Teras kangkung galeuh bitung
tapak meri dina leuwi
tapak soang dina bantar
tapak sireum dina batu
Masyarakat Sunda memiliki ungkapan yang berulang, merupakan satu kesatuan tiga. Tekad, ucapan, dan lampah. Silih asih, silih asah, silih asuh.
Falsafah Sunda berasal dari masyarakat Sunda yang merupakan bagian dari archipel Nusantara. Filsafat di Nusantara mengacu pada poin yang digunakan untuk meningkatkan taraf batin, sebuah upaya untuk menjadikan manusia memiliki potensi yang mulia.
Hanya lampah. Perbuatan nyata manusia yang akan mengubah manusia, tekad, ucapan, dan lampah. Manusia bergerak ke wilayah yang transenden. Masyarakat Sunda kuna merupakan masyarakat yang didominasi oleh masyarakat peladang.
Masyarakat peladang adalah masyarakat yang memiliki karakter dapat memproduksi makanannya sendiri, karakter mereka mandiri, masyarakat yang menghargai akan alam. Alam dan manusia hidup dalam sebuah keharmonisan yang utuh.
Segala hal yang ada di alam, mereka olah sesederhana mungkin, jenis makanan (lalapan) sayuran yang masih segar dimakan bersama nasi serta sambal, praktis dan tidak repot. Kurang begitu menyukai masakan dari daging hewani.
Hal tersebut masih dijumpai di masyarakat Kanekes Dalam, yang hanya tiga kali dalam setahun makan daging. Bahkan para puun tidak memakan daging hewani sama sekali.
Konsep dasar tritangtu, pada dasarnya adalah perkawinan pasangan oposisi segala hal, baik benar, hitam putih, pria perempuan. Perkawinan keduanya menghasilkan eksistensi yang ketiga.
Ada banyak perwujudan tritangtu, sebagai contoh. Dalam perkampungan Kanekes dibagi menjadi tiga, Kampung Cikeusik (dalam), Kampung Cikartawana (tengah), dan Kampung Cibeo (luar).
Tekad, ucap, dan lampah sebagaimana tertera juga dalam Upanishad, seseorang memutuskan sesuatu berdasar keinginan, bertindak berdasar keputusannya, dan berubah menjadi sesuatu berdasar tindakannya.
Bagaimanakah masyarakat Baduy yang masih memegang teguh prinsip ajaran Sunda kuna hingga sekarang memiliki kearifan yang begitu dalam?
Ada dugaan bahwa setelah kejatuhan Pakuan Pajajaran karena penyerangan pasukan Banten, para resi ataupun orang-orang yang enggan menerima agama Islam, masuk ke pedalaman dan berbaur dengan masyarakat pedalaman.
Peristiwa tersebut mirip komunitas Hindu-Buddha Jawa Tengah, ketika munculnya Kerajaan Demak, mereka mengasingkan diri ke pedalaman lereng Merbabu-Merapi dan melanjutkan tradisi tuanya dengan menyalin literatur Hindu-Buddha di daerah tersebut. Atau masyarakat Majapahit yang setelah kejatuhannya oleh Demak melanjutkan tradisi tuanya ke Bali ataupun ke wilayah Bromo, Jawa Timur.
Penciptaan alam semesta dimuali dari sebuah alam sunya. Hanya di Sunda dan Jawa-Bali yang menganut paham penciptaan alam dimulai dari sunya, karena kuatnya pengaruh Hindu dan Buddha dalam hal falsafahnya.
Tekad, ucapan, dan lampah merupakan tritangtu yang merupakan jembatan menghubungkan antara manusia dengan Sang Hyang Tunggal. Kearifan tersebut menyatakan bahwa apa yang kita lihat, kita pahami, dan kita nilai, tergantung dari sudut pandang kita.
*Disarikan dari buku Sunda Pola Rasionalitas Budaya, Jacob Sumardjo. Penerbit Kelir, 2015.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara