• Friday, 15 July 2016
  • Sutar Soemitro
  • 0

Apartemen satu kamar milik Fumio Sasaki di Tokyo sangat dingin sampai teman-temannya menyebutnya seperti ruang interogasi. Ia memiliki tiga kemeja, empat pasang celana, empat pasang kaos kaki, dan sejumlah kecil barang-barang lain.

Uang bukanlah masalah. Editor berusia 36 tahun itu telah secara sadar memilih gaya hidup seperti itu, bergabung dengan semakin banyaknya warga Jepang yang merasa semakin sedikit semakin baik.

Dipengaruhi estetika Buddhisme Zen tradisional Jepang, para penganut gaya hidup minimalis ini melawan norma masyarakat yang sangat konsumtif dengan secara dramatis mengurangi barang-barang yang mereka miliki.

Sasaki, yang pernah menjadi kolektor buku, CD dan DVD, mulai lelah mengikuti tren dua tahun yang lalu. “Saya terus berpikir tentang apa yang tidak saya miliki, apa yang kurang,” ujarnya.

Ia menghabiskan waktu satu tahun setelahnya menjual barang-barangnya atau memberikannya kepada teman-temannya.

“Lebih sedikit waktu untuk bersih-bersih atau belanja membuat saya punya waktu lebih untuk bersama teman, pergi keluar, atau jalan-jalan pada hari libur. Saya menjadi jauh lebih aktif,” ujarnya.

Orang-orang lain menyambut kesempatan untuk hanya memiliki hal-hal yang betul-betul mereka sukai, filosofi yang juga diberlakukan oleh Mari Kondo, konsultan dengan metode pengorganisasian “KonMari” yang populer di Amerika Serikat.

“Saya tidak memiliki lebih banyak barang dibandingkan rata-rata orang, tapi tidak berarti saya menghargai atau menyukai semua barang yang saya miliki,” ujar Katsuya Toyoda, editor publikasi daring yang hanya punya satu meja dan satu kasur di apartemen seluas 22 meter perseginya.

“Saya menjadi penganut minimalis agar saya dapat membiarkan hal-hal yang betul-betul saya sukai muncul dalam hidup saya.”

Inspirasi untuk gaya hidup minimalis di Jepang datang dari AS, dengan penganut awal termasuk mendiang Steve Jobs.

Definisi minimalis beragam, karena tujuannya bukan hanya merapikan tapi juga mengevaluasi kembali apa arti barang milik, untuk mendapatkan sesuatu yang lain, dalam kasus Sasaki, waktu untuk bepergian.

Tidak jelas ada berapa penganut gaya hidup ini, tapi Sasaki dan yang lain yakin ada ribuan penganut minimalis garis keras, dan kemungkinan ribuan lainnya tertarik menjalaninya. Beberapa mengatakan gaya hidup minimalis sebetulnya bukan hal asing tapi berasal dari Buddhisme Zen dan pandangan dunia yang sederhana.

“Di Barat, membuat sebuah ruangan komplet berarti meletakkan sesuatu di sana,” ujar Naoki Numahata, 41, seorang penulis lepas.

“Tapi dengan upacara minum teh, atau Zen, hal-hal sengaja dibiarkan tidak komplet untuk membiarkan imajinasi seseorang membuat ruangan itu komplet.”

Para penganut gaya hidup minimalis juga beralasan bahwa memiliki barang lebih sedikit merupakan sesuatu yang praktis di Jepang, yang rutin diguncang gempa bumi. Tahun 2011, gempa berkekuatan 9,0 skala Richter dan tsunami menewaskan hampir 20.000 orang dan menyebabkan banyak orang mengevaluasi kembali barang-barang yang mereka miliki, ujar Sasaki.

“Tiga puluh sampai 50 persen luka pada gempa bumi terjadi akibat kejatuhan benda,” ujarnya, sambil menunjuk ke sekitar apartemennya.

“Tapi di ruangan ini, Anda tidak perlu khawatir.” (www.nationalgeographic.co.id)

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *