“Sirna Ilang Kertaning Bumi” sengkalan tahun yang begitu terkenal sebagai penanda runtuhnya kerajaan terbesar di Nusantara, Majapahit pada 1478 Masehi.
Hal ini juga menandakan memudarnya Siwa Buddha di bumi pertiwi. Kala itu, Sabdo Palon menyatakan bahwa kelak 500 tahun setelahnya ajaran agung ini akan kembali hadir.
Peran orang Tionghoa
Salah satu faktor kemunculan kembali Buddhadharma di Nusantara, tidak terlepas dari peran orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke berbagai pulau di Nusantara. Dari Tiongkok, para imigran membawa seluruh pengetahuan, keterampilan, budaya, bahkan keyakinannya.
Kita masih dapat menemukan tanda bakti akan keyakinan pada Tiratana, dewata, maupun leluhur. Kelenteng-kelenteng berdiri dengan indah di berbagai kota di Nusantara sebagai wujud syukur dan bakti.
Istilah kelenteng awalnya banyak dipakai oleh masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyebut bangunan ibadah ini. Masyarakat begitu sering mendengar suara teng-teng-teng (lonceng/genta) dari dalam bangunan. Kemudian, orang-orang pun terbiasa menyebut tempat ibadah ini dengan kelenteng.
Berdasarkan prasasti dan catatan yang ditemukan, kelenteng tertua di Indonesia ialah Kelenteng Jin De Yuan (Kelenteng Petak 9) yang telah berdiri pada tahun 1650 di Jakarta. Kelenteng ini merupakan kelenteng Buddhis karena objek suci utama di kelenteng tertua ini ialah Bodhisattwa Avalokiteshvara yang dikenal luas dengan Dewi Kuan Im.
Kelenteng-kelenteng yang masuk dalam kategori vihara ialah yang berakhiran nama dengan Si dan Yuan. Si seperti Kelenteng Da Jue Si (Kelenteng Gang Lombok) di Semarang yang juga didirikan sebagai tempat penghormatan kepada Bodhisattwa Avalokiteshvara. Sedangkan Yuan memiliki arti yang lebih luas daripada Si (vihara), Yuan merupakan tempat pendidikan bagi para biksu.
Putra Indonesia pertama
Di kelenteng-kelenteng Buddhis inilah para biksu dari Tiongkok Selatan datang dan menetap untuk mengajarkan Buddhadharma kepada para perantau selama ratusan tahun.
Berkat kehadiran para biksu inilah akhirnya muncul putra Indonesia pertama setelah runtuhnya Majapahit yang ditahbis menjadi seorang samana yaitu Mahabiksu Ashin Jinarakkhita. Melalui pengabdian Beliau Buddhadharma dapat bergerak dan bangkit kembali di bumi Nusantara.
Maka dari itu, sungguh miris melihat ada umat Buddha yang memandang sebelah mata kelenteng. Bila ingin kebaktian/puja di belakang kelenteng, hanya lewat altar kelenteng begitu saja. Adapula sikap yang membuat hati pedih, yaitu tidak bersembahyang dan masuk kelenteng karena telah mengenal Buddhadharma.
Anggapannya kelenteng cuma cung-cung cep (ngacung-acung ditancep dupanya). Kelenteng dipandang sebagai tempat yang tidak bernilai sama sekali.
Adanya kelenteng, kita dapat bertemu Buddhadharma. Kita pun dapat memiliki para bhikkhu maupun biksu yang cakap dan terampil dalam membabarkan Dharma. Hal ini tidak lepas dari peran para biksu yang berkenan menetap dan mengajar Buddhadharma di kelenteng.
Selain itu, buku-buku Dharma di perpustakaan kelenteng telah membantu banyak orang membuka pertalian dengan Buddhadharma. Buku-buku Buddhadharma juga dapat kita temukan di kelenteng-kelenteng non-Buddhis.
Kita semua dapat belajar hidup menjadi orang yang memiliki toleransi tinggi. Bukan menjadi orang yang penuh teloransi. Meski, kelenteng Buddhis, terdapat pula junjungan dari keyakinan lain yang dihormati di kelenteng tersebut.
Demikian pula sebaliknya pada kelenteng non-Buddhis. Betapa indah keberagaman yang terajut di dalam kelenteng. Di sinilah salah satu tempat kita belajar dan berlatih menjadi seorang Buddhis sejati.
Seorang psikolog klinis yang tinggal di Yogyakarta
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara