Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para penganut Borobudur buatan Nabi Sulaiman dan para pencinta fotografi bulan, sedikit cerita tentang kelinci di bulan yang ada di Borobudur.
Seperti cerita-cerita yang lain, kisah ini pun akan dimulai dengan pembuka, pada suatu masa, bodhisattva terlahir sebagai kelinci. Ia tinggal di sebuah hutan hijau dengan padang rumput yang luas di sekitarnya.
Hutan itu kaya akan buah-buahan dan berbatasan dengan sungai yang airnya jernih di satu sisi dan sebuah perkampungan di sisi yang lain. Oleh karena keteduhan dan keheningan suasana di sana, hutan itu menjadi tempat meditasi.
Baca juga: Menemukan Kembali Superhero Kita dengan Wayang Jataka
Kelinci itu memiliki tiga teman, monyet, serigala, dan berang-berang yang sepakat untuk mengangkat kelinci itu sebagai pemimpin mereka. Ia mengajar mereka pentingnya menjaga hukum-hukum moral, dan berbagi apa pun dengan sesama makhluk.
Setiap kali hari suci mendekat, kelinci mengingatkan teman-temannya bahwa jika seseorang meminta mereka makanan, mereka haruslah berbagi dan bermurah hati atas makanan yang mereka telah mereka kumpulkan untuk mereka sendiri.
Sakra, pemimpin para dewa, sedang mengamati empat sekawan dari istananya yang megah di puncak Gunung Meru. Ia memutuskan untuk menguji kebajikan mereka.
Suatu saat, seperti biasanya empat sekawan itu sedang mencari makanan mereka. Berang-berang menemukan tujuh ikan merah di tepi sungai, serigala menemukan kadal dan semangkuk susu yang ditinggalkan oleh seseorang entah siapa, monyet mengumpulkan mangga dari pohon.
Sakra menjelma menjadi seorang pendeta dan dia pergi ke berang-berang dan berkata, “Teman, saya lapar. Aku membutuhkan makanan sebelum dapat melakukan tugas-tugas kependetaan saya. Bisakah kau membantu saya?” berang-berang pun kemudian menawarkan tujuh ikan hasil berburunya hari itu kepada pendeta tersebut.
Kemudian pendeta itu pergi menemui serigala, dan berkata, “Sobat, saya lapar. Aku membutuhkan makanan sebelum dapat melakukan tugas-tugas kependetaan saya. Bisakah kau membantu saya?” serigala pun menawari kadal dan susu dalam mangkuk itu.
Sama kepada kedua binatang sebelumnya, pendeta itu pun menemui monyet dan berkata hal yang sama. Tanpa memedulikan dirinya sendiri, monyet pun menawarkan hasil petikannya kepada pendeta.
Baca juga: Bisakah Hewan Mendengarkan Dhamma?
Kemudian pendeta itu pergi menemui kelinci dan meminta makanan, namun kelinci tidak punya makanan untuk dibagi. Ia hanya mengajak pendeta untuk pergi ke tanah lapang tempat rumput subur tumbuh.
Ia meminta sang pendeta untuk membuat api unggun. Di saat api telah mulai berkobar, kelinci itu pun berkata pada pendeta. “Aku tak memiliki apa pun untuk berbagi denganmu, namun aku masih memiliki tubuhku untuk dapat kuberikan kepadamu.” Kemudian, kelinci melemparkan dirinya ke dalam api.
Sakra, yang masih menyamar sebagai pendeta menjadi heran dan terharu. Ia kemudian membuat nyala api itu padam sehingga kelinci tidak terbakar.
Tuturnya, “Kelinci yang baik, kebajikanmu akan diingat selama berabad-abad. Kemudian Sakra menggambar rupa kelinci baik hati itu di permukaan bulan agar semua orang dapat mengenang dan mencontoh perilaku kelinci tadi.
Sakra kembali ke Gunung Meru, dan empat sekawan itu hidup panjang dan bahagia di hutan yang indah. Hingga hari ini, orang-orang dapat melihat bentuk kelinci itu di bulan ketika purnama.
Cerita di atas diambil dari panel Jataka-Awadana Mandala Agung Borobudur, tingkat pertama pagar langkan bagian dalam sisi atas, panel ke 23-25.
Goenawan Sambodo
Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara