• Saturday, 25 February 2017
  • Ngasiran
  • 0

Mojokerto adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur. Kota ini terletak 50 km barat daya Surabaya. Mojokerto merupakan kota dengan luas wilayah terkecil di Jawa Timur. Pada zaman dulu, Mojokerto merupakan pusat kerajaan Majapahit. Hal ini terlihat dari berbagai prasasti dan candi-candi peninggalan kerajaan Majapahit. Inilah yang memperlihatkan bahwa Mojokerto pada masanya merupakan pusat perkembangan Hindu Buddha. Namun pasca runtuhnya kerajaan Majapahit, agama Buddha seolah hilang dari kota Mojokerto hingga saat ini.

Meskipun begitu, bukan berarti Buddhisme tidak ada di Bumi Mojokerto. Saat ini terdapat satu vihara yang selalu menjadi daya tarik masyarakat di Mojokerto. Bukan saja umat Buddha yang datang dari berbagai daerah, tapi juga para peziarah dan wisatawan dari berbagai daerah dan negara, serta berbagai agama. Maha Vihara Majapahit adalah vihara yang dimaksud. Berikut penuturan kepala vihara, Bhante Viryanadi, tentang sejarah pembangunan Maha Vihara Majapahit.

Maha Vihara Majapahit dibangun pada tahun 1987. Berawal dari pencarian spiritual Bhante Viryanadi pada saat menjadi samanera tahun 1983. “Sebelum menjadi bhikkhu, saya menganut kebatinan, jadi saya sering pergi ke berbagai daerah untuk bertapa. Pada tahun 1983, saat saya sudah menjadi samanera, saya bertapa di Siti Inggil, Mojokerto (tempat keramat yang sering didatangi peziarah). Pada hari ketiga, saya mendapat firasat untuk berjalan ke arah selatan. Dulu belum ada jalan seperti ini, saya masih melewati sungai kecil,” Bhante bercerita.

Setelah berjalan, Samanera Viryanadi sampai di tanah yang sekarang menjadi Maha Vihara Majapahit. “Sampai di tanah ini, saya melihat pohon jati besar-besar, terus tanahnya kok ditutup gedek (anyaman dinding dari bambu). Saya intip ke dalam, ada buah kedondong. Dari situ saya merasa berjodoh dengan tanah ini, dan mengajak guru saya untuk datang melihat. Saya kaget guru saya bilang harus bangun vihara di sini. Sontak saya bilang, ‘Ya gak bisa Bhante, wong ini tanah orang’.”

Kemudian Bhante mencari pemilik tanah, yang ternyata pemilik tanahnya pada saat masih hidup adalah penganut agama Buddha. “Ternyata itu tanah Bu Madris. Jadi saya cari rumahnya. Setelah ketemu, saya nanya dan mengatakan ingin membeli tanah tersebut. Kemudian beliau bertanya, ‘Mau dibuat apa?’ Saya mengatakan Sanggar Pamujan Buddha. ‘Pamujan Buddha? Oh, almarhum suami saya juga penganut Buddha’. Jadi cocok, dan ketika saya bilang tanahnya mau saya beli, beliau mengatakan, ‘Ya sudah pakai saja, bayar terserah’.”

Dari situlah kemudian Maha Vihara Majapahit dibangun, dan tepat pada saat Buddha Jayanti tanggal 31 Desember 1989 diresmikan oleh Bhante Ashin Jinarakkhita dan Gubernur Jawa Timur.

“Pada saat itu saya berani membangun vihara ini karena merasa ini adalah tanah leluhur saya, leluhur umat Buddha. Saat itu jarang orang mengenal Majapahit, orang lebih mengenal Candi Borobudur, kerajaan Syailendra, padahal kalau saya belajar sejarah Majapahit merupakan kerajaan Buddhis yang sangat besar. Pada masa itu juga agama Buddha berkembang sangat pesat, jadi saya merasa harus bertanggung jawab untuk mengembalikan kejayaan Majapahit (agama Buddha) seperti ramalan Sabdo Palon dan Noyogenggong,” urai Bhante.

Meskipun tidak ada umat Buddha di Mojokerto, namun pembangunan vihara ini tidak pernah ada penolakan dari warga sekitar. Malahan menurut Bhante, banyak warga saat itu yang menanti diresmikan vihara ini, “Tidak ada keributan dan tidak ada yang menentang pembangunan vihara ini. Bahkan ada mbah-mbah yang umurnya sudah 83 tahun ketemu saya, dia ngomong, ‘Saya tidak mau mati Bhante, saya mau menunggu peresmian vihara’.”

Vihara sendiri dibangun dengan konsep budaya Jawa: joglo. Terdapat tiga altar. Altar utama memiliki rupang yang menduplikasi Buddha Gautama yang ada pada Candi Borobudur yang dibuat oleh I Nyoman. Rumah Jawa ini menunjukkan ajaran Buddha. Empat soko guru melambangkan empat kesunyataan mulia, delapan tiang melambangkan delapan jalan utama, tangga lima melambangkan pancasila Buddhis, dan genteng tiga melambangkan Tiratana.

Kedekatan Bhante Viryanadi dengan pemerintahan juga membuahkan hasil. Usulan Bhante untuk membuat konsep perumahan Trowulan bernuansa Majapahit pun terwujud. Saat ini, rumah-rumah warga mulai dibangun rumah khas Majapahit, di mana bagian depan dan pagar berlambang kerajaan Majapahit. Proyek ini pun mendapat sokongan dana dari pemerintah.

20170225 Maha Vihara Majapahit dan Patung Buddha Tidur, Ikon Mojokerto 2 20170225 Maha Vihara Majapahit dan Patung Buddha Tidur, Ikon Mojokerto 3

Patung Buddha Tidur, Ikon Wisata Mojokerto
Tidak lama setelah pembangunan Maha Vihara Majapahit, patung Buddha Tidur pun dibangun. Patung Buddha Gautama ini memiliki panjang 22 meter, lebar 6 meter, serta tinggi 4,5 meter. Patung ini tercatat dalam rekor MURI dan mendapat penghargaan pada Desember 2001. Selain itu, patung tersebut menjadi patung Buddha terbesar se-Indonesia dan terbesar ketiga se-Asia Tenggara. Setiap harinya ribuan pengunjung hadir memadati vihara ini dan membawa nilai ekonomi tersendiri bagi warga sekitar.

Meskipun vihara dengan banyak ornamen Buddhis seperti patung Buddha Tidur yang menjadi ikon wisata Mojokerto, namun masyarakat tanpa canggung datang, bahkan saat ada para bhikkhu tanpa sungkan minta foto bareng.

“Pada awalnya, semua orang bebas masuk tanpa biaya ke vihara ini melihat patung Buddha Tidur. Tapi dalam perjalanan waktu karena sangat ramai, Mas Saryono salah satu pengurus mengusulkan agar dibuatkan karcis untuk kebersihan dan pengelola. Ya sudah, orang dewasa Rp 2.000, anak kecil Rp 1.000. Dan sekarang nampaknya sudah naik orang dewasa menjadi Rp 3.000 dan anak kecil Rp 2.000,” ujar Bhante.

Meskipun begitu, itu tidak menyurutkan pengunjung, setiap harinya bisa terjual sampai seribu karcis. “Jadi selain untuk membiayai operasional vihara, juga menyerap tenaga kerja dari warga sekitar, mulai dari tukang parkir hingga pedagang,” tutup Bhante.

Saryono membenarkan apa yang dikatakan Bhante, meskipun di sekitar situs Mojokerto banyak terdapat candi, tetapi yang selalu ramai hanya Maha Vihara Majapahit. “Hanya vihara yang selalu ramai, apalagi kalau hari libur. Kemarin pas tahun baru, per hari tiket bisa terjual sepuluh ribu karcis,” ujarnya.

Prospek ini pun mendapat perhatian khusus dari pengurus Buddhist Dhammavira Centre (BDC) Surabaya yang selama ini juga membantu Bhante Viryanadi membina umat. Menurutnya, ke depan mereka ingin membuatkan lapak-lapak untuk para pedagang supaya terlihat lebih rapi.

“Di mana pun kita berada harus membawa manfaat kepada masyarakat tanpa membeda-bedakan. Untuk Maha Vihara Majapahit itu sangat menarik, walaupun di sana tidak ada umat Buddha, tapi masyarakat sangat memperhatikan vihara. Jadi kami ke depan ingin membuat tempat khusus untuk jualan mereka supaya kelihatan rapi,” ujar Tosin, salah satu pimpinan BDC Surabaya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *