Oleh: Lindra Hismanto
Foto: Lindra Hismanto
Sekitar 1200 tahun yang lalu, di tanah tua pulau Jawa yang teramat indah ini, ada seorang raja besar yang bijaksana, bernama Raja Samaratungga. Raja ini adalah turunan dari Dinasti Sailendra dan memimpin sebuah kerajan yang luas, makmur dan sangat berpengaruh, terbukti dari peninggalan-peninggalannya yang menakjubkan hingga lebih dari seribu tahun kemudian.
Dapat kita bayangkan bahwa pada suatu hari, Raja Samaratungga memanggil semua menteri dan pemimpinnya, dan bertitah “Kita akan membangun sebuah monumen,” katanya, “sebuah candi besar yang akan menginspirasi dan membimbing rakyat kita sekarang, dan untuk semua generasi anak cucu kita, hingga beribu tahun dari sekarang!”
Ide Raja bukan hanya untuk membuat bangunan yang indah. Raja ingin candi itu berisikan ukiran yang menceritakan kisah-kisah yang mengandung pesan ajaran yang tentunya sangat istimewa, tentang kehidupan, kebaikan dan kesucian. Kisah-kisah itu dibuat untuk membantu semua orang untuk mengingat bagaimana menjadi manusia baik dan agar dapat menjalani kehidupan yang penuh makna.
Maka, Raja Samaratungga mengumpulkan para cendekiawan dan guru paling bijaksana dari seluruh penjuru negeri. Mereka diberi tugas untuk memilih kisah dan ajaran terpenting yang pantas untuk diukir di candi. Bersamaan dengan itu, berbagai ahli dari berbagai bidang juga melakukan perencanaan proyek, koordinasi penyediaan tenaga kerja, pelatihan para pemahat, koordinasi manajemen bagi para supervisor proyek, arsitektur, logistik, survey kualitas bahan bangunan, lahan, pengadaan dan pemahatan batu-batu, bagian penyedia layanan kesehatan, konsumsi, pemondokan bagi seluruh pekerja, pengatur pembiayaan dan seterusnya. Setelah melalui banyak pembahasan yang sangat panjang, melibatkan para ahli termasuk lulusan dari Muara Jambi, mereka para bijaksana memilih kisah-kisah khusus dari berbagai kitab yang juga disebut sutra, sebagai sumber narasi untuk selanjutnya dipahat pada relief Borobudur.
Yang pertama adalah sutra Karmavibhanga yang mengajarkan tentang karma – bagaimana tindakan baik dan buruk kita kembali kepada kita.
Selanjutnya, mereka memilih fabel dari sutra Avadana dan Jataka. Kisah-kisah ini berbicara tentang jiwa-jiwa berani dan baik hati yang disebut bodhisattva yang menjalani petualangan luar biasa, terkadang sebagai hewan atau bahkan dewa!
Yang ketiga adalah sutra Lalitavistara, yang menceritakan kisah tentang bagaimana seorang bodhisattva sebelum inkarnasi terakhir ya, hingga kisahnya setelah menjadi Buddha Gautama yang agung.
Terakhir, mereka memilih sutra Gandavyuha, kisah tentang seorang bernama Sudhana, yang melakukan perjalanan luar biasa, bertemu dengan para bodhisatva, bertemu banyak orang-orang dari berbagai latar belakang serta profesi, dan dari merekalah Sudhana mendapatkan pesan dan pelajaran bagaimana menjadi yang lebih bijaksana dan mencapai kemajuan spiritual.
Semua kisah ini diukir dengan sangat detail pada 1.460 panel di Borobudur, dengan tambahan 1.212 panel dekoratif untuk membuat candi ini semakin indah. Bila semua ukiran dipasang berjajar ke samping dalam satu barisan, maka panjang seluruh relief itu semuanya akan mencapai sekitar 3.5 kilometer.
Membangun Borobudur bukanlah tugas yang mudah. Butuh hampir 70 tahun untuk menyelesaikannya! Dan karena usia rata-rata orang pada masa itu hanyalah sekitar 35 tahun, artinya impian Borobudur dari generasi pertama, diteruskan ke generasi berikutnya, dan seterusnya, hingga candi besar ini akhirnya diselesaikan di tangan para cucu buyutnya. Bayangkan kakek-nenekmu memulai sebuah proyek, dan akan diselesaikan oleh cucu atau buyutmu.
Borobudur bukanlah candi biasa. Saat kamu berjalan di sekitarnya, ukiran-ukiran tampak hidup, seperti halaman dari komik atau adegan dari film, yang menceritakan kisah zaman dahulu. Itu seperti PowerPoint presentation yang dibuat oleh leluhur bangsa, penguasa besar tanah luhur Jawa ini. Kisah-kisah ini mengingatkan semua yang datang ke Borobudur bagaimana cara menjalani kehidupan yang baik (contoh: migunani tumraping liyan) dan bagaimana menumbuhkan dan mencapai tujuan spiritual yang lebih tinggi pada kehidupan yang berharga saat ini.
Meskipun ajarannya berasal dari Agama Buddha, gaya dan ceritanya memiliki sentuhan khusus universal- dalam gaya khas leluhur Nusantara, membuatnya sebagai sebuah hasil karya Nusantara yang tidak ditemukan di daerah Buddhist lain.
Jadi, setiap kali kamu teringat Borobudur, ingatlah impian Sang Raja Samaratungga. Sebuah impian yang bukan hanya tentang bangunan megah yang bisa berdiri beribu tahun, tetapi tentang niat leluhur tanah Jawa yang ingin membimbing dan menginspirasi generasi waktu itu, generasi kita sekarang dan generasi yang akan datang.
Dan itulah, secuil kecil cerita tentang keajaiban sejati dari Borobudur, yg kurang lengkap, mungkin juga perlu banyak koreksi. Silakan tulis di komentar.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara