• Wednesday, 9 May 2018
  • Goenawan S
  • 0

Mengikuti Borobudur International Conference serta melihat dari dekat umat Buddha berpuja di pagi hari, adalah sebuah kesempatan yang langka. Pagi itu, Kamis (3/5), Saya mempunyai kesempatan tersebut, ketika diajak seorang teman Buddhis yang kebetulan mendapat tugas untuk meliput kegiatan.

Selesai melakukan doa, saya diajak berkeliling oleh salah seorang peserta ke langkan tempat relief Jataka, Awadana dan Lalitawistara berada. Saya dibawa ke sudut barat daya. Di pojok, terdapat awal sebuah cerita yang berisi tentang kisah seseorang yang karena ambisi pribadinya, tak memikirkan perasaan orang lain, terutama orangtua.


Bersama Pak Sudiarto Ketua Yayasan Sudimuja, mengabadikan relief cerita Maitrakanyaka.

Di suatu masa di Benares, hiduplah seorang pedagang yang sukses yang sedang menantikan kelahiran bayinya, seorang sahabatnya menyarankan agar memberi nama seorang gadis, walaupun nantinya terlahir pria. Maka pedagang itupun menamai anaknya Maitrakanyaka. Ia tumbuh dalam segala kecukupannya, namun malang ketika ia masih kanak-kanak, ayahnya meninggal ketika sedang dalam perjalanan berlayar sebagai pedagang.

Ketika dewasa, Maitrakanyaka menanyakan apakah jenis pekerjaan ayahnya, karena ia akan meneruskannya seperti tradisi di lingkungannya saat itu. Khawatir akan bernasib seperti sang ayah, si ibu mengatakan bahwa pekerjaan ayahnya adalah seorang pedagang di pasar.

Baca juga: Pahatan Relief Candi yang Bertutur

Maitrakanyaka pun berdagang di pasar dan hasilnya diberikan pada sang ibu untuk berderma. Di pasar, dia bertemu banyak orang yang beberapa di antaranya mengatakan bahwa ayahnya dahulu adalah pedagang emas, maka ia pun beralih menjadi pedagang emas. Oleh karena kecakapannya, ia mendapatkan hasil yang baik dalam berdagang emas. Hasilnya pun ia berikan kepada sang ibu untuk berderma.

Para pedagang lain yang iri akan kesuksesan Maitrakanyaka. Mereka tak ingin kehadiran Maitrakanyaka di sana. Maka salah satu pedagang itu pun mengatakan kepada Maitrakanyaka bahwa ayahnya dahulu adalah pedagang antarnegara yang sering berpergian dengan kapal laut. Ia adalah pedagang sekaligus pelaut yang berani. Namun ayahnya hilang ketika kapalnya tak kembali lagi.

Sekembalinya dari pasar, Maitrakanyaka menanyakan cerita para pedagang itu kepada ibunya. Benarkah ayahnya adalah seorang pedagang sekaligus pelaut? Ibunya pun mengiyakan pertanyaan itu, namun tetap berpesan agar Maitrakanyaka tidak menjadi pelaut, karena ibunya takut kehilangan orang yang dikasihi lagi.


Relief adegan ketika Maitrakanyaka mendorong ibunya, perhatikan gaya pengarcaan tangannya yang seolah menolak sembari mendorong sang ibu.

“Seorang Anak harus mengikuti jejak Ayahnya, Bu!” kata Maitrakanyaka. Maitrakanyaka lalu bersiap untuk berdagang ke luar negeri dengan teman-temannya. Meskipun sang ibu memohon, namun Maitrakanyaka tetap menolak dan bahkan marah hingga mendorong sang ibu hingga kepala si ibu terluka.

Maitrakanyaka pergi berlayar. Malang tak bisa dihindari, dalam perjalanan, kapalnya terkena badai hingga tenggelam. Dengan berpegangan sebatang kayu, Maitrakanyaka akhirnya selamat terdampar di sebuah pulau. Dia mencoba masuk lebih ke dalam di pulau itu dan menemukan 4 bidadari cantik di gerbang kota. Setelah beristirahat ia pun melanjutkan perjalanannya dan masih selalu menemukan kebahagiaan.


Perjalanan laut yang dilakukan Maitrakanyaka hingga adegan bertopang dahan kayu, kemudian terdampar di pantai.


Pertemuan dengan para bidadari.

Sesampainya di Ayomaya. Maitrakanyaka memasuki gerbang yang tinggi dan besar yang dijaga seorang raksasa. Tiba-tiba gerbang pintu kota di belakangnya tertutup. Maitrakanyaka terkejut! Di tengah tempat itu, ia melihat orang yang tersiksa berdarah-darah dengan roda membara menggerus kepalanya.


Adegan saat Maitrakanyaka akan memasuki pintu kota.

Maka Maitrakanyaka bertanya kepada orang itu mengapa dia sampai mengalami hal itu. Orang itu menjawab bahwa “Ini hukuman bagi mereka yang memperlakukan ibunya dengan buruk!”

Maitrakanyaka sangat kaget dengan jawaban orang itu. Seketika itu, roda api berpindah ke kepala Maitrakanyaka. Hukuman sekarang berganti ke Maitrakanyaka! Maitrakanyaka tersiksa oleh roda api di kepalanya dan orang yang tadinya tersiksa itu akhirnya terbebas.


Seseorang dengan “cakrakapala” akibat dosa pada sang ibu.

Orang itu berkata kepada Maitrakanyaka, “Kamu akan tersiksa selama 66.000 tahun sampai orang yang berbuat sama datang menggantikanmu.”

Maitrakanyaka menjerit dan menyesali perbuatannya terhadap ibunya. Namun, di lubuk hatinya yang terdalam ia masih menyimpan cinta kasih. Ia berkata, “Aku rela mengemban roda ini selama-lamanya. Semoga tidak ada lagi anak yang akan melakukan perbuatan buruk yang sama denganku!”


Berkat Tekad Cinta Kasih-nya, saat itu juga Maitrakanyaka meninggal dan terlahir lagi di Surga Tusita.

Berkat tekad welas asihnya, saat itu juga Maitrakanyaka meninggal dan terlahir lagi di Surga Tusita.

Goenawan A. Sambodo

Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *