wisnu dan Brahma saling bahu membahu membentuk kepulauan Nusantara ini. Agaknya Tantu Panggelaran ini yang menjadi inspirasi bagi munculnya serat-serat dan babad yang muncul belakangan.

Ketokohan Ajisaka lantas menjadi sumber klaim dari berbagai macam pihak, karena naskah-naskah yang ada tidak jelas menyebutkan asal-usulnya, bahkan ada yang mengklaim Ajisaka itu asalnya dari turunan suku Sakya – sebuah kesimpulan yang terburu-buru.

Baca juga: Wairocana, Konsep Religiusitas Maha Esa khas Nusantara

Akan tetapi memang dalam Serat Ajisaka misalnya ia dikaitkan dengan agama Buda/Buddha. Lalu dalam Serat Pustakaraja dikisahkan setelah Ajisaka meninggal, maka Batara Guru (Siwa) mengirim titisannya Resi Mahadewa Buddha (Mahadeva Buda) untuk melanjutkan karya Ajisaka membangun peradaban Jawa.

Tantu Panggelaran juga menyebutkan bahwa Bhatara Guru dan istrinya Uma punya tiga orang anak yang dikatakan mengemban misi menyempurnakan peradaban Jawa: Mpu Kumaragimbal atau Rsi Angremban, Mpu Kumarasiddhi  yang seorang petapa Siwai dan terakhir Mpu Kumarararay yang akan menjadi petapa Buddhis pengikut Sugata yang nantinya akan menyerupai Bhatara Buddha.

Maka dari itu kita bisa yakin jika leluhur pendatang tanah Jawa ini memang berkeyakinan Hindu-Buddha. Fa Xian mencatat bahwa pengikut Buddhis hanya sedikit awalnya, yang banyak adalah kaum brahmana dari agama Hindu. Apakah Ajisaka keturunan suku Sakya, juga sebenarnya hanya hipotesa modern saja karena melihat kemiripan kata saka dan sakya. Meskipun demikian, menarik untuk kita melihat catatan-catatan Tiongkok!

Sumber Tiongkok: raja Nusantara keturunan Suddhodana

Legenda kontroversial Holy Grail dan pangeran Arthur yang mengklaim sebagai keturunan Kristus itu juga agaknya ada padanannya di Nusantara. Dalam kitab Liangshu (Sejarah Dinasti Liang) yang dititahkan untuk ditulis oleh Kaisar Tang Taizong disebutkan tentang adanya negara bernama negara Poli.

Para sejarawan menempatkan Poli ini mulai dari pulau Kalimantan hingga Jawa dan Bali (lafalnya mirip dengan Borneo/Kalimantan dan Bali). Liangshu mencatat bahwa rajanya bernama Kaundinya dan di sana disebutkan bahwa raja Kaundinya di Poli adalah keturunan dari ratu Maya, istri dari raja Suddhodana (Baijing Wang) alias ya satu rumpun keluarga Sakya dengan Buddha Gautama!

Dikisahkan oleh Liangshu bahwa raja Kaundinya ini berkeyakinan Buddhis dan amat menghormati Kaisar Liang Wudi, bahkan membandingkannya dengan Buddha. Sosok Kaisar Liang Wudi (yang terkadang masuk dalam kelompok 18 Arahat di Buddhis Tionghoa) adalah kaisar Tiongkok paling Buddhis sepanjang sejarah.

Kisahnya biasa kita jumpai tentang pertemuannya dengan sesepuh Zen Bodhidharma juga karyanya yang masih dipakai hingga sekarang adalah Upacara Pertobatan Kaisar Liang. Pada masanya memerintah, Kaisar Liang bahkan membuat pancavarsika sebagai tanggung jawab raja Buddhis yang diinginkan Buddha. Tak heran raja Kaundinya di Kalimantan/Bali/Jawa mengaguminya.

Beberapa penemuan sejarah mengindikasikan bahwa hubungan Nusantara dengan Tiongkok sudah terjadi semenjak Dinasti Han. Dalam kitab Hou Hanshu mencatat adanya raja Yadiao yang mengirim satu misi ke kerajaan Han. Yadiao berarti Jawa dan rajanya diduga adalah raja Dewawarman pendiri Kerajaan Salakanagara, kerajaan pertama di Jawa menurut kitab Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara.

Catatan Tiongkok memang lengkap, sedari dulu sudah menyebutkan keberadaan Jawa (Shepo), Sumatera (Sanfoqi) bahkan juga Kalimantan (Boni). Zhao Rugua mencatat dalam kitabnya Zhufanzhi (1225) bahwa raja Kalimantan bernama Xiangda. Ia dan penduduknya berkeyakinan Buddhis.

Saat perayaan Buddha maka raja memberikan persembahan dan rakyat mengikutinya. Zhao Rugua mencatat bahwa Buddha di Kalimantan tidak berbeda dengan Buddha di Tiongkok, bahkan mereka membangun bangunan mirip pagoda Tiongkok yang menyimpan permata simbol dari Buddha. Ini juga dibenarkan oleh naskah Daoyi Zhilue masa Yuan (1350 M), Boniguo Rugong Ji (1350 M), dan Xiyang chaogongdian lu (1520 M). Bahkan dahulu juga ada raja Kalimantan yang mengunjungi kerajaan Tiongkok.

Hendrick Tanuwidjaja

Penulis, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *